Ch. 3 - Badai Datang

32 9 0
                                    

Hari itu langit sangat cerah. Aku mengira bahwa hidupku akan secerah langit biru. Nyatanya, kenyataan tak sesuai ekspektasi.

Badai petir mampir di hidupku.

Aku terdiam. Mulutku ditutup kuat dengan kain oleh ibu. Pun dengan mataku. Aku dikunci di dalam lemari pakaian. Ibu melarangku keluar. Barang sedetik saja.

Sedang ibu, aku tak tahu di mana atau bagaimana keadaannya. Tanganku juga diikat kebelakang oleh ibu.

Ibu, jangan mati.

Hati kecilku berdoa. Memohon pertolongan pada Yang Maha Kuasa. Untuk sekarang, aku tidak bisa hidup tanpa dampingan seorang ibu. Anak berusia 5, apa yang bisa dilakukan olehnya?

Tiga puluh menit yang lalu. Aku dan ibu baru saja akan makan malam. Langit masih cerah, tidak ada curah hujan yang terdeteksi. Bulan dan bintang memancarkan cahaya indah mereka.

Tepat saat aku akan menyuapkan sup buatan ibu, pintu depan rumah didobrak paksa. Bahkan, dinding rumah hampir hancur. Saat itu juga, ibu menyeretku ke kamar. Mengunciku di dalam lemari. Melarangku melakukan apapun yang mungkin akan mencelakai diri sendiri.

Aku bergerak gelisah. Perlahan, suara-suara keras mulai terdengar.

BOOM!!

PRANG!!

BRAK!!

Aku menggigit bibir. Meringis dalam hati. Pikiran buruk menggerayangi otakku. Aku yakin, sangat yakin, ibu sedang berjuang di luar. Aku harus membantu, harus!

Menggunakan pengendalian es, aku memotong tali yang mengikat tanganku lebih dulu. Setelahnya, aku melepas kain yang menyumpal mulut.

BRAK!!

Itu suara yang kuhasilkan dari mendobrak pintu lemari yang mengurungku. Sekuat tenaga, aku mencari sumber keributan. Mengintip dari balik tembok apa yang dilakukan para penjahat pada ibuku.

Mataku membelalak. Jantungku berdebar kencang. Amarah menyelimuti hatiku. Di sana, di ruang tengah, tiga penjahat tengah asyik memukuli ibu. Mereka menendang perut, dada dan kepala. Tidak memedulikan teriakan dan ampunan yang ibu ucapkan.

"Berhenti kalian penjahat!!"

Pahlawan! Ada pahlawan datang!!

Batinku bersorak! Ibu pasti selamat. Itulah yang ada di pikiran naifku. Namun, nyatanya para penjahat berhasil membungkam balik pahlawan.

"Hahaha, apa yang akan kalian lakukan, pahlawan? Berani kalian melangkah, kubunuh wanita ini!" penjahat itu tertawa terbahak. Ibu dijadikan tameng sekaligus sandera. Salah sedikit saja, para penjahat itu akan membunuh ibu.

Aku memberanikan diri untuk muncul. Tentu, kehadiranku menambah beban pahlawan dan memberi kesempatan pada penjahat untuk semakin bersenang-senang.

"Lepaskan ibuku!!" aku berteriak. Netraku bersirobok dengan milik ibu yang terkejut luar biasa.

"Lepaskan ibuku! Kumohon lepaskan dia! Aku saja! Bunuh aku saja sebagai gantinya! Tapi, tolong! Lepaskan ibuku!" aku memohon. Untuk pertama kali dalam sepanjang hidupku, aku memohon belas kasihan orang lain.

Persetan dengan harga diri. Nyawa ibu jauh lebih penting.

Aku bersujud. Dahiku berbenturan dengan lantai. Tidak, aku tidak bisa kehilangan ibuku.

Pahlawan yang datang memalingkan muka ketika aku bersujud seperti itu. Memangnya apa yang mampu dilakukan oleh anak usia 5? Melawan penjahat? Walaupun aku mantan ketua pasukan tempur, tapi usiaku menjadi masalah sekarang. Tubuhku masih belum mampu mengeluarkan serangan dengan skala cukup untuk menumbangkan mereka.

My Second Life | Anime WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang