1.6-Kebangkitan_Rakyat-1.6

18 3 0
                                    

Setelah berhari-hari menyusuri jalanan tak berbatu dan hutan lebat, akhirnya rombongan Amir tiba di sebuah lembah terpencil yang disebutkan Joko. Pemandangan hamparan pepohonan dan aliran sungai memanjakan mata, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan yang membuat sesak paru-paru.

Dari kejauhan, asap mengepul membumbung dari celah dedaunan itu. Joko memberi isyarat agar semua berjalan dengan hati-hati sambil tetap waspada.

"Kita sudah dekat dengan komunitas itu," bisiknya pada Amir. "Kuharap mereka mau menerima kita dengan tangan terbuka."

Amir mengangguk dalam diam, mencengkeram tas punggung berisi perlengkapan seadanya yang dibawa mereka dari kota. Keberadaan mereka di wilayah ini tentu bakal dianggap mencurigakan oleh komunitas yang memutuskan diri dari dunia luar tersebut.

Setelah menyibakkan lebatnya dedaunan terakhir, hamparan lembah itu pun terbentang di hadapan mereka. Di sana berdiri puluhan pondok sederhana dari kayu dan atap beralaskan ilalang. Asap mengepul dari beberapa pondok, menandakan aktivitas kehidupan warga setempat. Beberapa orang dengan pakaian luar lusuh nampak mengerjakan pekerjaan sehari-hari dengan tenang.

Namun, tak seberapa lama, ketenangan itu sirna ketika seorang pria bertubuh jangkung menyambar sebuah tombak dan mengacungkannya ke arah rombongan Amir.

"Siapa kalian?! Apa yang kalian inginkan!?" serunya dengan nada mengancam. 

Beberapa penduduk lain yang semula tenang, mendadak meraih senjata seperti parang dan panah untuk mengepung para pendatang tak diundang itu. Suasana di lembah kecil itu berubah mencekam oleh ketegangan yang memuncak.

Amir mengangkat kedua tangannya, memberi isyarat tidak berniat mengancam. "Tenanglah, kawan. Kami datang dengan damai, bukan sebagai musuh."

Pria jangkung itu sedikit merendahkan tombaknya, namun tetap tidak sepenuhnya menurunkan kewaspadaan. "Lalu apa mau kalian kemari?"

Dengan berani, Amir melangkah sedikit ke depan untuk menjawab. "Kami aktivis yang berjuang melawan ketidakadilan dan penindasan di negeri kami. Dan kami tengah diburu oleh musuh yang kejam dan tak berperikemanusiaan."

Satu per satu, penduduk lain nampak menurunkan senjata mereka, seakan menaruh rasa iba pada kondisi Amir dan rekan-rekannya yang tampak lelah dan tertekan ini.

"Kami datang kemari mencari tempat perlindungan yang aman. Menurut informasi yang kami terima, kalian adalah satu-satunya komunitas yang bisa menampung kami tanpa perlu takut pada pengkhianatan atau pengejaran musuh," Amir meneruskan diplomasinya.

Keheningan menggantung sesaat di udara segar pegunungan itu. Para penduduk saling berpandangan, mencari kepastian dari pemimpin mereka sang pria jangkung tentang keputusan yang harus diambil.

Akhirnya, tombak ditangannya pun diturunkan. "Baiklah, kalian boleh menetap di sini untuk sementara waktu," ujarnya dengan aksen khas pedalaman. "Tapi jangan coba-coba membuat keributan atau masalah di wilayah kami. Atau kalian akan diusir tanpa permisi!"

Amir mengangguk sambil menarik senyum lega. Satu etape dalam perjuangan panjang itu telah dilalui dengan sukses. Kini saatnya untuk mengumpulkan kembali kekuatan demi membalas dendam pada rezim penguasa yang kejam dan melancarkan perlawanan skala besar. 

Selama berbulan-bulan kemudian, Amir dan rekan-rekannya menyesuaikan diri dengan kehidupan sederhana di komunitas terpencil itu. Mereka belajar bertani dan berkebun untuk menyokong diri sendiri, sambil menyebarkan semangat perlawanan di antara penduduk.

Secara mengejutkan, benih-benih perlawanan itu ternyata menemui tanah yang subur. Dari mulut ke mulut, kisah pergolakan dan penderitaan rakyat mulai menyebar bak api yang melahap hutan kering. Amarah pun mulai membara dalam hati penduduk desa yang selama ini mengisolasi diri itu.

Akhirnya, setelah cukup mendapat dukungan, Amir dan kelompoknya bergerak membentuk semacam milisi perlawanan untuk memulai aksi menentang rezim kejam di ibu kota. Persiapan senjata dan peralatan mulai dikumpulkan, lengkap dengan jaringan informan dan dukungan logistik.

Di kemudian hari, kelak orang akan menyebut Amir dan rekan-rekannya sebagai pemicu kebangkitan perlawanan rakyat melawan para penguasa lalim itu. Namun di saat ini, Amir hanya berkonsentrasi pada satu hal: bagaimana mengalahkan kejahatan untuk mengembalikan keadilan dan kebebasan pada bangsanya.

Penebus KeadilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang