Ch. 14 - Kehidupan Yang Berbeda

7 4 0
                                    

"Gue takut papa marah..." ujar Vio dengan sedikit bergetar.

Dengan pelan jari jemarinya bergerak mencari kontak papa, dan ternyata papanya telah mengirimkannya banyak pesan sedari tadi, "Mampus gue" gumam Vio.

papa.

gimana hasil try out nya?
peringkat berapa kamu?
balas chat papa, vio.

maaf pa, vio udah berusaha keras
vio peringkat tiga

peringkat tiga?? serius aja kamu!
disalip sama siapa?

sama dion pa

dion yang peringkat tiga itu?
kok bisa sih?
papa yakin kamu gak bener belajar, bisa bisanya turun peringkat. dikalahin sama peringkat tiga lagi.
malu maluin papa aja kamu.
kalau begini bukan kamu juga yang malu!
rugi papa kerja capek capek buat kamu tapi kamu gak bisa banggain papa sekali aja.

maafin vio, pa..

Tanpa disadari, bulir-bulir air mata turun begitu saja dari mata indah milik Vio. Sakit rasanya membaca pesan papanya yang begitu menyakitkan. "Sebeban itu kah gue?," batin Vio.

"Vio? Lo gapapa?" tanya seseorang di belakang Vio, "Ngapain lo kesini!?" ketus Vio seraya menghapus air mata di pipinya. "Gue liat lo dari jauh, keliatan kayak lagi nangis. Jadi-

"Gak usah sok peduli sama gue, Akara. Gue tau lo sekarang lagi seneng ngeliat gue kayak gini, gak usah munafik!" ketus Vio kembali memotong kalimat Akara yang belum selesai. "Gue tau lo lagi ngalamin kegagalan, dan itu wajar, setidaknya lo udah us-

"Lo sama sekali gak tau soal hidup gue, lo juga gak tau gimana usaha gue, jadi gak usah sok tau dan jangan pernah sok peduli lagi sama gue!" ujar Vio lalu melangkahkan kakinya pergi dari Akara. Akara hanya diam memandang Vio yang menjauh dari dirinya, "Emang gue salah peduli sama temen sendiri?" gumam Akara.

"Woi kar! Lo ngapain sih nyamperin dia?" tanya Dion yang tiba-tiba berada di belakangnya. "Gue liat ekspresi dia kayak kecewa, tapi kayak takut gitu. Makanya gue samperin" jawab Akara menghadap Dion. Dion merotasi bola matanya dengan malas, "Dan lo denger kan tanggapan dia gimana? Gak usah care sama dia kar, dia cewek gak tau diri. Biarin aja, hidup ya hidup dia".

"Ya ya ya gue denger. Tapi apa salahnya gue peduli sama dia, yon? Dia temen gue juga, walaupun dia gak nganggep gue temen sih. Emang salah gue peduli?" tanya Akara dengan heran, "Yang salah bukan lo, kar. Yang salah juga bukan kepedulian lo sama dia. Yang salah itu, Vio yang gak bisa nerima rasa peduli lo itu!".

"Jadi sama aja lo buang tenaga lo untuk peduli sama dia, sedangkan dia sama sekali gak peduli sama lo, apapun tentang lo" lanjut Dion dengan panjang lebar. Akara hanya terdiam tanpa menanggapi penjelasan dari Dion, bungkam dengan kalimat yang di lontarkan oleh teman kesayangan nya itu.

Akara menghembuskan nafasnya dengan berat, "Joan mana?" tanya nya berusaha mengalihkan topik. "Udah balik duluan dia, lo mau nebeng sama gue atau balik sendiri?" tanya Dion kembali kepada Akara, "Nebeng dulu ye yon" ujar Akara sembari sedikit terkekeh. Dion menganggukkan kepala setuju dengan permintaan Akara, hingga dua remaja itu menaiki motor Dion untuk pulang.

Pada saat sore menjelang malam, terlihat Vio sedang menanti kehadiran seseorang. Mata indahnya terus menatap ke arah jendela kamar yang mengarah ke depan rumah. Perasaannya sangat bercampur aduk, rasa kecewa, sedih, benci, bahkan takut bercampur menjadi satu saat ini.

Bahkan sedari pulang dari sekolah, ia sama sekali tak membalas pesan Sam sedikit pun, tak peduli handphone nya sedari tadi berbunyi karena tertimbun pesan yang berasal dari Sam. Pikirannya hanya tertuju kepada satu orang, yakni papanya, Galang.

Ambisi: Akara, Violent, DionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang