1.4-Teror-1.4

22 3 0
                                    

Sepekan setelah pertemuan rahasia di gudang tua itu, Amir dan rekan-rekannya tenggelam dalam semangat menggempur rezim penguasa. Bukti-bukti kejahatan yang dibocorkan Joko memberikan mereka amunisi penting untuk melumpuhkan lawan. Tak lama kemudian, aksi perlawanan mulai dilontarkan melalui selebaran gelap, panggilan aksi, dan protes jalanan yang tersebar di sejumlah kota.

Namun seperti api yang menyala-nyala, aksi mereka segera mengundang reaksi keras dari para penguasa lalim itu. Dimulai dengan serangan balasan berupa teror dan intimidasi terhadap aktivis yang terlibat dalam gerakan bawah tanah. Kantor-kantor serikat buruh dan media yang dianggap membangkang mulai diserang dengan senjata dan bom molotov.

Pada suatu malam, saat Amir baru saja sampai di markas persembunyian, ia dikejutkan oleh kepulan asap dan debu yang mengepul dari salah satu bangunan di area itu. Jantungnya seakan mencelos ketika menyaksikan kantor media oposisi yang kritis terhadap pemerintah telah dibakar hingga tinggal rangka.

"Amir! Syukurlah kau datang!" Tania berlari menghampiri dengan wajah kalut. "Bom telah dilemparkan ke markas kita! Dua orang terluka parah!"

Darah Amir mendidih mendengar kabar itu. Sudah terlalu banyak nyawa yang menjadi korban akibat kebengisan para penjahat berseragam itu. Dengan dibantu rekan-rekannya, Amir segera mengurus evakuasi tim medis untuk menangani korban yang terluka.

Namun bahaya ternyata belum berakhir. Keesokan harinya, kepala seorang aktivis bernama Hendra ditemukan menggelinding di depan rumahnya dengan lidah terpotong. Ibunya yang malang hanya bisa menjerit histeris menyaksikan pemandangan mengerikan itu.

Teror berdarah tak hanya mengintai Amir dan rekan-rekannya, tetapi juga para pendukung gerakan dari kalangan rakyat jelata. Seorang buruh pabrik bernama Rahmat ditemukan tewas mengapung di sungai dengan luka menganga di sekujur tubuhnya yang membiru.Isu pengkhianatan dan mata-mata pun mulai menghantui barisan mereka.

Dalam pertemuan darurat, Joko mengungkapkan kecemasannya. "Menurut salah satu sumberku, ada mata-mata musuh yang menyusup dalam kelompok kita. Dia yang membocorkan lokasi markas hingga pemimpin mereka bisa melancarkan serangan seperti ini."

Wajah para aktivis di ruangan itu memucat mendengar dugaan itu. Kepercayaan mulai terkikis akibat bayangan pengkhianatan yang mengaung di kepala mereka. Tidak ada yang bisa dipercaya begitu saja, bahkan Joko sekalipun.

Di tengah ketegangan itu, Faris tiba-tiba menyambar pistol dari balik sakunya dan mengarahkannya ke kepala Joko. "Bagaimana kami bisa percaya kalau bukan kau mata-mata itu, Joko? Bukankah kau yang paling dekat dengan Agra Wibowo?"

Joko mengangkat kedua tangannya dengan wajah memelas. Keringat membanjiri pelipisnya yang berkerut. "T-tidak! Aku bahkan yang pertama membocorkan kejahatannya pada kalian! Kenapa aku harus mengkhianati kalian?!"

Suasana dalam ruangan itu mencekam bagai sedang dalam pengadilan maut. Satu tuduhan dari Faris dapat memicu aksi penembakan massal yang merenggut nyawa sesama rekan di antara mereka.

Dalam keputusasaan, Amir berusaha menenangkan situasi sebelum berubah tak terkendali.

"Hentikan! Perseteruan seperti ini hanya akan melemahkan kita di hadapan musuh yang sesungguhnya!" Amir menatap Faris dengan sorot mata memohon. "Jangan terpancing hasutan mereka untuk memecah belah barisan kita, Faris. Kita harus tetap bersatu!"

Selama beberapa saat, hanya degup jantung yang berpacu terdengar di ruangan itu. Dengan ragu, Faris akhirnya menurunkan pistolnya meski tetap menatap Joko dengan pandangan penuh curiga.

Amir menghembuskan napas lega. Untuk saat ini, perpecahan masih bisa dihindarkan. Akan tetapi, ia tahu bahwa ancaman yang lebih dahsyat masih mengintai di balik bayangan, menunggu untuk melumat habis gerakan perlawanan mereka…

Penebus KeadilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang