4. Mansion Sanggara pt.2

1.7K 218 3
                                    

Maaf sebelumnya, apabila ada salah ketik, salah tanda baca, atau penempatan huruf kapital, mohon ditandai. Saya mencoba untuk jadi lebih baik di sini, jadi bila kalian memberi masukan, kritik, atau saran, saya sangat menghargai itu.

Terimakasih sebelumnya, selamat membaca!

-#-

Arland berjalan dengan tenang, berbeda dengan hatinya yang saat ini dilanda panik. 'Apa-apaan tadi anjir!'

"Tuan muda," Panggil Bu Rana

"Ya?" Arland menoleh

"Bukannya kita mau ke kamar anda? Lalu kemana lagi tuan pergi?" Tanya Bu Rana bingung. Padahal mereka telah berada tepat di depan pintu kamar Arland.

"Ah, maaf. Saya melamun," Arland terkikik canggung.

Dia membuka pintu. Tampaklah ruangan minimalis bernuansa kelabu. Single bed bersprai abu-abu dipepetkan ke jendela yang lebih mirip dinding kaca. Nakas dan lemari pakaian di sampingnya, meja belajar di depannya, dan tv play station di sebrang ruangan. Tak terlupa sebuah pintu kaca yang berhias tirai, itu pasti balkon kamar. Ruangan itu tak terlalu luas, namun sangat bersih dan nyaman.

"Pakaian kotor?" Tanya Bu Rana

Dia bingung karena mendapati keranjang pakaian itu kosong. Arland segera melepas jaketnya dan menyerahkannya pada Bu Rana.

"Ini, terimakasih. Anda bisa pergi."

"Ah, kalo gitu saya permisi," Pamit Bu Rana sebelum akhirnya pergi.

Arland menutup pintu dan menghela napas lega. Saatnya, tour keliling kamar baru.

Dia mulai menelusuri kamarnya, mengamati setiap sudut dan detail-detail terkecil. Walau sebenarnya ini tidak perlu, tapi ini mungkin akan membantunya dalam memahami dan mendalami karakter Arland ke depannya nanti.

Ini adalah kebiasaan dari Aykara Alfarizi. Baginya, ketelitian itu penting karena detail sekecil apapun akan sangat berguna dalam pemecahan sebuah kasus. Itulah mengapa dia begitu dikhawatirkan oleh para buronan atau penjahat dunia bawah dan begitu disegani.

Dinding kamar Arland sangat polos. Tidak ada pajangan apapun, seperti poster hobi atau idola, foto berpigura, bahkan jam dinding. Kosong dan hampa. Hanya ada satu CCTV di sudut ruangan.

Dia memeriksa dalam lemari. Arland tak memiliki banyak pakaian. Kebanyakan adalah berwarna gelap dan putih polos, tidak ada yang menarik di sini. Sangat membosankan.

Arland memutuskan mengambil baju ganti seadanya. Dia menutup lemari dan seketika menatap cermin di pintunya, mengamati setiap perubahan pada dirinya.

Dia akui, pemuda ini cukup tampan. Wajahnya bersih, rambut hitam berantakan, sebagian dahinya tertutup perban, alis yang melengkung rapi, mata hitam legam, hidung mancung dengan ujung kemerahan, gingsul yang keluar dan lesung pipi yang terbentuk setiap kali bibir tipisnya itu bergerak. Dia benar-benar manis!

Namun sayang, keberadaan tokoh manis ini hanyalah sebagai pemanis.

Arland menghela napas berat, mengingat perannya di dunia novel ini. Dia menuju ranjang single bed nya, dan mencium aroma sesuatu yang tidak asing.

Dia menajamkan indra penciumannya, asalnya dari bawah ranjang. Dia melongok ke kolong ranjang yang gelap lalu menarik sebuah storage box. Dan ternyata, kotak itu penuh dengan botol-botol minuman keras berbagai merek.
Dia menutup hidungnya, baunya sangat menyengat.

'Arland.. Lo apain tubuh Lo sendiri?'

Arland memasukkan lagi storage box itu ke kolong ranjang. Dia akan menyingkirkannya nanti.

Arland melirik keluar. Dinding kaca itu sangat jernih, menampilkan pemandangan kota malam yang penuh hiruk-pikuk. Sepertinya, dia akan betah memandanginya semalaman.

Beralih ke nakas, lalu membuka lacinya satu-persatu. Ada beberapa senjata di sana, seperti pisau lipat, revolver, dan peledak kecil. Tidak heran, karena novel ini memang mengangkat tema mafia dan pembunuhan.

Terakhir, dia memeriksa meja belajarnya. Di sana hanya ada sedikit buku pelajaran dan sebuah laptop yang berdebu, jelas sekali sangat jarang digunakan.

Dia duduk di kursinya, menarik laci dan menemukan smarthphone milik Arland yang asli. Lalu menyalakannya, dan rupanya ia telah menerima banyak sekali chat masuk. Chat terbaru adalah dari dokter Aslan yang memberinya lokasi tempat tinggalnya.

Sepertinya itu sengaja diletakkan di sana dan tidak ada yang membukanya. Buktinya, baterai Smartphone itu telah menyala merah, entah sejak kapan benda itu berada di sana.

Selain Smartphone, di laci tersebut juga terdapat banyak obat-obatan. Arland memiliki stok anodyne sendiri, obat tidur, bahkan obat terlarang.

'Parah si Arland, mana masih pelajar lagi. Kalo ketemu gue awas aja'

Arland bangkit dari kursinya dan sekali lagi memandang sekeliling.

'Bagus deh. Selain CCTV,  gak ada kamera pengintai dan penyadap. Semuanya bersih.'

Arland menghela nafas. Dia yakin telah memeriksa semuanya dengan teliti, dan tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Kemudian beranjak menuju kamar mandinya dan mulai membersihkan diri.


Sementara itu, di lantai bawah, semua anggota keluarga Sanggara tengah berkumpul di ruang makan tanpa Arland tentunya. Mereka berbincang penuh kehangatan, membahas hal-hal menyenangkan di setiap kegiatan yang mereka lakukan pada hari itu, diselingi candaan kecil dan tawa yang ringan.

"Kalo Arvand? Gimana sekolahnya?" Tanya Vania lembut sambil meletakkan beberapa potong daging di piring putra bungsunya.

"Menyenangkan," Jawab Arvand singkat dengan wajah datar, sangat tidak sesuai dengan apa yang dia katakan.

Vania hanya bisa menggelengkan kepala pelan sambil tersenyum pasrah. Bungsunya ini sangat tertutup bahkan pada keluarganya sendiri. Sejak tadi, dia hanya fokus pada makanannya saja. Tidak mempedulikan cerita dari yang lain.

Arvand melirik kursi kosong di samping Zein. Itu milik Arland. Bukankah dia sudah pulang? Kenapa belum turun juga?

Menoleh ke arah dapur, Di sana, Bu Rana menyiapkan makanan di atas nampan. Itu pasti untuk Arland. Haruskah dia bertanya?

Dia terus memperhatikannya hingga Bu Rana beranjak pergi. Arvand mengurungkan niatnya dan kembali fokus pada piringnya.

-#-

Terimakasih sudah membaca!

AYKARLANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang