PERAYAAN JUARA KEDUA | 21

926 102 13
                                    

21. Membentang Jarak Samar

"Itu punya aku, Mas."

Pengakuan singkat Prisa terus berputar-putar di kepala Hilman. Muncul banyak pertanyaan yang semuanya tetap berakhir memberikan nyeri di dada. Oleh karena itu, Hilman memutuskan untuk abai pada penampakan kotak yang sempat ia pegang. Serta, pada pertanyaan kapan Prisa menggunakan pil tersebut dan untuk siapa, semestinya itu tak perlu terlalu ia pusingkan, bukan? Apalagi jika Prisa menggunakannya sebelum mereka memutuskan menikah. Karena di masa itu, Hilman sadar, dia sama sekali belum berhak mengatur segala norma yang harus dipegang oleh Prisa walaupun rasanya sangat ingin melindunginya.

Keheningan yang menguasai mereka siang itu diputus oleh Hilman dengan helaan napas pelan. "Pil ini mau kamu bawa juga?"

Kepala Prisa berdengung seketika mendengar pertanyaan suaminya. Bukan respons seperti itu yang ia perkirakan terucap dari bibir Mas Hilman. Harusnya lelaki itu memarahinya, menanyakan kapan terakhir menggunakan pil tersebut dan telah melakukan hubungan dengan siapa hingga harus mengonsumsi pil pencegah kehamilan yang baru sebiji ia habiskan?

"Nggak, Mas." Prisa bergumam tanpa berani menatap kedua mata Mas Hilman. Pil sialan itu akan ia buang sebab meninggalkannya di rumah ini hanya akan menimbulkan pertanyaan jika ada yang menemukannya.

Hilman mengangguk samar sebelum berbalik mengemasi kardus di belakang mereka. "Ya. Untuk sekarang kamu nggak perlu minum pil itu lagi."

Prisa semakin membeku, tak bisa lagi berkata-kata.

Kegiatan pindahan hari itu diselimuti oleh hawa tak mengenakkan yang terus berlangsung hingga keduanya tiba di rumah baru mereka yang juga berlokasi di Kemang, Jakarta Selatan. Rumah minimalis berdesain tropis itu memiliki dua lantai yang didominasi oleh cat putih dan jendela kaca besar di beberapa bagian fasad. Terdapat tiga kamar yang satu di antaranya dijadikan ruang kerja oleh Hilman, yakni di lantai atas, dekat dengan kamar utama mereka yang berukuran lebih besar dari ruang kerja tersebut. Satu kamar yang berada di lantai bawah hanya akan dijadikan sebagai kamar tamu.

Pada dapur yang terhubung dengan ruang terbuka berupa kolam sederhana di bagian samping menjadi titik favorit Prisa di rumah tersebut. Dari dapur menuju kolam renang hanya dibatasi oleh pintu kaca geser berukuran besar. Belum lagi dengan kursi santai dan ayunan yang ada di sebelah kolam membuatnya merasa akan nyaman berada di rumah. Aksen kayu di beberapa bagian dinding dan tanaman hijau di sudut kolam renang juga cukup memanjakan mata. Namun, itu semua tak mampu meredam keresahan Prisa.

Mas Hilman memang tak mendiamkannya, tetapi Prisa sadar betul, Mas Hilman seolah membatasi diri dengan tak banyak membangun obrolan di sela-sela kebersamaan mereka. Mas Hilman masih mengajaknya solat berjamaah, tetap menyodorkan tangan untuk bersalaman selepas solat, tetapi ritual mencium keningnya tak lagi Mas Hilman lakukan seperti biasa. Yang lebih memilukan, Mas Hilman juga tak lagi memeluknya saat hendak tidur, layaknya malam ini. Lelaki itu berbaring membelakanginya setelah bermain ponsel setengah jam yang lalu.

Prisa mendesah malas tanpa memutus pandangan dari punggung kokoh Mas Hilman. Punggung itu bergerak naik turun dengan perlahan seiring deru napas yang terdengar samar-samar di telinga Prisa.

Sekarang, dia harus apa? Bertanya apakah Mas Hilman kecewa karena ternyata dia tak bisa menjaga selaput kehormatan untuk suaminya? Prisa memejamkan mata dengan paksa ketika nyeri tiba-tiba menusuk ulu hati. Setitik penyesalan muncul, harusnya ia memberitahu Mas Hilman perihal masa lalunya yang bisa dibilang tak sesuci itu. Mungkinkah Mas Hilman mengekspektasikannya sebagai gadis terjaga yang bisa menghindari banyak godaan? Prisa menggeleng tak paham, kegelisahan meliputinya hingga baru bisa tertidur satu jam kemudian.

Mendekati pukul empat, Hilman terbangun saat merasakan perutnya memberat oleh kaitan tangan yang mengerat hingga bagian pinggang kanannya. Oh tak hanya itu, bantal guling yang semalam berada di tengah-tengah telah bergeser ke bagian bawah permukaan tempat tidur digantikan oleh seorang wanita yang kepalanya terkulai di dekat bahunya. Helaan napas wanita itu terdengar begitu damai, bohong kalau lelaki tersebut tak berdesir mendengarnya.

Tanpa melepas pelukan di pinggangnya, dengan pelan Hilman memiringkan badan ke arah istrinya yang sama sekali tak terganggu dengan pergerakan itu. Hilman balas memeluk pelukan Prisa dengan tak kalah erat. Tanpa sungkan lelaki itu membiarkan wajah Prisa tepat berada di depan dadanya, hal tersebut sekaligus memamerkan debar jantungnya yang menggila menjelang waktu subuh.

Sungguh, segala sakit yang dirasakannya tak sebanding dengan cintanya kepada wanita yang masih terlelap damai di dekapannya. Hilman menjatuhkan kecupan di kening Prisa, bibirnya menempel cukup lama di sana untuk menikmati sensasi menenangkan dari kedekatan mereka.

Pelukan erat itu bertahan hingga adzan subuh berkumandang. Hilman dengan terpaksa melepas dekapannya dari sang istri, membangunkan Prisa, lalu mereka melaksanakan solat berjamaah seperti biasa.

Prisa tercenung kala Mas Hilman langsung bergegas melipat alas solat selepas ia mencium punggung tangan suaminya. Apakah berlebihan jika Prisa merasa hampa hanya karena suaminya kembali tak menghadiahinya kecupan kening sehabis mereka solat? Waktu terus bergulir tanpa mampu mengurai jarak yang membentang walau nyatanya setiap hari mereka bersama.

Sehari sebelum keberangkatan menuju Ambon, Prisa menyempatkan datang ke makam Elang setelah tak berkunjung hampir sebulan. Terdapat tangkai bunga mawar putih yang telah layu di atas undakan rerumputan makam tersebut, Prisa meletakkan bunga mawar merah yang dibawanya tepat di sebelah bunga mawar putih itu.

Prisa lebih banyak diam pada kedatangannya kali ini. Jemarinya mengusap pelan ukiran nama mantan kekasihnya yang terpampang di atas batu nisan seiring helaan napasnya yang seakan membuang sesak. Sejujurnya ada banyak sekali yang ingin ia ceritakan kepada Elang pasca pernikahannya dengan Mas Hilman. Namun, entah kenapa ada sesuatu yang menghalanginya untuk bercerita.

"Aku bingung sama kehidupan aku saat ini, Lang."

Hanya kata itu yang sempat terucap hingga Prisa meninggalkan lokasi pemakaman Elang usai sempat mengambil potret langit abu-abu serta pepohonan di sana. Foto tersebut dikirimnya ke kontak bernama 'Mas Hilman'.

Aku udah dari makam Elang, Mas.

Seluruh garis hidupnya kini berada di bawah tanggung jawab suaminya setelah menikah. Sebelum datang ke makam Elang, Prisa sudah meminta izin terlebih dahulu pada Mas Hilman yang langsung mengangguk setuju pagi tadi, sebelum lelaki itu berangkat ke showroom.

***

Yakinnn marah-marah Mas?🙄

Yakinnn marah-marah Mas?🙄

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Perayaan Juara KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang