PERAYAAN JUARA KEDUA | 13

1K 133 19
                                    

13. Seimpulsif Kehilangannya Kemarin

Dua bulan berlalu sejak Prisa mengatakan akan belajar membuka hati untuk menerima orang baru, kesempatan emas tersebut lantas dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Hilman. Mengirim pesan setiap hari, menawarkan diri mengantar atau menjemput Prisa bekerja, malam mingguan kalau mereka tidak sibuk, dan yang paling ekstrim menurut Prisa adalah Mas Hilman kadang tiba-tiba datang ke rumahnya walau hanya sekadar mengobrol dengan ayahnya.

Jangan tanya bagaimana tanggapan mama dan ayahnya ketika mendapati Mas Hilman datang ke rumah, ayahnya langsung menginterogasi Mas Hilman lewat obrolan empat mata, sedangkan sang mama mencurigainya telah menjalin hubungan dengan kakak temannya itu.

"Belum, Ma. Masih tahap pendekatan selagi aku berusaha ngeikhlasin Elang."

Mendengar pengakuan Prisa, mamanya pun memberikan petuah yang membuat Prisa mempertanyakan isi hatinya.

"Pelan-pelan aja, Dek. Jangan dipaksakan kalau memang kamu belum bisa menerima orang baru. Nanti jadinya malah menyakiti orang lain."

Jika ditanya apakah Prisa tertarik pada Mas Hilman, jawabannya tentu saja ia tertarik, walau kadarnya belum bisa dikatakan begitu besar. Tidak sulit untuk menaruh rasa ketertarikan pada Mas Hilman karena lelaki itu memiliki nilai tambah yang lumayan mencolok di hati Prisa. Ketampanan? Tentu saja. Perangai? Sejauh yang Prisa lihat, Mas Hilman punya kontrol diri yang sangat baik. Selama masa pendekatan mereka sebulan ini pun, Mas Hilman selalu meminta pendapatnya terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu yang kiranya bisa membuatnya tak nyaman.

Mas boleh rutin chat kamu, Pris?

Pris, malam ini Mas boleh telepon kamu?

Mas boleh sesekali main ke rumah kamu?

Dan masih banyak lagi pertanyaan Mas Hilman yang selalu membutuhkan izin Prisa terlebih dahulu.

Mas Hilman

Mas, pagi ini aku
ke makam Elang lagi

Sendirian?
Mau Mas temenin?

Nggak apa-apa, Mas.
Aku sendirian aja.

Mas di mana?

Di apart kok ini.

Kenapa?

Pesan itu belum sempat dibaca oleh Prisa hingga ia tiba di kompleks pemakaman Elang. Prisa meletakkan setangkai bunga mawar merah di atas rumput hijau makam Elang. Seuntai doa dikirimkanya dengan khidmat. Prisa menatap hampa nisan tersebut.

"Apa kabar, Elang?"

Pertanyaannya hanya disahuti ciutan burung di atas pohon yang tak jauh dari makam Elang.

"Kadang aku penasaran, di sana kamu lagi ngapain, ya?" gumamnya dengan nada setengah bercanda walau beraut datar.

Prisa menunduk memainkan rumput-rumput hijau di depannya.

"Aku harap kamu bahagia di sana, di sini pun, aku sedang mengusahakan kebahagian itu."

Berusaha walaupun terseok-seok mewujudkannya. Prisa mengenyahkan rasa sesak di dadanya dengan membuang napas berat.

"Aku nggak pernah menyangka akan melalui fase mengusahakan kebahagiaan yang harus diawali dengan mengikhlaskan kamu terlebih dulu."

Kadang kala, ada perasaan tak terima dalam dirinya. Mengapa ia harus dipaksa menghadapi situasi memilukan ini tiba-tiba? Dari miliaran manusia, mengapa ia terpilih menjadi salah satu orang yang harus dipaksa merelakan? Memangnya dia sekuat itu? Kapan dia mengaku seperti itu?

Perayaan Juara KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang