23

76 36 0
                                    

Sepanjang proses pindahan berlangsung, selama itu pula mereka jarang sekali beristirahat. Membutuhkan waktu sekitar dua harian untuk mereka bisa menempati rumah itu dengan layak.

Hari ini adalah hari terakhir mereka bersih-bersih. Senyum merekah di sudut keenam lelaki ketika melihat bahwa kondisi rumah sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Darah kering di lantai, sarang laba-laba yang berjerayutan di dinding serta kertas-kertas bekas sudah mereka bersihkan.

Waktu menunjukkan pukul satu siang dan sekarang ialah masa dimana mereka harus mengistirahatkan tubuh dan pikiran setelah bekerja dengan baik dalam dua hari terakhir.

Dafian menghela nafas puas dengan pekerjaannya. Ia berbaring di sofa ruang tamu. Saat diduduki, Dafian merasa jika busa dari sofa itu sudah tipis karena termakan usia yang pastinya harus segera diganti dengan sofa baru. Sebelum berbicara, Dafian juga berfikir bahwa harga sofa tidak murah seperti harga kerupuk, jelas mereka tidak semudah itu untuk membelinya.

Sambil memejamkan mata, Dafian angkat bicara, "Sofa ini kita ganti, gimana?"

"Gue rasa nggak cuma sofa aja melainkan perabotan lainnya seperti televisi, kompor gas, lemari, rak buku dan lain-lain juga harus di ganti. Tapi punya uang dari mana kita buat beli itu semua? Mikirin itu aja kepala gue langsung pusing." Devano merogoh kantong celana, mengambil dompetnya. Bisa dilihat di dalam dompet Devano terdapat uang seratus ribuan yang hanya berjumlah lima lembar.

"Nabung."

"Nabung, Than?"

"huft.. iya, nabung. Uang saku buat jajan di sekolah, jangan semuanya dibelanjakan. Kita bisa menyisihkan separuh dari uang nya." Jelas Nathan pada Maven.

William menggaruk dahinya. "Gue setuju. Lagian, kita semua pas pindah ke sini pasti dikasih uang, kan? Paling kurang ya seratus ribu lah."

"Gue nggak."

William mengerutkan kening ketika mendengar perkataan

William mengerutkan kening ketika mendengar saran dari Maven. "Bentar... kok?"

"Kenapa? Ayah gue emang bisa dibilang punya harta yang berlebih. Tapi dia jarang ngasih uang ke gue kecuali kalau gue beneran kepepet. Kaget ya? Gue nggak kayak kalian liat setiap harinya. Sakit sih. Terlahir dari keluarga kaya raya tapi pelit harta."

Maven duduk di samping Dafian sambil menundukkan kepalanya. Zayden menghampiri kedua lelaki yang duduk di sofa, ia berdidi di depan dua temannya.

"Gue yang nanggung. Udah, jangan ada yang iri satu sama lain. Kita harus ingat peraturan di rumah ini."

Maven hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Maven lebih memilih untuk mengalah daripada berdebat hal yang belum tentu orang lain bisa mengerti.

"Kalian mau liat sesuatu nggak?" ujar Dafian sembari bangun dari tidurnya.

"Apa?"

"Bentar,"

Kelima remaja di sana menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat Dafian beranjak pergi menuju kamar. Mereka menunggu sekitar lima menit lamanya sebelum Dafian akhirnya kembali dengan membawa sebuah kantong plastik yang ukurannya lumayan besar dan di dalamnya berisikan sesuatu. Dengan cepat Dafian membuka ikatan dari plastik tersebut agar rasa heran teman-temannya cepat teratasi.

"What is that?" William mencondongkan tubuh ke depan, berusaha mengamati lamat-lamat untuk memastikan apa yang dilihatnya itu benar.

Ekspresi mereka semakin bingung karena ternyata isi dari kantong plastik itu ialah sebuah setelan kostum badut lengkap dengan rambut palsu, sepatu, kaos tangan berwarna putih dan bahkan ada balon merah yang masih bagus alias belum ditiup, ada di dalam plastik itu.

RUMAH TUJUH ENAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang