Jenuh

1.2K 110 12
                                        

Tiga tahun kemudian.

Suasana mencekam menyelimuti hidup Alfarez. Begitu banyak tanggung jawab yang membebani pundaknya, dan semakin hari, rasa jenuh semakin mendesak di antara dirinya dan Salmita, istri yang dulu dicintainya dengan sepenuh hati. Keduanya sering terlibat pertengkaran hebat, dan setiap kali itu terjadi, Alfarez merasa seolah semua kebahagiaannya sirna. Tak jarang ia memilih pergi dari rumah, mencari ketenangan di salah satu apartemen miliknya.

Di sebuah kafe yang sepi, Alfarez duduk dengan ekspresi muram di wajahnya. Darwin, sahabatnya yang setia, mencermati keadaan tersebut. "Lo mau sampai kapan terus-terusan ngeluh dan uring-uringan kayak gini, Al?" tanya Darwin, nada suaranya mulai mengungkapkan frustrasi.

Alfarez menghela napas panjang, melepas lelah. "Lo tahu kan, setiap hari gue dituduh selingkuh. Padahal gue terpuruk kerja keras demi bikin dia bahagia," jawabnya dengan nada kecewa, sambil sedikit melonggarkan dasi yang terasa mengekang di lehernya.

Darwin mengangguk, mencoba memahami. "Mungkin Salmita lagi banyak tekanan, Al. Lo tahu banget dia bukan tipe perempuan yang gampang nuduh tanpa alasan. Atau... jangan-jangan lo beneran selingkuh?" ujarnya, dengan nada menggoda namun serius.

Kemarahan membuncah di dada Alfarez. "Bangsat! Gue nggak mungkin hancurin rumah tangga gue sendiri! Lagian, ada Naomi, buah cinta gue sama Salmita. Dia yang bikin semuanya jadi berharga," tegasnya, wajahnya merona marah.

Darwin tak menyerah. "Atau...," ia memulai kalimatnya dengan hati-hati, "mungkin Salmita yang selingkuh, dan dia menjadikan lo sebagai korban. Hanya untuk menutupi kesalahannya sendiri."

Ucapan tersebut membuat Alfarez terdiam sejenak. Pikiran itu mengusik hatinya, menimbulkan keraguan dalam benaknya. Ia teringat akan semua perubahan dalam diri Salmita, ekspresi wajahnya yang kadang jauh dan penuh beban. Namun, ia dengan cepat menepis pikiran tersebut. "Nggak mungkin," gumamnya, walau suaranya tak sepenuh hati. "Kami udah berjuang ini bersama-sama. Gue nggak mau berprasangka buruk."

Darwin merasakan kebimbangan dalam diri sahabatnya. "Gue cuma ingin lo ingat, apapun yang terjadi, lo harus tetap jujur, baik terhadap diri lo sendiri, maupun Salmita. Cinta itu butuh kepercayaan," ucapnya, lembut namun tegas. Alfarez mengangguk, mencoba mencerna kata-kata dalam jiwanya. Pertikaian ini bukan hanya soal cinta, melainkan tentang kejujuran dan saling menghormati.

**

"Ibu, kenapa ayah sekarang jarang di rumah?" tanya Naomi, gadis kecil berwajah ceria dengan pipi gembul yang kini menginjak usia enam tahun. Matanya yang besar penuh rasa ingin tahu menatap Salmita dengan harapan.

Salmita tersenyum lembut, berusaha menyembunyikan keresahan di hatinya saat mengusap lembut kepala anak perempuannya. "Ayah lagi banyak kerjaan, sayang. Dia sibuk mencari uang untuk kita," jawabnya sekenanya, berusaha memberikan penjelasan yang bisa diterima oleh kadar pemahaman anak seusia Naomi.

Namun, dalam hati Salmita, kerinduan akan sosok Alfarez selalu menghilang dan muncul bagai badai yang tak kunjung reda. Setiap kali ia mengingat wajah suaminya, jiwanya seolah terhempas dalam kenangan-kenangan pahit. Seperti luka yang tak kunjung sembuh, rasa sakit itu menjeratnya setiap kali ia berusaha mencintai lagi.

Naomi yang cerewet, dengan segala keceriaannya, terkadang membuat Salmita tersenyum meski hatinya hancur. "Emang ayah nggak mau main sama kita lagi?" tanya Naomi polos, dengan mata berbinar penuh harapan.

Salmita menghela napas panjang, merasa berat untuk menjawab. "Ayah... ayah sedang sibuk. Tapi dia pasti sangat sayang sama kita," ujarnya, walau dalam hatinya penuh keraguan. Ia bertekad untuk menjaga imaji positif tentang Alfarez di mata putrinya, meskipun kenyataan seringkali berkata sebaliknya.

Semua ini menjadi beban di dalam sanubari Salmita, seolah waktu memperlambat langkahnya, merenggut kebahagiaan yang pernah mereka miliki. Ia tahu, anaknya layak mendapatkan jawaban yang lebih baik, tapi untuk sekarang, Salmita hanya bisa berdoa agar segalanya kembali seperti semula.

**

Setelah menikmati secangkir kopi di kafe, Alfarez merasakan ketenangan sejenak, namun keputusan untuk kembali ke rumah terasa begitu berat. Rumah itu bukan hanya sekadar bangunan, melainkan saksi bisu dari berbagai kisah indah dan pahit yang ia dan istrinya, Salmita, ukir bersama. Namun, bayangan putrinya, Naomi, selalu menghantui setiap langkahnya.

"Lo nggak kangen sama Naomi, Al?" tanya Darwin, sahabatnya yang selalu penuh dengan candaan, sambil menepuk bahu Alfarez dengan cara yang akrab. Senyum nakalnya seolah ingin menggoyahkan keteguhan hati Alfarez untuk tidak pulang.

"Ya, kangen. Tapi juga bingung," jawab Alfarez dengan nada yang datar, meskipun di dalam hatinya bergejolak. Ia tahu, perasaannya yang campur aduk itu bukan hanya tentang rindu, tetapi juga rasa bersalah dan ketidakpastian yang melingkupi rumah mereka.

Ketika ia sampai di depan pintu rumah, Alfarez terhenti sejenak. Pintu itu tampak sama seperti biasanya, tetapi baginya, ada sesuatu yang terasa berbeda. Tiga hari tanpa suara, tanpa tawa, tanpa kebahagiaan. Napasnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menghalangi langkahnya. Dengan perlahan, ia menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka pintu yang menyimpan begitu banyak kenangan.

Sesaat setelah ia melangkah masuk, suasana sepi menyambutnya dengan dingin. Hampa. Ruang tamu yang dulunya riuh dengan tawa kini terasa seakan terperangkap dalam keheningan. Beban di pundaknya semakin berat, dan dorongan untuk membersihkan diri dari semua pikiran mengganggu semakin mendesak. Ia melangkah ke kamar mandi dengan langkah yang berat, merasakan rasa cemas yang menyergap.

Di tengah perjalanan, sosok Salmita terlewatkan begitu saja. Ia terbaring di atas ranjang, tenggelam dalam kesendiriannya yang mendalam. Wajahnya terlihat lelah, seolah waktu dan masalah yang tak kunjung usai telah menggerogoti semangatnya.

"Seharusnya aku berada di kamar Naomi saja jika tahu dia akan pulang ke rumah," gumam Salmita, suaranya serak dan penuh dengan kesedihan saat dia menyadari kehadiran Alfarez. Kata-katanya seperti belati yang melukai hati Alfarez. Ia merasa seolah masa lalu mereka yang indah kini teralihkan oleh rasa sakit yang tiada henti.

Hati Alfarez teriris mendengar ucapan Salmita. Ia tahu betapa beratnya konflik yang mereka hadapi, bagaimana pertengkaran yang berulang kali mengoyak kebersamaan mereka.

"Salmita," panggil Alfarez lembut, berusaha menjangkau perasaannya, tetapi dia memilih untuk tidak menjawab, seolah mengabaikannya.

"Maafkan aku, aku tidak ingin ini terjadi," lanjut Alfarez, suaranya dipenuhi penyesalan. Ia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya ke kamar mandi, berharap bisa membersihkan pikirannya. Namun, setiap langkahnya terasa seperti berlari di tempat, terjebak dalam pusaran rasa bersalah dan kesedihan.

Di dalam kamar mandi, air mengalir deras, seolah ingin membasuh semua beban pikiran yang menyelimuti. Namun, meski air mengalir, perasaan di dalam hatinya tidak kunjung surut. Ia merindukan Naomi, tetapi di saat yang sama, ia merasa terasing dari Salmita, dari wanita yang dulunya penuh senyuman dan tawa, kini hanya bayangan dari masa lalu.

"Kenapa kita sampai di sini?" bisik Alfarez pada bayangannya sendiri di cermin. Ia tahu bahwa untuk bisa melangkah maju, mereka harus menghadapi semua rasa sakit yang menghalangi jalan mereka, tetapi bagaimana cara memulainya ketika kata-kata terasa begitu sulit untuk diucapkan?

Suara notifikasi ponsel Salmita terdengar memecah keheningan, membuatnya terbangun dari lamunan yang menyakitkan. Dengan ragu, ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Setiap bunyi pesan seolah mengingatkannya pada rasa sakit dan sesak yang terus menghimpit hatinya. "Seandainya aku bisa mengabaikannya," pikirnya, ingin sekali ia melempar ponsel itu agar semua gangguan ini berhenti.

Salmita menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat, di balik sana suaminya masih terkurung dalam dunia yang tak ia mengerti. Dengan suara pelan, hampir tak terdengar, ia mengucapkan, "Al, aku sudah lelah." Kata-katanya terucap penuh harapan, berharap suaminya mendengarnya, meski ia tahu itu hanya angan-angan. Dalam kesunyian itu, hatinya terus bergetar, merindukan kehadiran dan perhatian yang kini terasa semakin jauh.

***
Halo!! Ada yang kangen sama mereka?
Aku mau up beberapa part dalam beberapa hari ini buat ngobatin rasa rindu aku sama mereka😭
Jujur udah draft lama hehe tapi semoga kalian masih suka yaa💓
Bitha✨

Faultiness [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang