Ch. 1 - Akhir dan Awal

96 11 0
                                    

DUAR!!!

Seranganku beradu dengan jurus yang diluncurkan musuh. Napasku terengah. Sebagian besar tubuhku sudah terluka. Mustahil untuk bisa meregenerasi.

Ya, kalian tidak salah baca. Duniaku cukup unik. Kami memiliki kekuatan yang disebut elemen. Aku sendiri memiliki semua elemen yang ada di dunia. Dan itu menjadikanku orang terkuat dari yang terkuat.

Bangga? Tentu saja, tapi tanggung jawab yang kuemban juga berat. Contohnya menghadapi musuh yang amat kuat seperti sekarang.

Kaum Umbra memporak porandakan kedamaian yang kami miliki. Mereka datang secara tiba-tiba dan mengklaim kalau dunia tempat kami tinggal harus menjadi milik mereka. Diskriminasi dan eksploitasi terjadi di berbagai tempat. Tangis kesengsaraan mengudara sejak 20 tahun lalu. Tepat tiga tahun sebelum aku lahir ke dunia.

Dan sekarang, aku akan menyudahi penderitaan itu. Membunuh pemimpin terakhir dari Kaum Umbra. Meskipun nyawaku taruhannya.

"Ledakan Supernova!"

Kukepalkan tangan kanan kuat-kuat. Membentuk gelombang panas dari api. Mengarahkannya pada musuhku. Menciptakan sebuah ledakan kuat yang kuyakini berhasil membunuhnya dalam kobaran api.

"Tebasan Bulan!"

Serangan balasan datang. Segera aku membentuk pelindung dari cahaya. Dentuman besar antara tebasan pedang dengan perisai memekakkan telinga.

"Lesatan cahaya! Tembakan Badai Cahaya!" ucapku lantang sambil merangsek maju secepat cahaya. Kali ini, lawanku tidak akan bisa bergerak lagi. Aku membentuk tangan menjadi segitiga. Membidik target dengan sempurna.

BOOM!!!

Aku menghela napas panjang. Sudut bibirku tertarik ke atas. Tubuh lawanku melayang di udara. Seluruh tubuhnya sudah menghitam. Terkena serangan terakhirku.

"Saatnya mengakhiri penderitaan! Tebasan kematian!"

Tanpa pikir panjang, aku menebas badannya. Membelah tubuh itu menjadi dua. Mengakhiri perang yang sudah sangat lama berlangsung.

"Ketua berhasil menumbangkan lawan!! Ketua memenangkan perang!"

"Ketua berhasil!!"

"Kita menang!!!"

Sayup-sayup aku dengar sorakan dari orang-orang sekitar. Rasa bahagia membuncah di dadaku. Bersatu dengan perasaan bangga dan lega. Mataku yang kabur bisa melihat senyuman penuh syukur orang-orang itu.

Tubuhku meluncur bebas ke tanah. Tenagaku sudah habis sepenuhnya. Darah membalut badanku. Apalagi perutku sudah berlubang dan kakiku juga mati rasa.

"Kau sudah berusaha keras, ketua. Terima kasih," Kai berucap. Dia mendekap tubuhku erat sebelum berbenturan keras dengan tanah. Kai, dia sahabat sekaligus bawahan yang aku percayai selama perang berlangsung.

Mataku terpejam. Napasku memberat. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Bayangan wajah kedua orangtuaku terlihat jelas. Terasa seperti mereka menjemputku untuk menuju ke keabadian sejati.

"Ketua?! Ketua?! Ketua bertahanlah!! Kau sudah menang ketua! Penderitaan kita berakhir! Kau harus bertahan!!" itu Sean. Salah satu pilar kebanggaan yang kuakui kemampuannya.

Ingin sekali aku membuka mata. Atau setidaknya mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Sayangnya, kekuatanku sudah terkuras habis. Bahkan, aku tidak bisa membuka mulutku. Seolah waktuku benar-benar sudah habis.

"Ketua!!"

"Ketua!! Bangunlah!!"

"Ketua!! Jangan pergi!! Kita baru menang!"

"Jangan meninggalkan kami, ketua!!"

Teriakan bercampur isak tangis itu terdengar sangat lirih. Pendengaranku mulai tidak berfungsi. Aku juga merasakan kalau jantungku mulai berdetak lambat.

Rasanya seperti ada angin sepoi-sepoi membelai kulitku lembut. Dan kurang dari lima detik, jantungku benar-benar berhenti berdetak. Setidaknya, itulah yang bisa aku rasakan.

Gelap. Lembab. Udara pun tidak ada. Aku tidak tahu ini di mana. Mungkinkah perbatasan gerbang akhirat? Atau ini tempat untuk orang berdosa sepertiku?

Selama hidup, aku mendedikasikan diri sebagai anggota militer yang diterjunkan langsung ke medan tempur. Membunuh orang sudah bukan hal susah bagiku. Dan yang menjadi dosa terbesarku, pembantaian yang kulakukan pada satu keluarga. Tanpa memandang wanita ataupun anak-anak.

Saat menundukkan kepala, aku melihat secercah cahaya. Mulanya cahaya itu hanya sebesar ujung jari. Namun, lama kelamaan cahaya itu membesar.

"Apa yang terjadi?" gumamku pelan.

Mataku membeliak kala cahaya itu menelan seluruh tubuhku. Aku memejamkan mata. Cahaya itu terlalu bersinar. Sangat silau. Tapi, yang jauh lebih mengejutkan adalah saat aku kembali membuka mata.

***

Di sebuah ruang bersalin di rumah sakit ternama di Kota Tokyo, Jepang.

"Selamat Nyonya, bayi anda perempuan. Sangat sehat dan menggemaskan," ucap seorang perawat sembari menyerahkan bayi yang baru lahir pada sang ibu.

Bayi itu memiliki sepasang manik berwarna biru dan rambut silver. Sang ibu tersenyum penuh kelembutan seraya meraih sang anak ke gendongan hangatnya.

"Selamat datang ke dunia, putriku," ucap sang ibu sembari mengecup sayang kening bayinya.

"Anda sudah menyiapkan nama untuk putri anda, Nyoya?" sang ibu tersenyum pada perawat yang bertanya.

"Azuya Yura. Itulah nama yang saya berikan padanya. Dan orang-orang akan mengenalnya dengan nama Azura. Azura sang pembawa harapan," tepat saat sang ibu mengatakan itu, si bayi membuka mata sembari tertawa riang. Seolah mengatakan kalau dia sangat menyukai nama yang diberikan.

Perawat dan sang ibu ikut tertawa dibuatnya, "Kau menyukai nama itu, Azura?"

"Hihihi," sang bayi tertawa riang. Tangannya terangkat dan meraih wajah ibunya.

"Nyonya Akira, apa setelah ini anda akan kembali ke tempat penyamaran atau kembali pada suami anda?" tanya perawat lagi.

Akira, atau lengkapnya Azuya Akira. Wanita itu terdiam sebentar. Mata hitamnya menyorot Azura penuh kesenduan. "Situasi saat ini sangat rawan. Saya tidak bisa membawa Azura ke tempat suami saya. Akan lebih baik jika kembali ke lokasi penyamaran."

Sang wanita mendesah pelan. Hatinya sedikit gelisah. Ada ketakutan yang tertera jelas di matanya. Seolah mengerti perasaan sang ibu, Azura menepuk pelan pipi ibu sambil merengek pelan.

"Hm? Apa Azura mengkhawatirkan ibu? Jangan khawatir, nak. Ibu baik-baik saja. Hanya, untuk saat ini, ibu tidak bisa membawamu menemui ayahmu. Karena situasi di luar sangat tidak aman bagi kita," jelas Akira. Senyuman manis dia berikan pada si bayi yang berceloteh ria. Sukses membuat Akira merasa sedikit lega.

Perawat menganggukkan kepala, tanda mengerti. Kemudian, dia pamit permisi, mengurusi pasien lain yang sekiranya membutuhkan bantuan. Akira masih menggendong Azura di tangannya. Enggan untuk melepaskan dekapan pada sang anak barang sedetik saja.

Azura sendiri sangat anteng di gendongan. Mata bulatnya terus menatap sang ibu. Penuh akan penasaran. Dia berusaha mengambil seluruh atensi si ibu. Tidak membiarkannya menoleh ke arah lain barang sedetik saja.

"Manjanya anak ibu," kata Akira gemas. Dia menggesekkan hidungnya pada hidung mungil Azura. Membuat kekehan ringan keluar dari mulut kecil si bayi. Di hari itu, ditemani langit senja yang indah, Akira dan Azura mengukir kebahagiaan pertama mereka.

"Aku berjanji akan melindungimu semampuku. Meskipun nyawa menjadi taruhannya. Azuya Yura, Azura, ketua pasukan elit militer ini akan selalu menepati perkataannya. Aku menyayangimu, ibu."

***

My Second Life | Anime WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang