"Jadi, apa rencana lo selanjutnya?" tanya seseorang dengan nada curiga, menatapnya tajam.
"Ikuti permainan ini," jawabnya sambil mengukir senyum licik di wajahnya.
"Lo yakin? Nanti Alfarez bisa curiga," orang itu mengingatkan, masih ragu dengan rencana yang ada di depan mereka.
"Tenang saja. Alfarez mungkin tampan dan berkuasa, tapi untuk urusan ini, dia sangat mudah dibodohi. Dia butuh seseorang seperti Salmita untuk menyelamatkan dirinya dari kebodohan itu," ucapnya, percaya diri.
"Jadi, apa tugas gue dalam rencana ini?" tanya lawan bicaranya lagi, semakin tertarik pada permainan yang tengah mereka rencanakan.
"Lo cukup berpura-pura nggak tahu apa-apa. Dan satu hal lagi, biarkan perempuan itu merasa menang terlebih dahulu. Itu bagian yang paling penting," katanya sambil tersenyum tipis, seolah sudah mengatur semua langkah mereka dengan rapi.
"Seharusnya gue yang jadi suami lo, bukan dia. Lo sangat cerdas!" puji lawan bicaranya, terpesona oleh kecerdikan rencana tersebut.
"Stop selalu menggoda gue! Ingat, gue udah bersuami," balasnya, meski senyum di wajahnya menunjukkan bahwa ia menikmati pujian itu.
"Iya, iya.. gue cuma bercanda," orang itu menjawab dengan tawa, namun pikirannya sudah melayang jauh, membayangkan betapa menariknya permainan ini.
Mereka berdua saling bertukar pandang, mengerti bahwa mereka baru saja memasuki lapangan yang berbahaya, tapi juga sangat menggoda. Rencana ini adalah permainan yang penuh risiko, namun mereka tahu, dengan strategi yang tepat, hasilnya bisa jadi sangat menguntungkan.
**
"Dari mana?" Suara dingin itu menyambut kepulangan Salmita, menggema di ruang tamu yang sepi. Tatapan Alfarez menembus keheningan malam, menunggu jawaban dari istrinya dengan penuh ketegangan. Salmita menatap sekilas suaminya, merasakan kemarahan yang meluap di udara, lalu beranjak tanpa mengucapkan sepatah kata pun, melangkah menuju kamarnya.
Dengan hati yang bergejolak, Alfarez merasa semakin frustrasi. Ia sudah menunggu terlalu lama untuk mendiskusikan masalah ini, dan sikap acuh Salmita hanya membuatnya semakin geram. "SALMITA ISVARA DAVINDRA!" suaranya membahana, memecah kesunyian malam. Tangannya mencengkeram lengan Salmita dengan kuat, menahan langkahnya.
Salmita terpaksa berhenti dan menatap tajam ke arah suaminya, matanya berkilauan dengan emosi yang tak terbendung. Cengkraman Alfarez terasa menyakitkan, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan. "Habis ketemu Keyla!" jawabnya dengan nada ketus, berusaha mengalihkan perhatian.
"Mau sampai kapan kamu kaya gini ke aku, Sal?" Alfarez bertanya dengan nada frustasi, suaranya bergetar. "Sampai kapan kita bertemu hanya untuk bertengkar? Bahkan aku aja nggak tau apa salahku. Setiap kali kita berbicara, yang ada hanya pertengkaran dan tuduhan!"
Salmita tersenyum sinis, senyumnya penuh kepahitan. "Sampai perempuan itu berhenti mengganggu rumah tangga kita, Alfarez Davindra!" teriaknya, suaranya penuh amarah. Untungnya, Naomi, putri mereka, sedang pergi berlibur bersama omanya, mami Alfarez, sehingga suasana ini tidak terdengar oleh anak mereka.
Alfarez mendesah, merasa hatinya semakin berat. "Mau berapa kali lagi aku jelasin ke kamu, Sal? Aku sama Karmen cuma sekadar rekan bisnis, nggak lebih. Kamu harus percaya sama aku!" Ia berusaha menahan emosinya, tapi nada suaranya menunjukkan betapa dalamnya ia terluka.
Salmita menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Dan kamu pikir aku bisa percaya begitu saja? Setiap kali aku melihatmu berdua, hatiku hancur. Aku bukan orang yang bodoh, Alfarez. Semua ini terasa seperti sandiwara, dan aku sudah muak dengan semua kebohongan ini," ucapnya, suaranya mulai bergetar.
Alfarez merasakan kepedihan dalam setiap kata yang diucapkan Salmita. Ia ingin mendekat, ingin memeluknya dan menghapus semua rasa sakit itu, tetapi jarak di antara mereka semakin membentang. "Salmita, aku mencintaimu. Aku nggak ingin kehilangan kamu. Kita harus mencari cara untuk menyelesaikan ini. Mari kita bicarakan dengan tenang, tanpa emosi yang menguasai kita," pintanya dengan lembut, berusaha meraih hatinya kembali.
Salmita menatap suaminya dengan tatapan penuh keraguan. "Bicarakan? Apa yang bisa kita bicarakan lagi setelah semua ini? Setiap kali aku mencoba, kita hanya berakhir dengan pertengkaran. Aku tidak ingin hidup seperti ini. Aku butuh kepastian, Alfarez."
Keduanya terdiam, terjebak dalam ketegangan yang mencekam. Dalam keheningan itu, mereka berdua mulai menyadari bahwa perasaan mereka yang mendalam tidak mungkin diabaikan begitu saja, namun jalan menuju penyelesaian tampak semakin kabur.
**
Alfarez hanya bisa menatap punggung sang istri, Salmita, yang terbaring di ranjang yang sama dengannya. Di antara mereka, ada jarak yang terasa begitu mencolok-bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Tidak ada pelukan hangat yang biasanya menghangatkan malam-malam mereka, tidak ada obrolan ringan yang sering kali mengisi kebisingan di antara dua jiwa yang saling mencintai. Yang ada kini hanyalah keheningan yang semakin membuat Alfarez merasa terasing dan frustrasi.
"Aku kangen kamu, Sal," batin Alfarez, menyaksikan rambut hitam panjang istrinya yang terurai di atas bantal. Dia ingat betapa cantiknya Salmita ketika dia tersenyum, bagaimana matanya berkilau saat mereka berbicara tentang impian dan harapan. Namun, semua itu kini terasa seperti kenangan yang samar, terhapus oleh kehadiran Karmen, rekan bisnisnya yang selalu tampak anggun dan cerdas. Dia tidak bisa memahami apa yang membuat Salmita begitu marah dan terluka. "Apa yang salah, Sal? Kenapa kita harus melalui ini?" pikirnya, penuh kebingungan.
Di sisi lain ranjang, Salmita yang sebenarnya belum tidur, hanya bisa menatap jendela kamarnya. Angin malam yang lembut memainkan tirai, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding. Tidur di satu ranjang yang sama dengan suaminya kini terasa seperti sebuah siksaan. Ingatan tentang Karmen, perempuan yang dianggapnya sebagai ancaman yang ingin merusak rumah tangganya, terus menghantui pikirannya. "Gue bukan perempuan lemah, Karmenia! Lo belum kenal siapa Salmita Isvara. Lo boleh merasa permainan lo sukses. Tapi asal lo tahu, gue juga sedang memainkan peran gue," batinnya, dengan semangat yang membara.
Salmita menggigit bibirnya, merasakan kemarahan dan rasa sakit yang menggelora dalam dadanya. Dia tidak bisa membiarkan Karmen menang, tidak bisa membiarkan perempuan itu merasa bahwa dia bisa merebut semua yang telah dia bangun bersama Alfarez. Dia mengingat semua momen indah yang telah mereka lalui, semua tawa dan air mata yang telah mengikat mereka menjadi satu. "Ini bukan hanya tentang cinta, tapi tentang komitmen. Gue nggak akan menyerah begitu saja," pikirnya tegas.
Seakan merasakan ketegangan di udara, Alfarez berbalik dan menatap Salmita yang masih terjaga. "Sal, aku... aku nggak tahu harus gimana jelasin semua ini. Karmen hanya rekan kerja, aku nggak pernah berniat untuk membuat kamu merasa seperti ini," ucapnya, suaranya penuh keputusasaan. Dia ingin sekali menggapai tangan Salmita, merangkulnya dan menghapus semua rasa sakit yang ada, tapi dia takut akan penolakan.
Salmita menoleh, matanya menatap Alfarez dengan penuh keraguan dan rasa sakit. "Kamu nggak ngerti, Al. Ini bukan hanya tentang Karmen. Ini tentang kepercayaan yang hancur, tentang rasa sakit yang nggak bisa aku sembunyikan," jawabnya, suaranya bergetar. "Bagaimana aku bisa percaya sama kamu setelah semua yang terjadi?"
Alfarez terdiam, kata-katanya terjebak di tenggorokannya. Dia ingin menjelaskan, ingin meyakinkan Salmita bahwa semua ini hanyalah kesalahpahaman, tetapi kata-kata itu terasa begitu sulit untuk diungkapkan. Momen ini, keheningan yang menyelimuti mereka, seolah menjadi saksi bisu dari segala perasaan yang terpendam.
"Sal, aku janji akan berjuang untuk kita. Aku nggak ingin kehilangan kamu. Tolong, beri aku kesempatan," ujarnya akhirnya, dengan harapan yang berkilau di matanya, meski dia tahu bahwa untuk membangun kembali kepercayaan bukanlah hal yang mudah.
Salmita menatap suaminya, merasakan ketulusan dalam matanya. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa proses penyembuhan ini akan memakan waktu. "Kita perlu bicara lebih banyak tentang ini, Al. Kita nggak bisa menyelesaikannya hanya dengan janji," jawabnya, pelan namun tegas.
Dan malam itu, di bawah gemerlap bintang di langit, dua hati yang terluka berusaha menemukan jalan kembali, meski mereka tahu bahwa perjalanan itu tidak akan mudah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Faultiness [END]
RomanceKisah tentang Salmita Isvara, Gadis yang berjuang untuk hidup dan matinya. Kepergian kedua orang tuannya membuat Salmita harus bertemu dengan sosok lelaki yang ternyata adalah Dosen muda di kampusnya, Alfarez Davindra. Namun sialnya, Salmita malah t...
![Faultiness [END]](https://img.wattpad.com/cover/370467541-64-k202173.jpg)