PERAYAAN JUARA KEDUA | 7

1.2K 109 11
                                    

7. Cara Menjadi Perisai Lukamu

Sepulang dari apartemen Mas Hilman, Prisa langsung membersihkan tubuh dengan air hangat. Badannya terasa panas. Prisa memilih berbaring di tempat tidur dengan pikiran yang masih berkeliaran menuju masa-masa bersama Elang. Terlintas banyak perandaian yang tak bisa mengubah apa pun. Andai Elang tak ikut mendaki hari itu, andai ada jadwal pekerjaan Elang yang tiba-tiba bersamaan dengan agenda pendakiannya, akankah kehilangan itu tak pernah terjadi? Prisa memeluk boneka kucing pembelian Elang dan memejamkan mata seiring napasnya yang berembus sesak.

"Dek, sarapan dulu, yuk?"

Pintu kamarnya diketuk, itu suara mamanya.

Dengan rasa enggan, Prisa bangun dari posisi berbaringnya, lalu membuka pintu.

"Prisa udah makan, Ma."

"Makan di mana, Dek?" Di usia anaknya yang sudah menginjak dua puluh lima tahun, Marisa dan Prabu masih nyaman memanggil anak mereka dengan sebutan kecil tersebut. Pun tak terpikirkan ingin mengubahnya.

"Hm ... di rumah Hanna tadi. Makan bubur."

"Banyak nggak makannya?"

"Banyak."

Marisa mengelus pipi anak semata wayangnya, rasa hangat terasa dari kulit pipi Prisa. Kemudian, ia lanjut meraba kening putrinya, lebih hangat dari bagian pipi.

"Kamu demam, Dek. Kok nggak bilang Mama, sih?"

Marisa tak akan bisa menandai kalau anaknya demam jika tak menyentuh pipi Prisa. Sebab sejak kepergian Elang, Prisa memang murung terus, terlihat lemas berkepanjangan, dan tampak tak semangat menjalani hari.

"Dek, minum obat, yuk? Sekalian temenin Ayah makan. Ayah mau terbang ke Pekanbaru siang ini."

Prisa mengangguk dan mengekori mamanya turun ke lantai satu. Sebagai anak tunggal, kebosanan sudah bukan menjadi hal baru dalam hidupnya jika berada di rumah. Ayahnya seorang pejabat di sebuah lembaga tinggi pusat, sedangkan ibunya merupakan seorang dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di salah satu universitas terkemuka di Jabodetabek.

"Ayo, makan, Dek," ucap ayah Prisa.

Prisa duduk di sebelah ayahnya yang ternyata menunggu mereka. Prabu mengusap ubun-ubun anaknya sebelum mengecup dahi Prisa.

"Maaf, ya, Ayah mau ke Pekanbaru dulu tiga hari. Kamu baik-baik, ya, di rumah sama mama."

Prisa mengangguk pelan.

"Ayah makan aja, Prisa udah makan tadi di rumah Hanna."

Marisa membiarkan anak dan suaminya berbincang di meja makan. Ia tengah mencari obat untuk Prisa di sebuah lemari yang ada di ruang tengah.

"Sebenarnya Ayah mau nanya sesuatu."

Prisa menoleh setelah beberapa saat hanya melamum menatap meja.

"Ada apa, Yah?"

Sambil mengambil lauk di dalam mangkok, Prabu berkata, "Semalam kamu nggak nginap di rumah Hanna, kan?"

Seketika Prisa membeku. Gawat. Dari mana ayahnya tahu?

"Kenapa? Kaget, ya, kenapa Ayah bisa tahu?" Prabu mengulas senyum yang tetap berusaha tak mengintimidasi anaknya.

"Ayah ...."

"Mama kamu punya nomor WhatsApp mamanya Hanna, jadi Ayah minta Mama hubungin Bu Hani untuk memastikan kamu beneran di sana atau nggak. Maaf kalau Adek berpikir Ayah nggak memberi kepercayaan, justru karena situasi Adek saat ini membuat kekhawatiran Ayah semakin meningkat."

Perayaan Juara KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang