Ayahnya mendorong kursi roda yang diduduki Bunsa keluar dari poli obgyn. Tak ada raut kesakitan lagi, hanya saja wajah sang Bunda setia tertunduk. Punggung tangannya terdapat plester yang Flo yakini sebagai bekas infusan. Lalu di belakang sang Ayah, Braga menyusul tanpa ekspresi.
Niatnya Flo ingin ikut kedua orang tuanya menuju kamar rawat inap. Namun, tiba-tiba Flo ditarik ke lawan arah.
"Ikut bentar," kata Braga saat mencekal pergelangan tangan adiknya.
"Nggak mau! Aku mau nemenin Bunsa!"
Protesan serta pemberontakan Flo diabaikan. Braga terus menggeretnya melewati lorong, masuk ke sebuah ruang, hingga mencapai dekat tangga darurat. Saat itu juga Flo langsung menghempas tangan Braga.
"Kalau kamu nggak mau punya adik, bukan berarti harus jadi pembunuh." Sebuah permulaan dari Braga yang memancing kemarahan Flo.
"AKU BUKAN PEMBUNUH."
"Terus maksudmu dorong Bunda tu kenapa?"
"Aku nggak sengaja! Gara-gara Mas Braga bikin aku kesel jadinya aku kira Mas Braga yang nahan tanganku!"
"Nggak akan kejadian kalau kamu bisa lebih mengontrol emosi. Mau tau detail-nya? Bunda punya kelainan anatomis di rahim yang menyebabkan janin kekurangan ruang untuk berkembang. Waktu hamil kamu pun rentan, terus kamu lahir prematur, dan kehamilan Bunda yang sekarang lebih rentan lagi-"
"Terus salahku?! Salahku kalau kandungannya Bunsa rentan?! Aku juga nggak minta lahir kok!"
"Belum selesai!" Dari yang tenang, mendadak Braga ikut meninggikan suara. "Mas udah coba jelasin pelan ke kamu ya, Flo. Mas masih sabar. Dengerin dulu, baru marah-marah."
Si adik berdecak, kemudian duduk di anak tangga terbawah karena pandangannya sempat gelap selama beberapa detik. Akan memalukan jika dalam kondisi yang seharusnya bisa membela diri, tapi Flo malah tumbang.
"Karena struktur rahimnya Bunda abnormal, plasenta jadi kurang optimal menempel. Plasentanya mudah lepas dari dinding rahim sebelum waktu kelahiran. Bisa bayangin apa yang terjadi saat Bunda jatuh ditambah stres berlebihan?"
Mata Flo berkaca-kaca. Ya, dia bisa membayangkan dan tau betul apa yang terjadi saat ini.
Lalu Braga menyambung, "Bunda Amara keguguran. Calon adikmu meninggal dan tadi Bunda melakukan kuretase untuk mengangkat sisa jaringan janin di rahimnya."
Flo menyembunyikan wajah pada lipatan tangan di atas lutut. Punggungnya bergetar. "Aku nggak sengaja," dia meracau di sela sesenggukan.
"Itu lah kenapa Mas bilang kontrol emosimu. Kalo udah kaya gini, siapa yang bakal disalahin?"
"TAPI AKU BUKAN PEMBUNUH." Flo masih tidak terima atas penetapan dirinya sebagai tersangka dari meninggalnya sang calon adik.
"Kamu berkontribusi bikin Bunda jatuh, bikin Bunda stres, terus nyawa adikmu melayang. Itu bukan membunuh?"
Flo berdiri dan bergegas melangkah maju agar lebih dekat menghadap kakaknya. "Aku nurunin dindingku buat Mas Braga karena aku pikir Mas Braga beda dari yang lain. Aku pikir Mas Braga nggak mungkin menghakimi aku sebelum tau kebenarannya. Tapi sekarang justru lebih parah. Mas tau dan ada di lokasi kejadian, tapi Mas tetep nuduh aku! Ini Mas sengaja mau bikin aku nyalahin diriku sendiri terus jadi gila?"
"Bukan gitu, Mas cuma mau kamu belajar dari kejadian ini buat lebih ngendaliin diri-"
"Nggak perlu Mas suruh aku juga udah tau!"
"Kalo gitu lakuin! Kalo kamu emang udah bisa mengendalikan emosimu, praktekin! Kamu tu masih belum paham! Buktinya kemarin, mentang-mentang dimanja sama Papap, kamu ngerasa bebas bentak orang tua. Malu sama Gala!"