Seminggu setelah menyaksikan pembunuhan sadis di pasar, Amir menghabiskan malam-malamnya dengan gelisah. Bayangan wajah pedagang sayur tua yang terkujur kaku itu terus menghantuinya. Ia tak dapat membayangkan betapa sulitnya hidup yang dijalani rakyat jelata hingga mereka harus meregang nyawa demi sekedar mencari sesuap nasi.
Amir sadar bahwa dirinya sendirian tak akan mampu menggempur kejahatan terstruktur yang telah mengakar dalam sistem. Ia membutuhkan sekutu, orang-orang yang juga mendambakan perubahan seperti dirinya. Maka, di suatu malam, Amir mengumpulkan rekan-rekan lamanya yang tergabung dalam kelompok aktivis anti-korupsi.
Mereka berkumpul di sebuah gudang tua yang tersembunyi, jauh dari jangkauan mata-mata rezim penguasa. Satu per satu, Amir memandangi wajah-wajah yang hadir. Kebanyakan dari mereka adalah aktivis muda yang menggempur pemerintah melalui tulisan dan aksi jalanan. Namun, usaha mereka seringkali kandas akibat represi dan intimidasi.
"Kawan-kawan, seperti yang kita semua sadari, negeri kita telah terjerat dalam cengkeraman korupsi dan ketidakadilan yang akut," Amir memulai dengan suara bergetar menahan emosi. "Rezim berkuasa saat ini hanya mementingkan kekayaan dan kekuasaan mereka. Mereka menghisap darah rakyat tanpa peduli pada penderitaan yang dialami."
"Bukankah kita sudah lama berjuang melawan hal ini? Tapi usaha kita selalu dipatahkan," sahut Tania, seorang aktvis senior dengan nada frustrasi.
Amir mengangguk menanggapi komentar itu. "Memang benar, Tan. Namun selama ini, perjuangan kita terlalu terpecah dan berjalan sendiri-sendiri. Kita perlu persatuan dan strategi yang lebih terorganisir."
"Jadi apa rencanamu, Mir?" tanya Faris, aktvis muda yang penuh semangat namun sering terlalu gegabah.
Menatap satu per satu rekan-rekannya, Amir menarik napas panjang. "Proposal yang akan kulontarkan mungkin terdengar ekstrem. Namun dalam situasi seperti ini, cara-cara militan adalah satu-satunya opsi yang tersisa."
Seluruh ruangan seketika hening menanti penjelasan Amir selanjutnya. Ekspresi wajah rekan-rekannya memancarkan campuran antara keraguan dan rasa ingin tahu.
"Kita harus membentuk gerakan perlawanan bawah tanah untuk melawan rezim dari dalam," sambung Amir dengan nada tegas. "Mengumpulkan bukti kejahatan mereka, merekrut anggota baru, bahkan jika perlu, menggunakan cara-cara radikal untuk memaksa mereka turun dari tampuk kekuasaan."
Gumaman ketidakpercayaan dan keberatan mulai terdengar dari penjuru ruangan. Amir mengacungkan tangannya, menenangkan keributan itu.
"Aku tahu konsep ini terdengar berbahaya. Namun apakah kita akan terus membiarkan penindasan dan kehancuran negeri ini berlanjut? Bukankah sudah terlalu banyak nyawa yang melayang akibat ulah para penjahat berkedok penguasa?"
Keheningan kembali menyelimuti ruangan usai kata-kata Amir menggema. Semuanya masih terlihat ragu, kecuali Faris yang bersemangat menyetujui usulan tersebut.
Namun, tiba-tiba pintu gudang terbuka menganga dan sesosok pria bertubuh jangkung melangkah masuk dengan lubang menganga di kepalanya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Penebus Keadilan
General Fiction"Penebus Keadilan" Sinopsis: Di sebuah negara yang terperangkap dalam cengkeraman kekuasaan korup dan intrik politik, seorang pemuda bernama Amir tergerak oleh penderitaan rakyat yang terhisap habis oleh keserakahan para oligarki. Dengan hati yang p...