20. Jujur

79 13 0
                                    


⭐Vote juseyo ⭐

❤️🏘️Happy reading 🏘️❤️

.

.

.

"Mau ke mana lagi?"

"Bukan urusan lo"

"Nakula"

Yumi menghela nafas berat, setiap sore saudaranya itu akan berkendara hingga larut malam seperti saat ini. Jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari dan Nakula baru pulang ke apartemennya disambut Yumi yang rupanya bisa masuk karena kartu akses apartemen Nakula tertinggal saat ia mampir ke rumah Sabiru.

"Tidur, La. Istirahat, mau sampai kapan berkelana gitu?"

"Yumi mending lo pulang sekarang, gue lagi emosi"

"Lo kira lo doang yang emosi? Lo kira gue baik-baik aja? Bukan cuma–"

"CUKUP YUMI! LO KELUAR SEKARANG!"

Tubuh Yumi terhempas ke dinding saat Nakula dengan keras mendorongnya. Yumi ketakutan, ia menatap Nakula sambil terus menggenggam ujung bajunya erat.

"Pergi sebelum gue kehabisan kesabaran. Gue nggak mau lo terluka"

"Lo egois"

"Ya, jadi tinggalin gue sendiri"

"Gue nggak kenal lo siapa.. lo bukan Nakula"

"Memang, gue sendiri nggak kenal siapa gue sekarang"

"Gue peduli sama lo, tapi lihat apa balesan yang gue dapet"

"Gue nggak minta lo peduli, gue nggak minta semuanya dari lo. Lo aja yang selama ini ngasih semuanya buat gue, kan? Cewek bodoh, modal kata-kata manis dan perhatian aja bikin lo hampir nyerahin keperawanan lo buat gue"

Satu tamparan keras mendarat di pipi Nakula dengan tepat, suara nyaring menggema memenuhi ruangan. Yumi benar-benar sakit hati, hatinya hancur mendengar ucapan yang dengan mudahnya keluar dari bibir manis yang kini entah hilang ke mana.

"Jaga ucapan lo, Nakula. Di sini gue sebagai adik lo, bukan sekadar mantan pacar. Ucapan lo barusan bener-bener menggambarkan betapa bajingannya diri lo"

"Apa ada yang salah dari ucapan gue barusan? Kenapa lo semarah itu? Bukannya itu malah membenarkan kalimat gue tentang betapa bodohnya diri lo?"

Kali ini tamparan yang akan Yumi berikan terhenti, lengannya lebih dulu dicekal dengat kuat.

"Lo beneran minta dikasih pelajaran, ya?"

"Lepasin! Jangan macem-macem Nakula!"

"Nggak akan gue begini kalau lo saudara kandung gue. Tapi Tuhan masih baik, kan? Karena ternyata kita cuma saudara tiri"

"Tutup mulut lo!"

"Yumi, Mama lo dan bapak-bapak brengsek yang katanya Papa gue itu bahkan menikah tanpa persetujuan kita. Papa bahkan palsuin kematiannya buat lepasin tangung jawab ngurus gue. Dan sekarang tiba-tiba dia datang bareng Mama lo sebagai suami istri? Papa pasti udah campakin Mama kandung gue buat nikahin Mama lo– si pelacur yang sok baik itu"

"KURANG AJAR!"

Tamparan yang lebih keras dari sebelumnya kembali mendarat di pipi kiri Nakula. Kali ini lelaki itu menatap Yumi remeh.

"Setelah ini jangan sesekali nampakin muka di depan gue. Gue muak lihat tampang lo"

Sesudahnya Yumi pergi meninggalkan Nakula karena Sabiru yang sebelumnya ia hubungi sudah sampai dan menunggu di depan gedung apartemen. Nakula menggertakkan giginya melihat bagaimana Yumi dan Sabiru sekarang dapat hidup berdampingan. Nakula kesal, ia marah, semua yang ia miliki telah direnggut paksa. Kenapa nasibnya harus sesial ini?

.

.

.

"Jangan nangis"

Sudah terhitung sepuluh menit Kiana menangis, mata gadis itu sampai sembab karena air matanya tak kunjung reda. Berkali-kali Bian mengusap tangan Kiana, berharap gadis itu berhenti menangis walaupun Bian suka wajah Kiana yang memerah, lucu sekali.

"Nanti kepalanya pusing kalau nangis terus. Lagian gue nggak mau mati kok, cuma operasi sebentar terus balik lagi"

"Bisa diem nggak! Jangan sebut 'm' word, gue nggak suka!"

"Iya.. udahan ya nangisnya?"

Kiana menghapus air matanya kasar, tangannya bergerak cepat mengambil kacamata hitam lalu segera memasangnya. Bian dibuat tertawa karenanya.

"Ngapain pakai kacamata segala sih?"

"Mata gue jelek kalau habis nangis"

"Enggak Ki, lo cantik. Cantik banget sampai gue nggak bisa berhenti senyum lihat mata lo. Lucu, cantik, gue suka. Gue suka sama lo, Ki"

Mulut Kiana terbuka lebar, buru-buru ia menutupnya dengan telapak tangan. Di balik kacamata hitam itu pupil matanya tidak kalah melebar, ekspresinya seperti baru saja memenangkan lotre. Meski begitu, ia merasa bersalah pada Bian karena tidak bisa membalas perasaan lelaki itu.

"Gue tahu kok, lo sukanya sama Bang Dimas"

Padahal Kiana baru saja membuka mulutnya, setidaknya ia mau membalas pernyataan itu sebaik mungkin tanpa menyakiti hati Bian.

"Tapi nggak ada salahnya kan, nyatain perasaan? Gue nggak maksa atau nyuruh lo buat balas perasaan gue, habis jujur begini rasanya lega banget ternyata. Kayak ada angin yang keluar dari rongga dada wuushh"

Kiana ingin mengucap kata 'maaf' namun lidahnya tertahan, ia tahu kata itu tidak memberi efek lebih baik untuk situasi seperti saat ini.

"Makasih, Bian"

Bian mengangguk pelan, senyuman di wajahnya tidak berbeda seperti sebelumnya.

"Tapi, kalau suatu saat lo lagi nggak naksir siapa-siapa, bilang ke gue, ya? Nanti gue berusaha bikin lo jatuh cinta sama gue. Dipikir-pikir omongan gue udah kayak orang yang umurnya panjang aja"

"Bian! Kan emang umur lo panjang, gimana sih? Gue nggak suka banget ya sama omongan lo yang ngawur itu"

"Umur nggak ada yang tahu, Ki"

"Makanya itu, jangan pesimis mulu!"

"Terus kenapa tadi lo nangis sepuluh menit itu? Lo nangisin apa hm?"

Kali ini Kiana terdiam, tidak ada kata selain 'takut' yang melintas di pikirannya.

"Yang namanya takut itu ya pasti ada, Ki. Gue juga takut, maka dari itu gue berusaha menerima sambil terus sugesti diri kalau semuanya bakal baik-baik aja"

"Bian, ayo pacaran"

.

.

.


>>> Tolong koreksinya kalau ada typo or kalimat yang kurang pas barangkali berguna buat revisi kalau udah end nanti ^^

Thanks for reading 💓

-²⁰·⁰⁶·²⁰²⁴-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Young, dumb, & brokeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang