Sebuah kafe ditengah kota yang cukup ramai di jam istirahat kerja.
Mila duduk menyilangkan tangannya di depan dada dan menatap seorang wanita di depannya.
"Jadi, berdasarkan info yang gue dapet kayanya lo sama Ivy gak akur ya? Sorry, gue gak bermaksud ikut campur urusan keluarga lo. Tapi gue cuma mau kasih penawaran menarik aja," Ucap Naya percaya diri.
Mila menegakan posisi duduknya.
"Penawaran apa?"
"Gue bisa bantu lo singkirin dia."
"Kenapa lo mau bantu gue? Gak mungkin gak ada feedback nya, kan?"
Naya tersenyum.
"Lo gak perlu khawatir, karena kita ada di satu kapal yang sama. Gue juga benci sama Ivy. Dia udah ngerebut cowo yang gue suka."
"Siapa cowo itu?"
"Arvis"
"Driver formula F1?"
"Iya"
Mila tertawa, tak menyangka jika Ivy bisa terlibat asmara dengan seorang atlet balap.
"Ivy dalam waktu dekat ini akan melakukan perlombaan di Amerika. Gue akan kasih tau lo semuanya. Sisanya, terserah lo mau apain dia."
"Fine. Jadi kita sekarang bisa kerja sama, kan?"
"Tentu."
Mereka berdua berjabat tangan. Sebuah kesepakatan berhasil dilakukan, entah bagaimana Ivy bisa menghadapinya nanti. Yang jelas, Naya tidak memikirkan konsekuensi atas perbuatannya.
Tidak hanya satu orang, ia bahkan mengajak satu orang lainnya untuk menaiki satu bahtera yang sama.
Rasa iri dan kecemburuan berlebihan memang dapat merusak hati dan akal sehat siapapun yang memilikinya.
Sebab itu, ada kata sabar dan lega hati sebagai peredamnya.
"Kamu yakin dia beneran akan bantu kita?"
Mila mengangguk mantap, "Yakin kok ma, dia sendiri bilang begitu dan Mila juga gak akan turun tangan langsung. Biar cewe itu yang jalan sendiri mengurus semuanya. Kita cuma terima bersih," ucapnya dengan senyuman licik.
Tak pernah menyangka ia justru mendapatkan bantuan tanpa harus mengotori tangannya sendiri.
"Kamu mau mulai dari mana, mil? Ada yang mama bisa bantu?"
"Ada ma, ada banget. Mama cuma perlu bantu backup aku kalau papa marah. Oke?"
"Emang kamu mau ngapain?"
Ide itu muncul dalam pikirannya, Mila menunjukan evil smirk nya.
***
Tersisa beberapa hari lagi sebelum Ivy berangkat menuju Amerika. Semua perlengkapan sudah selesai ia packing.
Latihan juga sudah mulai dikurangi durasi waktunya untuk membuat Ivy tetap menjaga staminanya dan tak kelelahan.
"Ivy, I believe you can do it. Maybe it's gonna be your last competition...tetapi, jiwa ballerina itu akan selalu ada di dalam hati kamu selama kamu percaya."
Ivy memeluk miss Adel, ia meneteskan air matanya. Rasanya sangat berat meninggalkan ballet yang sudah menjadi dunianya sejak kecil.
Ia tumbuh bersama miss Adel sebagai mentornya. Mengganggap wanita paruh baya itu sebagai ibu keduanya.
"Miss, I'm forever gratefull to have you as my teacher. Thank you so much for everything...for all this time..thank you."
Miss Adel membalas pelukan Ivy, ia menepuk-nepuk punggung Ivy lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Race In love
Fiksi PenggemarMenjadi professional F1 membuat Arvis dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dan kehidupan yang gemerlap. Lalu, bagaimana ketika ia bertemu dengan Ivy? Gadis yang memiliki sisi berbanding jauh terbalik dari kehidupannya. Seorang Ballerina yang meny...