8. sakit (revisi)

80 9 0
                                    

Ruangan yang tertutup gorden hijau itu hening, hanya ada isakan tertahan dari pemuda yang kini menunduk mengobati luka yang berada di lengan sahabat nya.

Hati nya pedih, pertanyaan pertanyaan mulai datang di kepala nya, sejak kapan? Sejak kapan pemuda yang menanamkan prinsip untuk mencintai diri sendiri itu mulai melukai diri nya sendiri?.

Sedang kan Jerren terdiam, bergeming meski mengetahui bahwa Seno yang sedang menangis. Bukan keinginan nya, tapi harus bagaimana? Jerren bahkan merasa mulai lelah dengan diri nya sendiri.

Ruang uks itu terasa hening, dengan posisi yang terhalang gorden, Evan dan Shaka menyandar kan tubuh nya pada dinding dengan mata terpejam, di brankar sebelah ada Riki yang juga membaring kan tubuh sambil bersidekap dada, ia tidak tidur, dan ada Jay juga Jeno yang duduk di sofa dengan kepala tertunduk.

Suara gorden yang ditarik menghapus penghalang diantara mereka, terlihat Seno  dengan wajah yang sembab dengan mata memerah. Namun bukan itu yang menjadi penyebab hati mereka berdenyut nyeri, tapi tatapan kosong Jerren yang begitu hampa hingga membuat Evan dan Shaka memalingkan wajah.

"Jerr..." panggilan lirih dengan suara tercekat itu membuat udara semakin terasa sesak.

Manik jelaga nya membalas tatapan Jeno yang terlihat sendu dengan mata yang berkaca-kaca, tanpa bisa di cegah air mata nya luruh melihat Jerren yang hanya diam.

"Semua bakal baik-baik aja."

Semua berharap demikian, berharap ucapan Jeno bukan hanya lah ucapan penenang, lebih dari apapun, Jerren menginginkan hal yang sama lebih dari siapa pun.

Jerren ingin semua baik-baik saja, ia ingin sembuh.

"10 tahun nya sia-sia, Jeno.."

Suara nya lirih, seolah menunjukan bahwa ia tengah mengadu, Jerren menangis tanpa suara, menatap Jeno dengan tatapan hampa yang sarat akan kesakitan.

"Ini sakit," adunya dengan suara yang kian bergetar.

Bukan tangan yang mengeluar kan darah akibat Jerren sayat, bukan di sana letak sakit nya, namun pada dirinya yang tak pernah kian sembuh bahkan setelah 10 tahun menjalani berbagai rangkaian pengobatan.

Riki menghapus air matanya dengan kasar, ia turun dari brankar dan mendekat kearah Jerren. Dengan pelan tangannya terangkat memegang kedua bahu pemuda itu.

"Liat, lo baik baik aja!."

Riki mendengus kasar saat air matanya kembali luruh melihat tatapan Jerren, ini sesak, sungguh.

"Lo baik-baik aja, jadi jangan pernah berfikir buat ngelukain diri lo lagi." Ucapnya penuh penekanan.

Ia berusaha meyakinkan Jerren lewat tatapan mata nya, sekalipun air mata sialan itu terus saja mengalir dan membuat pandangan Riki buram.

"Jangan sakiti diri lo sendiri Jer, itu sama aja dengan nyakitin kita."

Suara lirih sarat akan permohonan itu membuat suara tangis yang sedari tadi Seno tahan pecah, ia menangis memeluk Jay yang juga ikut menangis dalam diam.

Jerren pernah mengatakan, hidup menderita lebih baik dari pada harus melukai teman nya dengan kepergiannya. Namun, rasa nya Jerren berada dalam fase merasa lelah dan muak pada diri nya sendiri.

Mereka semua sudah pernah melihat Jerren dalam posisi terendah hidup nya, berteman selama bertahun-tahun membuat mereka saling mengetahui kelemahan masing-masing. Namun, menyaksikan kembali kejatuhan pemuda hangat itu tak pernah mengubah rasa sakit mereka sekalipun ini bukan yang pertama.

Suara pintu yang terbuka menarik atensi mereka, terlihat Evan yang memilih pergi dari ruangan. Melihat Jerren yang hanya diam dengan tatapan kosong sungguh menyesakkan, dada nya terasa di himpit oleh batu besar, bagaimana tatapan kosong itu terus menerus mengeluarkan air mata seolah menunjukan bahwa ia kesakitan.

Bugh bugh

Suara pukulan keras terdengar di tempat sepi, Evan meluap kan segala perasaan sesak nya lewat hantaman tangan nya pada tembok. Tak peduli tangan nya yang kini berdarah, Evan hanya ingin perasaan sesak di hati nya terganti dengan rasa sakit yang lain, yang sakit nya masih bisa di obati.

"BANGSAT BANGSAT BANGSAT," teriakan frustasi Evan terdengar.

Ia menangis, memukul tembok dengan keras, jika bisa, Evan ingin menanggung rasa sakit yang Jerren rasakan.

"Jangan gini, bang, lo sama aja kayak Jerren kalo gini."

Shaka mencekal tangan Evan, menghenti kan pemuda itu yang terus saja meninju tembok. Mata Shaka memerah, ia berusaha untuk tidak menangis.

"Dia sakit, Ka, d-dia belum sembuh, dan gue gak bisa apa-apa." Evan menangis.

Bagaimana tatapan kosong Jerren sambil menangis menjadi bayang-bayang di otak Evan, terus berputar menghantarkan rasa sakit yang kian menusuk di dada.

"Udah 10 tahun, dan kita belum bisa dapet hasil apapun, Jerren masih aja ketakutan."

Bayangan bahwa selama 10 tahun ini Jerren hidup dalam ketakutan, bagaimana pemuda hangat yang ia anggap sebagai adik itu berperang dengan diri nya sendiri membuat Evan semakin merasa bersalah.

Shaka tak bisa menahan air mata nya, ikut merasa kan sakit yang begitu menusuk di dada, kepala Evan yang jatuh di bahu nya semakin membuat Shaka pedih, Evan tak pernah selemah ini, bahkan memiliki takdir yang cukup buruk tak membuat Evan menangis. Namun, semua orang tahu, Jerren bukan hanya kelemahan Evan, tapi kelemahan mereka berenam.

Tangan Shaka mengepal, air mata yang tak berhenti luruh itu ia biarkan mengalir, mata nya yang memerah menajam, berusaha meyakinkan diri, bahwa semua akan baik-baik saja, seperti yang dikatakan Jeno.

"Dia pasti bakal sembuh, bang. Jerren pasti bakal sembuh."

TEBECEH

Kurang lebih kalian tau ya Jerren kenapa?

See u

Sj, 10 juni 2024

7 Sekawan (Slow Up)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang