Pagi ini Diffen sudah berada di meja makan bersama keluarganya, kondisi tubuhnya sudah sangat membaik jadi dia bisa kembali ke sekolah. Terlihat mereka yang sedang menikmati makanan masing-masing, Diffen yang baru saja selesai segera meraih gelas minum nya, meneguk minuman itu perlahan.
"Mah, Pah. Ada yang mau Diffen sampein," ucapnya. Kedua orang tua nya yang baru selesai makan itu pun mulai mengarahkan pandangan mereka ke anak nya ini.
Kedua tangan Diffen mulai ia turunkan, dia letakan di atas pangkuannya seperti biasa, dia kembali meremas tangan nya untuk menghilangkan rasa takut dan khawatirnya.
Diffen menunduk, mengatur nafasnya untuk memberanikan diri nya sendiri, "Diffen ... mau ikut lomba desain." Dia perlahan mengangkat pandangan nya kembali.
Mendengar hal itu tentu membuat Luvina senang, untuk pertama kalinya Diffen bisa mengutarakan keinginan nya ini, namun berbeda dengan Dhabit, dia menatap datar tanpa ekspresi mendengar ucapan Diffen tadi.
Kedua tangan Dhabit mulai menyatu, menjadikan nya sebagai tumpuan dagunya, "Desain? memang nya kamu bisa desain?"
Pandangan Diffen kini beralih melihat sepenuhnya ke arah papah nya itu, dengan sesekali menunduk dia mencoba untuk memberanikan diri menatap papah nya. "Diffen bakal berusaha, Pah."
Dhabit tersenyum tipis mendengar itu, "Berusaha? berusaha saja tidak cukup Diffen, untuk apa kamu ikut desain? apa kamu yakin kamu bisa dalam bidang tersebut?"
Ucapan papahnya kali ini cukup membuat Diffen merasa sedih, semangatnya yang tadi membara seakan padam, layaknya api yang disiram oleh air. Dia menunduk menatap tangan nya di bawah dengan terus meremas tangan nya itu.
Melihat anaknya sedih tentu membuat Luvina tidak tinggal diam. "Tapi Pah, apa salahnya Diffen mencoba? kalopun dia berhasil kan bisa jadi kebanggan baru untuk dia," sosor Luvina yang mulai mengarahkan perhatian nya ke suaminya itu.
Dhabit menurunkan kedua tangan nya, "Terserah kamu, yang jelas utamakan fokus mu pada lomba yang Papah mau." Dhabit mulai berdiri meraih tas kerjanya, mendengar itu membuat Diffen mendongak dengan mata berbinar menatap Papahnya.
Luvina juga ikut tersenyum senang mendengar hal itu, dia mulai berdiri dengan senyum lebarnya, "Makasih Pah, udah izinin anak kita." Dhabit mengangguk, dia mencium singkat kepala istrinya itu, "Papah berangkat dulu," pamitnya.
Diffen memandangi punggung Papahnya yang semakin menjauh dengan senyum lebar yang mulai dia perlihatkan. Melihat anaknya tersenyum seperti itu, Luvina segera mendekat dan memeluk putra kesayangan nya.
"Semangat ya, perjuangin apapun yang kamu suka. Mamah bakal selalu dukung kamu." Diffen mengangguk di sela-sela pelukan nya, "Makasih, Mah."
Saat sampai di sekolah, selama berjalan di lorong, Diffen sesekali melirik sekitar di sela-sela menunduknya dia seakan mencari seseorang. Langkahnya terhenti saat berada di depan pintu berwarna coklat.
"Fen," panggil seseorang yang tiba-tiba menepuk pundaknya. Diffen sedikit terkejut namun dia segera menoleh ke belakang, melihat siapa yang ada di belakang nya.
Ternyata itu adalah Carlo dan Jizzan, dua anak ini memang selalu berangkat dan pulang bersama, mengingat rumah mereka yang satu arah, jadi Jizzan selalu nebeng dengan Carlo.
"Ngapain?" tanya Jizzan, dia yang menepuk pundak Diffen tadi.
Diffen menunjuk ke arah pintu coklat itu, "Mau ketemu sama Bu Ninis," ungkapnya.
"Bu Ninis belum dateng kalo jam segini, ini masih jam setengah 7, beliau datang jam 7 lebih," terang Carlo membuat Diffen mengangguk paham.
"Yaudah ke kelas yuk!" ajak Jizzan. Anak itu mulai berdiri di tengah, diantara Carlo dan Diffen, dia merangkul kedua nya lalu berjalan bersama menuju kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different (on going)
Novela JuvenilPernah dengar apa itu sindrom klinefelter? Sindrom yang memuat penjelasan ketika seorang pria memiliki kelebihan kromosom X. Itu yang di alami oleh Diffen. Dia terlahir dengan sindrom tersebut, membuatnya tidak percaya diri untuk memiliki tubuh lay...