Setelah aksi teror beruntun yang menewaskan sejumlah rekan seperjuangan, Amir menyadari bahwa kondisi semakin berbahaya untuk terus beroperasi di kota itu. Sebuah keputusan berat harus diambil demi menjaga kelangsungan gerakan perlawanan.
"Kita harus segera mengungsi dan mencari tempat persembunyian yang lebih aman," usul Amir dalam rapat internal kelompok yang diselenggarakan secara rahasia.
Wajah-wajah para aktivis itu tertekuk dalam keraguan. Sudah puluhan tahun lamanya mereka hidup dan berjuang di kota kelahiran ini. Meninggalkannya terasa bagai melepas separuh jiwa mereka.
"Tapi ke mana kita harus pergi?" tanya Tania gamang. "Kita tidak punya banyak sumber daya dan koneksi di luar sini."
Amir memandang rekan-rekannya dengan sorot mata memohon pengertian. "Aku tahu ini berat, Tan. Tapi meneruskan perjuangan di sini hanya akan menjerumuskan kita ke lubang pengorbanan yang sia-sia."
"Dia benar," Faris angkat bicara setuju dengan Amir. "Musuh semakin meningkatkan operasi pembunuhan dan penindasan. Kita tak akan pernah aman selama masih di bawah kekangan mereka."
"Lalu bagaimana dengan jaringan pendukung kita di sini?" Pertanyaan itu terlontar dari Yuli, aktivis senior yang senantiasa memperjuangkan nasib buruh dan pekerja.
"Kita akan menginstruksikan agar tetap bergerak dari bawah tanah sambil menunggu perintah selanjutnya," jawan Amir tegas. "Untuk saat ini, prioritas utama kita adalah mencari basis perlindungan yang aman sebelum digempur habis-habisan."
Sejenak, semua rekan-rekannya termenung dalam kediaman. Hingga akhirnya Joko, yang selama ini diam mendengarkan, mengangkat tangannya.
"Aku rasa aku punya solusi," ujarnya separuh berbisik, seolah mengantisipasi penyadap suara musuh. "Di pedalaman, di sebuah wilayah terpencil yang sulit dijangkau, ada komunitas terpencil yang mungkin bisa menampung kita."
Amir dan lainnya saling berpandangan dengan raut penuh tanya.
"Komunitas seperti apa? Dan bagaimana kita bisa percaya mereka tidak akan mengkhianati kita?" tanya Yuli dengan nada menyelidik. Sepertinya, rasa curiga terhadap Joko masih berlanjut setelah insiden yang hampir memicunya ditembak beberapa waktu lalu.
Menghela napas panjang, Joko melanjutkan penjelasannya. "Dulu aku sering ditugaskan mengawal Agra Wibowo dalam kunjungannya ke wilayah terpencil itu. Ada semacam komunitas yang hidup dengan prinsip hidup sederhana dan independen dari pemerintah. Lokasinya terpencil dan tersembunyi, konon banyak juga buronan kasus separah kita yang bersembunyi di sana."
"Terdengar seperti tempat yang menjanjikan," Amir menganggukkan kepala, tampak tergerak dengan opsi itu. "Selama kita bisa mendapat kepercayaan mereka, mungkin saja tempat itu bisa menjadi benteng pertahanan sekaligus markas pengoperasian kita."
Akhirnya, satu per satu, rekan-rekannya mulai mengangguk setuju. Tak ada pilihan lain selain mengungsi dari kota yang telah menjadi sarang pembantaian bagi para aktivis perlawanan seperti mereka.
Beberapa hari kemudian, rombongan kecil Amir dan kelompoknya meninggalkan kota dengan hati-hati menuju wilayah terpencil yang disebutkan Joko. Perjuangan mereka untuk menggulingkan rezim korup memasuki babak baru yang sarat dengan tantangan dan ketidakpastian.
Dalam perjalanan menuju lokasi komunitas misterius itu, Amir terus berwaspada terhadap segala kemungkinan buruk yang mengancam. Demi menjaga momentum perlawanan, mereka harus berhasil menemukan tempat berlindung yang aman. Atau seluruh pengorbanan yang telah mereka lakukan akan sia-sia belaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penebus Keadilan
General Fiction"Penebus Keadilan" Sinopsis: Di sebuah negara yang terperangkap dalam cengkeraman kekuasaan korup dan intrik politik, seorang pemuda bernama Amir tergerak oleh penderitaan rakyat yang terhisap habis oleh keserakahan para oligarki. Dengan hati yang p...