23. Disaster

25.4K 2.8K 228
                                    

Ramdan tidak tahu setan apa yang merasukinya, tetapi, ia menghela napas keras-keras ketika mobilnya malah terparkir di sebuah perkantoran di bilangan Sudirman di jam makan siang ini. Lelaki itu menarik napas panjang sambil memejamkan mata. Ia memain-mainkan jari jemarinya di setir kemudi sebelum melangkah turun dengan wajah ragu.

Ia masih menarik dan melepas napasnya dengan berat ketika masuk ke dalam gedung perkantoran itu. Kakinya kemudian membawa dirinya sendiri menuju lift menuju ke lantai sembilan, ke sebuah co-working space di sana.

Satu minggu.

Sudah satu minggu sejak Erin menampar pipinya. Dan Ramdan masih bisa mengingat dengan jelas semuanya seperti kaset rusak. Matanya yang berair, dadanya yang kembang kempis, wajahnya yang merah karena marah, suaranya yang serak menahan tangis.

Ah, ini, gila!

Ramdan menggigit bibir ketika masuk ke dalam lift. "Rin, I'm so..." Ia diam. Kelu. Sudah berulang kali melatih kata maaf, nyatanya, ia masih tak bisa. "Damn!" umpatnya sebelum menggigit lidahnya sendiri.

Kata 'maaf' bukan hal yang mudah Ramdan ucapkan. Dan kini, semuanya terasa menggantung begitu saja.

Ah! Persetan!

Yang penting sekarang, Ramdan harus bertemu Erin dulu. Lalu, ia akan melakukannya nanti dan berharap tak ada kebodohan yang ia buat.

Bunyi lift yang terbuka membuat Ramdan terkesiap. Ia keluar dari kubikel itu, berjalan ke arah kantor WearAve sambil merapel mantra entah apa. Baru memasuki lobi kecil dari co-working space tersebut, dahi Ramdan mengerut ketika melihat ruangan itu agak aneh. Satu bagian ruangan yang seharusnya diisi WearAve malah kosong dan berantakan. Seolah-olah ada yang pindah atau menghilang.

"Ramdan?" Sebuah sapaan membuat Ramdan menengok.

Matanya menemukan Tabitha dalam setelan pantsuit warna toska lembut. Ia memaksa senyum karena yang menyapa bukanlah perempuan yang ia cari.

"Ngapain di sini?" tanya Tabitha sedikit kaget.

Ramdan mengulum senyum. Ia meringis kecil.

"Ada barang cewek lo yang ketinggalan?" tanyanya lagi.

Ramdan sontak menganga. Ia menatap Tabitha dengan raut terkejut.

"Nggak usah pura-pura bego gitu, deh!" Tangan Tabitha terkibas. "Atri udah bilang sama gue. Katanya, ceweknya Ramdan kerja di WearAve. Dan kemarin pas layoff dia minta Erin dilepas supaya bisa masuk LuxeModa. Gimana? Enak dong sekarang sekantor bareng pacar?"

"Apa?" Ramdan masih tidak mengerti.

Tabitha memiringkan kepala. "Loh? Pacar lo itu nggak bilang atau kalian udah putus apa gimana sih, Ram?" Ia malah balik bertanya. Perempuan itu menghela napas. Melihat ke arah ruangan yang kosong dengan sedih. "WearAve nggak dapat suntikan dana lagi. Jadi, dengan berat hati, we need to let some people go. Per tanggal satu kemarin, semuanya bubar. Tinggal sebagian aja di sini."

Kalimat itu bagaikan guntur di siang bolong untuk Ramdan.

"Sebelum pengumuman layoff dua minggu lalu, kami mengirimkan beberapa referensi ke perusahaan lain, in case ada yang mau ngambil, termasuk ke Adhyaksa. Dan Gayatri minta Erin. Bahkan, dia mau bayar pesangonnya Erin."

Ramdan masih tidak mempercayai pendengarannya.

"Kata Atri, kalau nggak begitu, Erin nggak akan pindah ke LuxeModa. Gue nggak paham, sih. Tapi, kalau gue jadi Erin dan disuruh milih kerja di WearAve atau Adhyaksa, ya pilih Adhyaksa lah! Apalagi ada pacarnya? Apalagi kalau calon kakak iparnya yang ngebajak langsung begitu." Tabitha menggelengkan kepala heran.

Kini, Ramdan tak bisa berpikir lagi. Gayatri membuat Erin dipecat? Dan kemarin, Erin datang untuk wawancara karena LuxeModa jadi satu-satunya opsi di tengah dirinya yang sudah tidak punya pekerjaan?

Oh, Tuhan!

"Tapi, gue penasaran deh, kalau memang Atri segitu ngototnya sama Erin, anak ini... she should be... someone, right? Anaknya siapa? Kok nggak kelacak radar kita, sih?" Tabitha mulai mencecar.

Ramdan menggeleng. Ia mengambil napas dan menghela keras-keras. "No one. She is no one. Baterai—I mean, Mbak Atri—aja yang terlalu kepo." Ia berkata cepat. "Anyway, gue cabut dulu kalau begitu, Ta."

Tabitha mengerenyit. Belum ia membuka mulut, Ramdan sudah berbalik badan.

Kaki Ramdan berjalan cepat ke arah lift dan setelahnya menuju mobil. Tepat ketika masuk mobil, ia langsung meluncurkan mobil itu ke apartemen Erin.

Tangannya meremas setir seraya kakinya menginjak pedal gas dan mengendarai mobil dengan uring-uringan. Bagaimana keadaan perempuan itu? Kenapa rasanya Ramdan begitu khawatir?

Lelaki itu kemudian masuk ke dalam kompleks apartemen tempat Erin tinggal. Ia memarkir di parkiran dekat lobi pintu masuk seraya menarik napas panjang dan menghela keras-keras.

Tangannya merogoh ponsel. Ia siap menekan nomor Erin dan melakukan panggilan. Lagi, ia mencoba melatih dirinya sendiri. "Rin, sorry soal kemarin. Gue..." Ia diam. "Argh!" Ramdan menutup wajah. This is hard. Ini benar-benar sulit.

Ramdan mengambil napas. Oke, Ramdan, calm! Ramdan memantrai dirinya sendiri. Just call her, say hi, ask her to go out somewhere and just treat her something.

Wait! This is not right! Pertama, Erin belum tentu mau turun. Kalau dia benar seperti apa yang kakak-kakaknya katakan, Erin tidak akan mau bicara dan melepehnya begitu saja. Kedua, Ramdan melakukan kesalahan yang fatal. Sangat amat fatal! Lalu, apa yang ia ingin coba lakukan? Mentraktir Erin? Lagi, kalau dia sama seperti yang Gayatri dan Kartika bilang, Erin tidak akan menerima permintaan maaf Ramdan dengan cara seperti itu.

Jadi, harus apa?

Benar-benar bilang maaf?

Damn!

Sekarang, Ramdan benar-benar menyesali semua yang keluar dari mulutnya tanpa saringan itu. Sekarang, ia jadi rindu Erin dalam dekapannya seperti beberapa minggu lalu. Sekarang, ia lebih dari ingin untuk mendengar suara tawa Erin dan pembicaraan mereka yang ke mana-mana.

Mungkin, sebenarnya, Ramdan sudah jatuh hati.

Ia jatuh tanpa disadari. Walau tak ingin mengakui karena ego yang menelannya bulat-bulat. Jatuh cinta yang tak ia rencanakan, bahkan tak terduga. Kenapa sebuah perasaan bisa datang dengan begitu tiba-tiba seperti ini?

Ramdan menghela napas. Ia tidak tahu.

Que sera sera. Whatever will be, will be. Ramdan menguatkan hati. Ia menekan tombol hijau yang menyambungkannya dengan Erin. Namun, tiba-tiba baru dua nada sambung, ia melihat Erin turun dari sebuah mobil hitam.

Perempuan itu melambaikan tangan pada sebuah mobil Range Rover hitam. Dari belakang, Ramdan bisa melihat sosok laki-laki yang mengemudi. Ramdan terlalu lama berpikir hingga tak sadar, bahwa ada mobil tersebut di drop-off bay.

Erin tiba-tiba merogoh tas, sepertinya untuk mengambil ponsel. Langsung saja Ramdan mematikan panggilannya. Dan ia bisa melihat Erin yang mengerutkan dahi. Sedikit kebingungan, sedikit berpikir.

Ramdan memerhatikan Erin lagi. Ia memberikan jempol sebelum melambaikan tangan sekali lagi dan mobil itu pergi. Tepat ketika mobil itu melaju, Erin ikut membalik badan dan masuk ke dalam apartemennya, hilang di balik pintu kaca.

Ramdan memejamkan mata. Ada panas di dadanya dan gemuruh di hatinya. Ini benar-benar kacau.

***

Si Ramdan "meriang" nggak tuh?

Fake chat/sosmed iseng-iseng tidak berhadiah setelah dari part ini soal kondisi Ramdan setelahnya dan apa yang Erin lakukan ada di X dan IG. Sila meluncur.

Disclaimer: fake chat ini seru-seruan aja kok. Cuma, seru banget, sih. Yakin nggak mau diintip?

Match UnmatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang