1.1-Awal_Perjuangan-1.1

46 5 2
                                    

Matahari bersinar terik di kota tua Zamruda. Jalanan yang berlubang dipenuhi dengan debu dan sampah berserakan. Riak-riak kemarahan membakar dada Amir ketika ia melewati kawasan kumuh itu. Deretan rumah bobrok terbuat dari kayu dan seng usang menggambarkan kemiskinan yang merajalela.

Seorang anak kecil bertelanjang kaki menghampiri Amir dengan wajah memelas. "Tuan, bisakah Tuan memberiku sedikit uang untuk membeli roti?"

Amir merogoh saku dan mengeluarkan beberapa koin kepada anak itu. Rasa ngilu menghunjam ulu hatinya. Betapa banyak anak-anak tak berdosa yang harus memohon-mohon untuk sekedar mengganjal perut mereka. Sementara para pemimpin dan kroni-kroninya hidup dalam kemewahan yang mencolok mata.

Ketika melewati pasar, Amir menyaksikan seorang pedagang sayur tua dipukuli oleh tiga orang bertubuh kekar. "Bayar upeti atau kau akan kehilangan kedaimu, paria!" bentak salah satu dari mereka sambil meludahi wajah kakek malang itu.

Dengan berani, Amir melangkah maju dan menghalangi para pemalak itu. "Hentikan! Kalian pikir kalian siapa melakukan tindakan keji seperti itu?!"

Salah seorang dari mereka mendorongnya kasar hingga Amir terhuyung ke belakang. "Jangan ikut campur, anak muda. Atau kau akan merasakan akibatnya!" ancamnya sambil memperlihatkan sebilah pisau lipat yang terselip di balik jaketnya.

Sebelum Amir dapat bereaksi, sebuah tembakan meletus memecah kerumunan. Pedagang sayur tua itu tersungkur dengan darah membasahi debu jalanan. Teriakan memekakkan telinga memenuhi udara, disusul kepanikan warga yang berhamburan mencari perlindungan.

Amir membeku di tempat. Rasa ngeri dan amarah bergolak dalam dirinya. Ia menggertakkan gigi, rahangnya mengeras. Sudah cukup ia menyaksikan ketidakadilan seperti ini hari demi hari. Penderitaan rakyat yang terinjak-injak telah mencapai batas kesabarannya.

Dengan mata memicing, Amir mengamati tiga orang brutal itu melenggang pergi dengan santai seolah tidak terjadi apapun. Langkah mereka angkuh dan arogansi terpancar dari roman wajah mengerikan itu. Mereka layaknya binatang buas yang menjadikan rakyat sebagai mangsanya.

Seorang wanita tua yang menyaksikan pembunuhan sadis itu menghampiri Amir dengan tubuh menggigil ketakutan. "Tuan, sebaiknya Tuan jangan melawan mereka. Itu adalah anak buah Agra Wibowo, penguasa de facto kota ini."

Nama itu memantik ingatan Amir tentang Agra Wibowo, seorang konglomerat dan bandar judi paling berkuasa di negeri ini. Rekan-rekan seperjuangannya telah lama mengincar untuk membongkar praktik bisnisnya yang kerap bertabrakan dengan hukum dan etika.

Dengan keyakinan yang membaja, Amir bersumpah dalam hati bahwa ia akan mengakhiri kelaliman ini sekali dan untuk selamanya. Masa sudah tiba bagi rakyat untuk melawan penindasan yang merajalela. Ia akan menjadi pemicu perubahan, meski harus menempuh jalan yang berliku dan berbahaya.

Hari ini menandai awal perjuangannya melawan arus ketidakadilan yang telah menggerogoti negerinya seperti penyakit kronis. Amir tahu, masih banyak liku yang harus dihadapi. Perlawanannya akan mengundang reaksi keras dari para penguasa yang menghisap darah rakyat. Tapi tekadnya sudah bulat untuk memberi cahaya harapan kepada mereka yang selama ini hidup dalam keterpurukan dan keputusasaan.

Penebus KeadilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang