Find?

5.3K 298 23
                                        

Salmita berlari tanpa memperhatikan sekitarnya. Hari ini adalah hari pertama dosen baru masuk ke kelasnya.

"Anjing, gue telat! Mana bukan Pak Seto lagi yang ngajar. Semoga aja dosennya baik dan ngizinin gue masuk," gumamnya sambil bergegas memasuki lift.

Namun, belum sempat pintu lift tertutup rapat, seseorang dengan gerakan cepat menahannya, membuat lift terbuka kembali.

"Maaf," ucap pria itu setelah berhasil masuk.

Salmita membeku sejenak, tapi cepat-cepat menetralkan rasa terkejutnya.

"Kamu telat?" tanya Deon.

"Iya," jawab Salmita ketus.

Suasana mendadak canggung dan dingin. Tak ada lagi obrolan atau pertanyaan dari dua orang yang dulu pernah dekat ini. Salmita menghela napas saat lift terasa sangat lambat menuju lantai tujuannya. Begitu pintu terbuka, Salmita langsung melesat keluar, meninggalkan Deon yang terlihat ingin mengatakan sesuatu.

"Kenapa harus ketemu dia sepagi ini? Bikin mood gue hancur aja!" gerutu Salmita.

Lorong kampus sudah sepi. Salmita menoleh sebentar, melihat Deon yang santai berjalan menuju kelasnya.

"Huh! Bismillah," ucap Salmita sambil mengetuk pintu kelas yang sudah tertutup lima menit lalu.

"Maaf, Pak. Saya terlambat," ucap Salmita yang masih berdiri di depan pintu.

Dosen itu mengangkat kepala, menatap Salmita.

Mata Salmita membulat. "Gak mungkin dia?" batinnya.

"KELUAR!" perintah Alfarez.

Ya, Alfarez Davindra, dosen muda yang kini mengajar di kelas Salmita, menggantikan dosen sebelumnya. Alfarez juga terkejut melihat sosok yang selama beberapa hari ini ia cari. Tapi ia cepat menetralkan ekspresinya.

"Ta-pi, Pak?"

"Saya tidak suka mahasiswa yang terlambat. Kalau dibiarkan, kalian akan mengulanginya lagi. Sekarang, keluar dan temui saya di ruangan saya setelah kelas selesai!" bentak Alfarez.

Salmita gemetar mendengar bentakan itu. Ia menatap sekilas mahasiswa lain yang memandangnya dengan iba. Dengan langkah berat, Salmita mundur dan menutup pintu.

Air mata yang ditahannya akhirnya jatuh. Ia merasa sangat malu dipermalukan di depan umum.

"Dosen GILA!" teriak Salmita.

"Bisa-bisanya dia bentak gue di depan orang banyak! Permainan apa ini?" ucapnya frustrasi.

"Gue benci lo, Alfarez!" umpatnya lagi.

Salmita memutuskan pergi ke kantin, membeli segelas minuman, dan menunggu jam mengajar Alfarez selesai.

"Makasih, Mang," ucap Salmita sambil memberikan uang sepuluh ribu.

***

Salmita sudah berdiri di depan ruangan dosen itu. Ia tak tahu hukuman apa yang menantinya. Tak lama, Alfarez muncul, mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung hingga siku.

"Masuk," perintahnya.

Salmita menurut, mengikuti Alfarez ke dalam ruangan.

"Duduk," perintah Alfarez lagi.

Tapi Salmita tetap berdiri, mengacuhkan perintahnya.

"Saya tidak mau!" tolak Salmita.

Alfarez menatapnya tajam, lalu menghela napas.

"Kenapa Anda tega memperlakukan saya seperti ini?" tanya Salmita marah.

"Maksudmu, perlakuan saya yang mana? Yang di kelas atau kejadian seminggu lalu?" balas Alfarez.

Salmita terkejut. Ia kira Alfarez sudah melupakan kejadian itu.

"Anda masih ingat? Saya kira Anda akan pura-pura lupa dengan kelakuan bejat Anda!" ejek Salmita.

"Saya tidak akan pernah lupa. Bahkan, hampir setiap hari saya pergi ke tempat itu untuk mencarimu," jelas Alfarez.

"Kenapa? Mau melecehkan saya lagi? Dasar dosen mesum!" jawab Salmita kesal.

Alfarez menghela napas lagi. "Bukan begitu, Salmita. Aku ingin minta maaf. Itu juga pertama kalinya untukku. Setelahnya, aku tidak pernah melakukannya lagi," ujarnya tulus.

Salmita menunduk, lalu perlahan duduk di sebelah Alfarez.

"Kalau memang Anda menyesal dan ingin minta maaf, seharusnya Anda tidak membentak atau mengusir saya dari kelas tadi!" Salmita menangis lagi.

"Jangan karena kita pernah tidur bersama, lalu saya melanggar peraturan yang saya buat sendiri. Saya akan tetap melakukan hal yang sama kepada semua mahasiswa yang terlambat. Itu peraturan saya agar semua mahasiswa disiplin, terutama di mata kuliah saya. Jadi, jangan tersinggung. Saya memperlakukan semua mahasiswa saya sama," jelas Alfarez.

Ia menyodorkan ponselnya ke Salmita.

"Ini apa?" tanya Salmita bingung.

"Tulis nomormu," perintah Alfarez.

Salmita menghela napas, lalu memasukkan nomornya dengan cepat.

"Ini!" ucapnya sambil mengembalikan ponsel itu dengan kasar.

Alfarez menyimpan nomor Salmita, lalu meneleponnya. Ponsel Salmita berdering.

"Simpan nomorku," titah Alfarez.

Salmita hanya mengangguk. Alfarez kemudian menyodorkan selembar kertas.

"Materi hari ini. Pelajari, dan akan saya bahas di pertemuan berikutnya," ucapnya tegas.

"Dan satu lagi, jangan terlambat lagi di kelas saya," tambah Alfarez dengan wajah dingin.

Salmita mengambil kertas itu, menyimpannya ke dalam tas, dan bersiap pergi. Tapi Alfarez memanggilnya lagi.

"Satu lagi, panggil saya dengan sopan. Di kampus, saya dosen kamu, dan kamu mahasiswa saya. Jadi, panggil saya dengan hormat," ucap Alfarez tegas.

"Dasar gila hormat!" batin Salmita.

"Baik, Pak," jawab Salmita malas, lalu pergi tanpa pamit.

Alfarez menggelengkan kepala, melihat tingkah gadis yang membuatnya kalang kabut ini.

"Dasar gadis nakal," gumamnya sambil tersenyum, memandangi foto Salmita di kontak ponselnya.

Sementara itu, Salmita yang baru keluar dari ruangan itu tidak berhenti mengumpat.

"Dasar Alfarez, dosen mesummm!!" sumpah serapahnya.

***

Faultiness [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang