Sebelum kita melanjutkan cerita, aku ingin memberitahu kalian tentang quirkku terlebih dahulu. Seperti yang kalian tahu, aku adalah seorang reinkarnasi dari jenderal atau kapten pasukan perang. Tentu, itu membuatku memiliki kekuatan mumpuni yang tak bisa diremehkan.
Kekuatanku itu terbawa kemari. Berubah menjadi sesuatu yang disebut dengan quirk. Quirkku adalah elemen. Mengendalikan, mengontrol ataupun menciptakan elemen adalah kekhasanku.
Elemenku ada sembilan, yaitu; cahaya, kegelapan, halilintar, api, angin, air, tanah, es, dan tumbuhan. Keahlianku yang lain adalah teknik berpedang dan penyembuhan.
Well, untuk saat ini itu informasi yang bisa kubagikan pada kalian. Seiring berjalannya cerita, kalian akan bisa membayangkan kekuatanku.
***
Latihan dasar kepahlawanan dimulai. Tim A yang berisikan brokoli berjalan -maksudku Midoriya dan Ochaco bertindak sebagai pahlawan. Melawan Tim D yang berisikan bom berjalan a.k.a. Bakugo dan mata empat a.k.a Iida yang berperan sebagai penjahat.
Kombinasi mendebarkan.
Aku bersandar di dinding sambil menatap monitor. Mataku menajam. Memerhatikan setiap pergerakan tim A dan tim D. Mengamati, mempelajari dan menemukan celah yang ada pada latihan mereka.
Bukannya aku sok tahu, tapi dengan bekal pengalamanku di masa lalu, aku bisa mengetahui celah mereka. Tindakan yang diambil masih terburu. Apalagi, Bakugo. Dia terlihat dibakar oleh hawa nafsunya sendiri. Bertekad untuk mengalahkan Midoriya.
"Sepertinya mereka memiliki masa lalu yang rumit," gumamku pelan.
Jika diteliti lebih jauh, Bakugo yang memiliki emosi meledak-ledak seolah takut tersaingi oleh Midoriya yang dianggapnya 'kerikil kecil'. Rasa tidak ingin dikalahkan itu menguar kuat dari dalam diri Bakugo.
Ekor mataku menangkap raut wajah All Might. Ekspresinya sedikit sulit untuk kubaca. Dari awal, aku menduga kalau pahlawan nomor satu ini mendukung Midoriya entah karena apa. Yah, aku tak peduli sih.
Lima belas menit berlalu dan latih tanding tim A dan D selesai. Walaupun tim pahlawan, Midoriya dan Ochaco menang, tapi mereka menderita luka. Berbeda dengan tim Bakugo dan Iida yang tidak terluka sama sekali.
Aku menghela napas pelan. Tindakan Midoriya dan Uraraka sangat ceroboh. Jika saja ini bukan latih tanding, pasti sudah banyak korban berjatuhan.
Setelah selesai mengevaluasi latih tanding pertama, aku pergi bersiap. Kini giliranku beraksi. Melawan All Might sang simbol perdamaian. Sungguh, aku sangat gugup. Bagaimanapun, yang aku lawan adalah pahlawan profesional di dunia ini.
"Baiklah! Aku pasti bisa!" ucapku penuh tekad. Aku menunggu di luar gedung sembari menyusun strategi. Dalam skenario ini, aku menjadi pahlawan dan All Might penjahat.
Setelah aba-aba diberikan, aku mendekati gedung di depanku. Mataku mencoba menganalisis jendela yang ada. Aku mengarahkan tanganku ke lantai.
"Gelombang seismik," aku memejamkan mata. Mencoba merasakan getaran dan suara yang ada. Menebak berada di lantai manakah All Might dan senjata nuklir buatan berada.
Gelombang seismik disalurkan melalui tanah yang ada di bawah. Bagaimanapun, suatu bangunan dibuat di atas tanah. Dan aku memanfaatkan hal itu untuk bisa mengetahui lokasi All Might berada. Ditambah, aku bisa merasakan kondisi suatu ruangan berdasarkan udara di sekitar.
"Dapat," seringai main-main muncul di wajahku.
Aku memasang kuda-kuda, "Lesatan cahaya," menggunakan elemen cahaya, aku melesat. Menuju lantai 4 di mana All Might sudah menunggu.
"Gelombang cahaya," tanpa basa-basi aku menendang pintu dan langsung menyebarkan cahaya ke seluruh penjuru.
"Akh! Silau!" keluh All Might. Mau tidak mau, dia harus menutup matanya untuk menghalau sinar terang yang aku buat. Tanpa membuang waktu, aku melesat untuk menempelkan selotip di tangan All Might.
Bugh!
All Might menghindar dan melepaskan serangan. Aku melompat tinggi untuk menghindarinya. Kakiku mendarat tepat di belakangnya.
"Sial!" aku menggeram kesal.
Aku lupa kalau dia adalah pahlawan profesional.
"Sambaran halilintar!" aku membuat percikan halilintar yang mengandung tegangan listrik. Berusaha menyambar All Might. Sayangnya, All Might bisa menghindari setiap serangan yang aku layangkan.
Aku menghentakkan kaki, menerjang ke arahnya menggunakan pedang yang tersarung di pinggang. "Tebasan Kematian!" aku berusaha mengincar pinggangnya. Melayangkan tebasan melintang.
"Kena kau!" aku berhasil mengenainya. Pinggangnya tergores dan mengeluarkan darah. Senyum miring kutampilkan.
Tidak memberi jeda waktu, aku kembali menerjang. Mengayunkan pedang lebih intens lagi.
Kurasa pedang lebih cocok untukku daripada quirk.
"Teknik Pedang: Tebasan Bintang!"
Aku bermanuver, melakukan tebasan beruntun seolah membentuk bintang. Telapak tangan kananku mendorong udara. Tepat di tengah simbol bintang yang aku buat. Hal itu menimbulkan gelombang udara yang tajam seperti mata pedang untuk mencabik-cabik targetku.
All Might tidak bisa menghindar. Seluruh tubuhnya terkena teknikku. Tangan dan kakinya mengeluarkan darah. Dia berlutut satu kaki. Dan aku langsung melompat ke arahnya. Menempelkan selotip di pergelangan tangannya.
"Aku menang, Sensei," aku tersenyum lebar. Memproklamirkan kemenangan ku atasnya. Kakiku melangkah gontai ke arah bom nuklir buatan dan menyentuhnya juga.
All Might terkekeh pelan, "Selamat, nak! Tim pahlawan, menang!!!"
Aku menundukkan kepala. Tanda hormatku padanya.
All Might bangkit berdiri. Tangan besarnya mengusak rambutku. Senyumannya masih sangat lebar seperti biasa. Seolah goresan-goresan pedang di tangan, kaki, dan pinggangnya bukanlah apa-apa.
"Kau sangat hebat, nak. Kau bahkan tidak membuang waktu banyak. Kau memperhitungkan semuanya dengan sangat baik," ucapnya padaku. Tatapannya sangat hangat. Entah kenapa membuat hatiku ikut menghangat. Bahkan, usakannya juga terasa penuh cinta dan rasa bangga.
"Terima kasih, Sensei," aku mempertahankan senyumanku. Kulihat tatapan All Might beralih ke leherku. Tepatnya, ke arah kalung yang kukenakan.
Untuk sedetik, senyuman All Might memudar, walaupun kembali lagi seperti biasa. Dia bertanya dengan suara sedikit gemetar, "Bolehkah aku tahu darimana kau memiliki kalung itu, nak?"
Aku memiringkan kepala ke sebelah kanan. Alisku terangkat heran, "Kalung ini? Ini kalung peninggalan ibuku. Memang ada apa, Sensei?"
All Might menggeleng, "Tidak ada. Hanya saja, aku juga pernah memberikan kalung serupa pada seorang wanita yang sangat cantik hati dan wajahnya. Aku merasa melihat dia dalam dirimu."
Aku sedikit terkejut. Aku menelisik raut wajahnya. Itu menyiratkan kesedihan dan kerinduan yang mendalam. Bahkan, matanya sedikit berkaca.
Beruntung posisinya berada di titik buta kamera, jadi tak akan ada yang melihat selain diriku.
"Dia pasti sangat berharga bagimu. Aku yakin, suatu hari nanti, jika memang kalian berjodoh dan alam merestui, kalian pasti akan bertemu lagi," ucapku menghiburnya. Aku tersenyum dan mataku menyipit.
All Might ikut tersenyum. Aku sedikit lega melihatnya. Daripada dia suram seperti tadi, lebih baik dia tersenyum lebar seperti orang gila.
"Latihanmu selesai. Kau boleh kembali ke ruang monitor," aku mengangguk dan mengikuti ucapannya. Tapi, entah kenapa, hatiku menjadi gelisah. Seolah, tidak ingin berjauhan dengannya. Aku menoleh ke arahnya melalui bahuku. All Might, dia menunduk dan terlihat seperti menangis dalam diam.
All Might, siapa kau sebenarnya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Second Life | Anime World
FanficAzuya Yura. Mati untuk hidup lagi. Azuya Yura atau kerap disapa Azura mati tepat setelah memenangkan perang besar di dimensinya. Azura terlahir lagi di sebuah dimensi yang hampir 80% manusia di sana memiliki kemampuan khusus yang disebut Quirk. Bag...