18. Perkara Foto
Sepeninggal Prisa ke kamar mandi, lelaki berkaus putih itu berbaring dalam keheningan dengan pandangan menyelingar tanpa arti ke seluruh sisi ruang kamar istrinya. Bingkai foto yang terletak di meja ujung sana cukup menarik perhatian Hilman, lelaki itu turun dari tempat tidur, dan mendekati dinding yang banyak tergantung bingkai-bingkai foto dan ram kawat yang banyak menjepit foto-foto polaroid. Setelah diperhatikan, sebagian besar foto yang ada di sana lebih banyak memperlihatkan potret dua sejoli yang dari binar mata hingga gestur kedekatan mereka terlihat saling menyayangi. Hanya dua foto polaroid berukuran kecil yang terdapat mukanya, itu pun foto bersama-sama dengan teman-teman mereka.
Hilman mendesis, dengan terpaksa ia mengalihkan wajah ke arah lain agar tak kembali memusatkan perhatian pada foto-foto yang justru mendatangkan sesak di dada. Hilman tak tahu pasti jenis perasaan apa yang mendistraksi hatinya saat ini. Perasaan cemburu yang membara ataukah perasaan hampa karena menyadari wujud nyata kekalahannya? Atau ... bisa jadi keduanya? Entahlah, lelaki itu mendesah berat.
Mungkin Prisa lupa menyingkirkan foto-foto itu.
Namun, bagaimana jika seadainya Prisa memang sengaja tak menyingkirkan potret kenangannya bersama Elang?
Kekalutan dalam diam itu berlangsung hingga Prisa keluar dari kamar mandi, wanita itu muncul hanya mengenakan handuk putih sepaha serta rambut yang digulung menggunakan handuk kecil. Keduanya sama-sama terbelalak. Prisa membeku di depan kamar mandi. Sial, terlalu lama menghabiskan waktu di kamar mandi membuatnya lupa kalau kamarnya telah ketambahan satu penghuni baru, yaitu suaminya. Ya, suami. Prisa seketika merinding saat membatinkan kata tersebut.
Di alas kaki depan kamar mandi tempatnya berpijak, Mas Hilman memaku tatap ke arahnya. Pria itu bahkan dengan terang-terangan memindai tubuh Prisa dari atas hingga bawah, lalu gerakan matanya kembali naik dan berhenti di satu titik, pada leher putih mulus Prisa yang terdapat jejak merah keunguan bekas sentuhannya tadi.
Keduanya sama-sama bungkam dengan mata yang beberapa kali saling mengunci. Detak jantung Prisa semakin memacu kala menyadari posisi Mas Hilman yang berdiri tegak di depan tembok berisi banyak foto-foto dirinya bersama orang-orang favoritnya, yang mana salah satu foto tersebutlah yang membuatnya menolak sentuhan Mas Hilman beberapa saat yang lalu.
"Mas lagi ngapain?"
Bodoh.
Ia tahu dengan jelas bahwa tentu saja suaminya baru saja menyaksikan gambar-gambar romantisnya bersama Elang yang tidak hanya bisa ditemukan dalam satu foto saja, melainkan sangat banyak, apalagi foto-foto ukuran kecil pada kawat putih persegi yang dijepit dengan cukup berdempetan satu sama lain, dari foto berpose aneh hingga pose yang cukup intim—seharusnya tak bisa dilihat oleh orang lain, lebih-lebih pria yang telah menjadi suaminya.
Hilman menunjuk ke tombok di depannya. "Lihat foto-foto ini."
"Mas—"
Sayangnya, Hilman lebih dulu memotong pembicaraan. "Kamu mau pakai baju, kan? Pakai di kamar aja. Mas biar ke balkon dulu."
Kebetulan sekali, kunci pintu menuju balkon kamar tersebut telah tersemat di handle sana. Setelah berhasil membuka pintu, Hilman pun melangkah lebar ke balkon. Tentu saja setelah menutup rapat pintu yang membatasi mereka..
Prisa termangu menatap kepergian sang suami. Harus bagaimana dia sekarang? Mas Hilman sepertinya marah. Itu sudah sangat jelas. Perkara foto-fotonya bersama Elang yang masih terpajang rapi di kamarnya terjadi bukan tanpa alasan. Pertama, dia sudah sempat kepikiran memindahkan segala benda-benda yang berkaitan dengan Elang di tempat yang lebih aman. Sayangnya, kesibukan hari-hari menjelang pernikahannya dengan Mas Hilman membuat Prisa lupa menyingkirkan benda itu. Terutama foto-fotonya bersama Elang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perayaan Juara Kedua
Romance(FOLLOW AUTHOR SEBELUM MEMBACA! BEBERAPA PART DIPRIVATE SECARA ACAK) "𝑷𝒆𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈𝒏𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒎𝒂, 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏?" -Hilman Satrio Nagara Di usia 25 tahun, Prisa Sophina ditinggalkan untuk selama-lamanya oleh kekasih delapan ta...