Seperti biasa, formasi tersusun dengan di pimpin oleh Evan dan Riki, lalu di barisan ke-dua ada Jerren yang diapit oleh Shaka dan Jay, dan yang terakhir ada Seno dan Jeno, yang perlu di ketahui bahwa mereka berdua adalah kembar tak seiras.
"Kita gak ke kantin?," Seno bertanya. Ia dan saudara kembar nya datang dengan perut kosong.
"Don't worry, gue bawa bekal," sahut jay melirik pada lunch bag yang dipegang nya.
"Anak mamih," Shaka mencibir terang terangan yang di balas pelototan tajam.
Jika tidak ada Jerren ditengah mereka, Jay mungkin sudah menjambak rambut temannya yang sok cool itu, mungkin itu gunanya Jerren berada di antara mereka, karna jika tidak, mungkin dunia akan berubah menjadi kapal pecah.
Bercandaa...
Meski tidak di pungkiri bahwa Jay memang di manjakan oleh orang tua nya, mengingat pemuda itu adalah anak tunggal.
"Minta anter aja," titah Evan.
Mereka mengangguk menurut, melanjutkan langkah menuju satu ruangan khusus yang memang di sediakan untuk mereka. Secret room- nama nya, seperti nama nya ruangan itu di rahasia kan untuk semua orang. Ruangan yang hanya bisa di Accest oleh mereka bertujuh menggunakan sensor wajah.
Langkah mereka bertujuh terhenti saat seorang pemuda berdiri di hadapan Evan dan Riki. Kening Riki mengerut tak suka melihat sosok dihadapannya, parasit mana-pikirnya.
"Siapa lo?." Ketus Riki kentara akan ketidak sukaan nya.
Shaka sontak menendang pelan kaki belakang Riki, bagaimana mungkin bocah yang setiap hari bertambah tinggi itu tidak mengenal ketua osis sekolahnya?.
Riki berdecak tak peduli, matanya menatap tajam pemuda yang diketahui bernama Alden itu, tak sengaja mata nya menatap name tag diseragam sekolah nya.
"Jerren," panggil Alden.
Tubuh Evan menegak, tangan nya yang berada di dalam saku celana ia keluarkan saat mendengar pemuda itu memanggil nama sahabat nya. Riki spontan maju selangkah berhadapan dengan Alden, begitupun dengan Shaka dan Jay yang menatap siaga pada pemuda itu.
Seno dan jeno memantau dari belakang, mata rubah Seno menatap penuh peringatan pada Alden.
Sedangkan Alden hanya bisa menghela nafas, Jerren dengan keenam sahabatnya memang sangat sulit di hadapi. Terlebih jika sudah menyangkut pemuda yang menjadi titik tengah formasi mereka itu.
Diam diam Jerren menggelengkan kepala pelan, sahabatnya memang selalu berlebihan jika menyangkut diri nya, cukup di maklumi mengingat ia yang memang berbeda dengan mereka.
"Nakamura Riki," Jerren berucap pelan, yang di balas decakan tak suka.
Riki menyingkir, memberi akses pada Alden agar dapat melihat Jerren. "Maju selangkah lagi, mati lo!."
Menghiraukan peringatan pemuda tinggi di sebelah nya, Alden menatap Jarren yang juga tengah menatap nya.
"Lo di panggil pak Dana buat ngebahas olimpiade fisika minggu depan," ucapnya cepat.
Diam diam Alden menghela nafas lega, padahal hanya itu yang ingin ia sampaikan, namun harus menghadapi aura permusuhan yang mencekik dari keenam orang tersebut.
Decakan keras terdengar dari pemuda yang masih menenteng Lunch bag itu, wajahnya menunjukan kekesalan.
"Si Dana Dana itu masih kekurangan piala?, perlu gue beliin?." Sarkas Jay.
Shaka menyeringai puas mendengar ucapan sarkas itu, entah yang di katakan nya memang benar, atau sekolah nya ini yang kekurangan murid pintar dan cerdas seperti sahabat nya, Jerren.
Jeno dibelakang bertepuk tangan setuju dan mengangguk heboh," bener, lagian piala depan Aula itu masih belum cukup?, seneng banget manfaatin otak sahabat gue." Ujarnya sebal.
"Wajar, otak si Dana udah kadaluarsa," sahut Seno pedas. Jeno tertawa kecil, sial, ucapan saudara-nya yang sedang kelaparan memang sangat menyeramkan-pikirnya.
Bakat mereka memang tidak perlu di ragukan, mereka memiliki kemampuan dalam bidang masing-masing, hanya saja, dalam akademik memang hanya Jerren dan pemuda berambut merah, Evan, yang paling menonjol.
Tapi, siapa yang berani menyuruh pemuda berambut merah itu, yang bahkan saat menatap matanya tidak semua orang berani, sedangkan Jerren memang menyukai pelajaran tersebut hingga guru selalu menunjuk nya untuk mengikuti perlombaan.
"Alden, tolong kasih tau Pak Dana kalo-"
"Dia gak ikut." Sela Evan cepat memotong ucapan Jerren.
"Kasih tau guru lo, Jerren gak akan ikut lomba apapun," lanjutnya datar dan penuh penekanan. Evanther Lee, tak suka di bantah.
Bukan tanpa alasan, sekalipun Jerren menyukai pelajaran memusingkan itu, tapi mereka bertujuh sudah memasuki kelas 12, yang artinya hanya akan fokus pada ujian tanpa perlu di repotkan oleh lomba-lomba yang membuat otak pusing.
"Tapi-"
"Mau mati lo?!." Alden menelan ludah susah payah saat Riki kembali berdiri di hadapan nya.
Melihat itu, Jerren memberi isyarat untuk Alden segera pergi, mengingat tabiat Riki yang memiliki tempramen yang buruk. Setelah Alden tak terlihat, formasi kembali tersusun seperti semula dan mereka melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti seperti tak terjadi apapun.
Pemandangan seperti itu memang sudah biasa di lihat oleh para murid jika ada yang berani mengusik Jerren, tanpa mengetahui alasan dibalik sikap keenam orang itu yang begitu menjaga Jerren. Karna jika ada mereka ber-enam, maka tidak akan ada satu orang pun yang bisa menyentuh Jerren bahkan hanya seujung kuku.
Menyadari di rinya kembali menarik perhatian banyak orang, Jerren menghela nafas pelan. Bagaimana para sahabat nya menjaga nya memang terkesan berlebihan, karna itu pula banyak orang yang tidak menyukainya karna menganggap Jerren lemah.
Jerren tak dapat menyangkalnya, karna sedari awal ia menyadari bahwa ia memang berbeda.
"Damn!."
Tbc
Nah......
Kalian tau alesan kenapa Jerren berbeda dan begitu dilindungi?
Sedarhana aja, ikutin ceritanya sampe selesai biar tau rahasia seorang Shim Jerren.
Ini cerita baru netes tapi udah banyak sider ya🫠
Jangan lupa vote⭐️
See u
Sj, 31-mei-2024
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Sekawan (Slow Up)
Teen FictionDia menjadi penyembuh luka lama orang lain, namun juga menjadi luka baru untuk orang yang di sembuhkan. 'Untuk pemuda yang bertahan dengan jiwa yang rapuh. Semoga engkau lekas sembuh dengan jiwa yang kembali utuh'. "We are connected to each other."...