Sebelah tangan terlipat di depan dada, sedang tangan lain menopang dagu. Braga menggunakan otak cerdasnya terlampau keras saat membaca hasil CT Scan pada layar monitor. Tepat di depannya ialah gambaran rinci dari jaringan paru-paru milik pasien yang juga adiknya.
"Dokter Braga lihat di sini. Pada area yang lebih gelap dan kaku, pola retikularnya jelas dengan area honeycombing di lobus bawah," jelas radiolog seraya menggeser kursor menyusuri bagian yang dinilai bermasalah.
"Ini jaringan parut."
Braga tau. Braga paham. Bahkan sejak dirinya dipanggil oleh si dokter spesialis radiologi untuk secara khusus membahas hasil pemeriksaan Flo, Braga menduga terjadi hal buruk.
Keluar dari ruang interpretasi radiologi terasa menyesakkan, meski AC central dirancang untuk menjaga suhu dan kelembaban di rumah sakit besar itu. Sepuluh menit lamanya Braga berdiri, menyandar dinding samping pintu yang baru dia tutup. Lalu lalang pengunjung maupun rekan sejawat pun bagai kaset rusak; mengabur dan tak dia hiraukan.
"Flo ..."
Jeda sepersekian detik Braga gunakan untuk mengingat senyum kotak yang hari ini muncul ketika Flo bergurau dengan Gala. Tawa riangnya seolah menggema di sepanjang koridor tempat Braga bergeming.
"Gimana caranya Mas jelasin ke yang lain? Mas harus gimana, Flo?"
Kepalanya menengadah, mengawang-awang. Dia susun secara apik rangkaian kata penjelasan tentang penemuan yang baru saja dia dengar.
⭒⋆⭒⋆
"Mau yang ini, Pap."
"Border Collie?"
Flo mengangguk penuh gairah. Tak henti dia mengelus bulu lembut seekor anjing yang bergelayut di kakinya. Dari beberapa calon anjing penjaga, Flo pilih si puppy dari ras Border Collie warna hitam putih.
"Ini usianya 6 bulan. Pas dan siap untuk dilatih jadi seizure alert dog," kata pemilik shelter sekaligus ketua organisasi pelatihan anjing.
Usai pengalaman kejang terakhir ditemani anjing milik komunitas, Flo merasa dirinya butuh partner yang dapat menemani sekaligus memberi alarm ketika muncul aura-aura. Maka dari itu, secara khusus Flo meninggalkan rumah sakit barang sejenak untuk memilih sendiri calon partner-nya. Dia yang mendesak orang tuanya agar segera mengadopsi partner, dia juga yang merayu sampai dokter mengizinkan keluar.
Walau selang oksigen apik terpasang di hidung, juga CVC (Central Venous Catheter) terplester pada dada, antusiasme Flo tak berkurang. Pun wajib diam di kursi roda meski definisi 'diam' baginya ialah tetap berulah.
"Aku kaya langsung bonding sama Whoopy. Bunsa liat nggak tadi dia yang paling pertama nyamperin aku terus mau loncat minta dipangku! Nggak sabar pengen bawa pulang." Flo bergidik senang.
"Sabar, kan di-training dulu anjingnya, biar pinter. Nak, jangan bungkuk gitu dong, nanti perutnya sakit."
Kursi roda didorong Ayah-nya melewati pekarangan shelter atau rumah perlindungan bagi para anjing tak berpemilik. Beberapa anjing mendekati, sehingga Flo tidak tahan untuk tidak memeluk dan mengelus kepala mereka.
Baru diingatkan Amara, tiba-tiba Flo refleks hampir berdiri saat Border Collie kepunyaannya lari menghampiri sehabis bermain.
"Whoopy Whoop Whoop!" teriak Flo. Langsung saja bahunya ditahan Lando hingga kembali duduk.
"Aduh, Flo, kok petakilan banget sih kamu nak." Ingin rasanya Amara mengikat tubuh sang anak.
Urusan berkas-berkas sebagai tanda resmi adopsi Whoopy diselesaikan cepat oleh Lando bersama pengurus shelter. Dia khawatir jika Flo terlalu lama di luar rumah sakit, mengingat kondisi anak itu terbilang cukup rentan.