4. Trevi Fountain Date

29 7 0
                                    

Quest Day 4Genre Utama: FantasySub Genre: Historical

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Quest Day 4
Genre Utama: Fantasy
Sub Genre: Historical

🌻🌻🌻

- Trevi Fountain Date -

Kejadian tragis akan selalu memiliki titik ingat di sudut-sudut bumi, kendatipun sudah berlalu sejak berabad-abad yang lalu. Tempat di mana Liesel kini hidup, terutama pada distrik yang dia tempati, selalu memandang tanggal 15 Maret sebagai hari malapetaka. Mereka akan libur bekerja, menolak liburan, dan menghabiskan seharian di dalam rumah bersama keluarga sebagai upaya menghindari kesialan itu. Dahulunya, 15 Maret sempat menjadi Hari Perayaan Keagaman besar, tetapi dilengserkan menjadi hari yang membawa kemalangan sejak tragedi di Teater Pompey pada 15 Maret 44 SM.

Langkahnya menyusuri sisi bangunan yang seakan menjepitnya dengan gusar, pandangannya tak menetap ke depan, entah sudah ke berapa kalinya dia berbalik demi memastikan semuanya aman terkendali. Sesekali dia juga mendongak. "Kenapa rumah-rumah ini memiliki banyak sekali jendela?" gerutunya pelan. Angin yang bertiup sepoi sementara matahari sedang naik, menggiring perasaan aneh pada gadis itu. Sejatinya, memang tak ada apa-apa. Namun, pemikiran yang sudah tertancap pada benaknya itu menjadikan dirinya condong ke mana-mana, terutama keyakinan pada kesialan.

Liesel menghela napas panjang. "Apa aku putar balik saja?" Dia menghentikan langkahnya, "ah, tapi nanggung. Dia pasti sudah menungguku," lanjutnya berpikir. Dia jadi menyesali keputusannya untuk menerima ajakan pacar yang dia kenal lewat sosial medianya itu. Hari ini, pria itu meminta untuk bertemu pertama kalinya di Trevi Fountain. Pada akhirnya Liesel memutuskan untuk melanjutkan langkahnya dan menerobos larangan yang sudah dia anut sejak dulu-tidak keluar saat 15 Maret.

Pada saat sebelum Liesel berbelok di persimpangan jalan, ada sebuah gulungan papirus yang terjatuh tepat di hadapannya. "Apa ini?" tanyanya sembari meraih gulungan itu dan mendongak sejenak. Tak ada siapa-siapa, jendela-jendela tertutup, hanya ada burung yang melintas berlatar awan cerah.

Liesel lalu mencoba membukanya, menarik pengikatnya yang mirip tali jerami. Saat papirus itu terbuka, tiga kata terpampang jelas.

"Et tu, Brute?"

Liesel tercengang saat mengeja tatanan kata di dalam Papirus. Karena dia telah turut memahami tragedi itu, dia langsung memahami apa makna dari kalimat tersebut. Dia bergumam pelan, "Kamu juga, Brutus? Itu kalimat Julius Caesar sebelum mati terbunuh di kaki patung musuh bebuyutannya!" Usai berkata demikian, sekitarnya yang semula terang-benderang mendadak pudar dengan perlahan, cahaya semakin mengecil, hingga menyisakan kegelapan.

Liesel memandangi sekitar dengan takut, embusan napasnya memburu, dia menyadari papirus itu telah hilang dari genggamannya. Dia ingin berteriak, tetapi bibirnya seolah dibekap, suaranya sama sekali tak bisa keluar. Liesel terus berputar mencari jalan keluar. Namun, tak ada apa-apa selain hitam seluruhnya. Berselang beberapa detik, tiba-tiba kegelapan itu mulai menghilang. Liesel hampir bersorak, hanya saja rupanya dia keliru.

Dia mengira yang tadi itu hanya ilusi semata, atau efek dari kepalanya yang berdenyut. Namun, menyaksikan apa yang ada di depannya saat ini membuat Liesel sadar bahwa dia sedang tidak berada di zamannya. Liesel melihat ... sosok Julius Caesar. Ya, dia berharap memang tidak salah melihat. Liesel melihat pria itu berjalan dan melintas sisi sungai, lalu tiba di sebuah istana yang berseberangan dengan rumahnya. Saat tiba di sana, Liesel semakin tercengang, dia melihat di sana sosok ratu agung yang tercatat di sejarah Mesir kuno, dialah Cleopatra.

Liesel tentu tahu akan kisah Cleopatra dan Julius—Cleopatra mengundang Julius Caesar untuk bergabung dalam perjalanan ke Sungai Nil. Ketika dia melahirkan seorang putra hasil dari cinta dengan Caesar, Cleopatra memberi nama Julius, yang artinya 'Caesar kecil'. Liesel menyaksikan, bagaimana sosok Cleopatra yang mengadu pada Julius bagaimana dia tidak disukai di kota karena bersikeras untuk dipanggil sebagai 'ratu'. Meskipun begitu, Julius telah menempatkan patung Cleopatra yang dilapisi emas di kuil Venus Genetrix, dewi yang melahirkan kehidupan dan sangat dihormati di keluarga Caesar.

Ada hal lain yang lebih menarik perhatian Liesel, Cleopatra mengatakan pada Julius bahwa dia bermimpi melihatnya berlumuran darah dan meminta Julius untuk tidak menghadiri Rapat Senat. Namun, sayangnya Julius tetap memilih berangkat saat didatangi kabar bahwa para senator pasti akan menunggunya. Liesel bertanya-tanya, sebab kejadian sebenarnya yang bermimpi buruk akan tragedi ini adalah istri terakhir Julius, Calpurnia, bukan Cleopatra yang saat itu menjadi selir dari Julius.

Tayangan lain tetap terlihat dari pelupuk mata Liesel, Julius tiba dan memasuki ruangan di mana kurang lebih 60 Senator telah menunggu. Pada saat Julius naik ke atas Podium, Servilius Casca menikamnya dengan belati yang disembunyikan tepat di bahu kiri sedikit di atas tulang selangka, sedikit meleset karena kegugupannya. Julius sempat melakukan perlawanan, tetapi dia telah dikepung dari segala sisi, ke mana pun dia berpaling ada serangan senjata yang ditujukan ke muka dan matanya, didorong ke sana ke mari seperti binatang buas, terjerat di tangan semua orang; karena semua orang mengambil bagian dalam pengorbanan dan rasa dari pembantaian. Mayoritas senat Romawi lainnya tidak mengetahui rahasia rencana pembunuhan, duduk dalam keheningan yang mengerikan, terlalu takut untuk melarikan diri, meski beberapa bergegas ke keramaian di luar.

Dengan begitu banyak luka tusukan, Julius akhirnya roboh di bawah kaki Patung Pompey. Di saat-saat terakhir sebelum nyawa Julius melayang, ada seutas kalimat yang diucapkannya dengan lirih. "Et tu, Brute?" Serupa kalimat pertanyaan untuk sahabatnya yang turut terlibat dalam pembunuhannya, Marcus Junius Brutus.

Melihat bagaimana darah Julius yang bergelimang, memenuhi segala sisi, nyawa Liesel serasa tercekat sampai di tenggorokan. Dadanya mulai naik turun karena kepanikan. Namun, tiba-tiba ada sesuatu yang menariknya dari sana, mengempas tubuhnya hingga dirinya kini kembali ke persimpangan yang diapit bangunan-bangunan besar serta beberapa pohon-pohon yang menghijau. Liesel hampir saja ambruk karena rasa kagetnya yang luar bisa, tetapi ada lengan kekar yang menahan tubuhnya.

Liesel berbalik spontan, mendapat seorang pria yang begitu tampan ... dia bahkan lupa untuk mengedip. Tunggu, wajahnya kenapa sangat mirip dengan ... Julius Caesar?

"Aku sudah menunggumu lama, jadi aku berniat untuk mendatangi rumahmu meskipun aku belum tahu di mana tepatnya. Lalu, aku melihatmu bergeming di sini dengan mata yang terpejam. Apa yang terjadi?" Pria itu bertanya tanpa mengubah posisinya, masih menopang tubuh Liesel dan memandanginya dari dekat.

"Kau ... Julian?"

"Ya, Julian yang mengajakmu ke Trevi Fountain untuk melempar koin di sana dan mendoakan keberuntungan. Keberuntungan untuk cinta kita."

Melempar koin keberuntungan di hari yang identik dengan kesialan ini, bersama dengan seorang pria yang mirip Julius Caesar? Wah, sungguh menakjubkan!

🌻🌻🌻

Quest Day 4, End.

4 Juni 2024

(Tokoh Liesel akan selalu hadir di setiap bab dengan cerita yang berbeda)

Magic Mix [Short Story] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang