Erin menghela napas. Sejak kecil, Erin selalu punya bayangan pernikahan impiannya. Ia ingin dilamar dengan romantis lalu menikah dengan orang yang dicintai. Ia ingin sekali mengenakan gaun yang besar dan cantik, lalu, berdansa bersama suaminya. Lalu, menikmati hidup berkeluarga sampai maut memisahkan bersama keluarganya.
Tetapi, kali ini, semua itu terasa aneh ketika Ramdan dengan entengnya meminta untuk menikah. Matanya masih mengerjap, bingung ketika melihat Ramdan berkata demikian.
"Satu-satunya cara agar kamu bisa mengklaim warisanmu adalah dengan menikah, kan?" tanya Ramdan lagi. "Itu yang aku tangkap, correct me if I'm wrong."
Erin diam. Yang Ramdan tangkap adalah benar. Ia harus menikah dengan lelaki yang sesuai kriteria ayahnya dalam waktu secepat-cepatnya sebelum Rosa menghabiskan semuanya.
"Jadi, gimana kalau kamu menikah sama aku aja?" tawar Ramdan. "Kita bisa bercerai setelah semuanya selesai. Let's say, setahun? Perpindahan itu butuh waktu. Setelah semua settle, apapun yang kamu butuhkan, kita bisa bercerai."
Erin masih tak mempercayai pendengarannya. Ramdan menyatakan pernikahan dan perceraian dengan begitu enteng. Seolah-olah, keduanya hanya status belaka.
"Mas? Kamu gila?"
Ramdan menggeleng. "Kalau ini bisa membuat kamu maafin aku..."
"Mas, aku nggak perlu sampai seekstensif ini." Erin menggelengkan kepala. "Sudah, nggak apa-apa."
"Erin, dengar..." Ramdan menarik napas. Ia memegang dua belah pundak Erin. "Kamu nggak punya pilihan lain. You need to use me."
"And I don't want to use you. I don't want to!" tolak Erin.
"Why?"
"Karena kamu bukan alat, Mas Ramdan." Suara Erin terdengar frustasi. Tiba-tiba, saat ia menarik napas, matanya kembali berkaca-kaca. Ia berdeham dan suaranya mulai serak. "Kamu manusia, kamu bukan alat dan aku nggak mau memanfaatkan ka...mu..." Erin tiba-tiba menangis lagi. Ia tidak tahu alasannya. Ia tiba-tiba menangis lagi.
Tangannya menutup wajahnya. Ia mencoba menghapus air matanya tetapi tidak bisa. Bayangan akan Ramdan yang mengatainya pelacur kembali ke permukaan. Bukan, Erin bukan menangis karena sakit akibat dikatai pelacur. Ia menangis untuk Ramdan. Untuk Ramdan yang terlihat begitu tersakiti, untuk Ramdan yang tampak begitu ketakutan. Untuk luka menganga yang terasa begitu menyakitkan tersirat di matanya.
Bodoh, bukan?
Erin harusnya marah. Ia harusnya histeris, menendang dan memukul Ramdan. Tetpai, ia malah menangisi orang lain, di saat orang lain itu menyakiti dirinya.
"Rin..."
"Mas... Aku nggak... mau..." Erin berkata sesusugukan. "Aku nggak mau."
Ramdan kembali berjongkok. Ia memegang tangan Erin. "Rin, denger aku..."
"Nggak mau..."
"Erin!"
"Nggak mau, Mas!" Erin masih menolak. Ia menggelengkan kepala keras-keras. "Jangan aneh-aneh!"
"Kamu yang aneh. Kamu yang bilang kamu butuh menikah. Jangan mempersulit hidup begini."
Erin menggeleng. "Mas, udahlah... ini bagianku."
Ramdan mendesah keras. Ia menggeleng. "Rin, jangan hukum aku begini."
"Aku nggak menghukum kamu." Erin berkata serak. "Nggak ada siapa menghukum siapa."
"It's torturous to see you like this," balas Ramdan. "Please, let me help you."
"Mas, pernikahan itu seharusnya atas dasar mencintai, kan? Memangnya, Mas Ramdan mencintai aku?" tantang Erin. "Bahkan, Mas Ramdan minta opsi perceraian. Seharusnya kamu tahu, pernikahan itu nggak semudah ini. Pernikahan itu sakral. Kalau Mas Ramdan bisa menikah sekali seumur hidup, jangan disia-siakan, Mas."
"Terus kamu, bagaimana?"
Erin mendongak. "Aku?"
"Kamu menikah dengan seterburu-buru ini. Mencari laki-laki dengan kriteria tertentu supaya bisa mendapatkan warisanmu. Lalu apa? Kamu mau bercerai? Atau selamanya hidup dalam neraka nanti?" Nada Ramdan begitu lembut. Ia seperti kembali pada Ramdan yang dulu. Ramadhana Galandra yang dulu. "Aku nggak bisa membiarkan kamu dalam kondisi seperti itu, Kitten."
Menikah dengan Ramdan memang jadi opsi paling baik. Kafi juga menyarankannya. Tetapi, ia tidak mau melakukannya.
Karena ia tidak mau menikah dengan Ramdan karena uang. Erin ingin menikahinya karena cinta. Ia tidak mau suatu hari mereka ... bercerai. Lebih baik, ia tidak menikah sekalian daripada bercerai dengan Ramdan di akhir kisahnya nanti. Ia tidak ingin bahagia lalu sakit. Ia tidak ingin seperti itu lagi.
Erin menahan napas. "Mas, enough." Erin mencoba mengenyahkan isi kepalanya.
"Rin... please." Ramdan berdiri. Hidungnya menghela napas. Tangannya memegang dua belah pundak Erin. "Kamu tahu berapa sahammu yang aku beli?"
Erin diam. Ia menggeleng. Sejujurnya, ia tidak tahu.
"Setengah dari kepunyaanmu."
Erin terbeku. Ia mengerjapkan mata tak percaya.
"Pertama, artinya, sahamku cukup besar dan berarti kerugian Bimarya adalah kerugian untukku." Ramdan berkata tegas. "Dan kedua... Itu artinya, suaramu sendiri nggak ada harganya karena kalah dari Rosa. Kamu harus menikah denganku agar bisa menyingkirkan mereka."
Mata Erin mengerjap. Ramdan dan otak pintarnya terlihat... seksi. Ah, astaga!
"Saham gabungannya cukup untuk melengserkan dia. Kamu juga harus menyelamatkan usaha papamu, kan? Saham Nova Bimarya yang sekarang dikelola Kafi nggak cukup memberikan suara." Kalimat lanjutan Ramdan membuyarkan Erin.
Mulut Erin mengatup. Ia tidak berpikir sampai sana. Ia tidak tahu kalau ada yang seperti itu.
"Mama sudah mencecar aku untuk menikahi kamu. Karena kelakuanmu kemarin, dia mau aku melamar kamu minggu depan. Itu alasanku mengajak kamu bertemu hari ini." Ramdan menerawang. "Dia minta kita menikah."
Ada senyum getir yang tampak di wajah Ramdan.
"I know you will not easily forgive me for what I've done. Tetapi, seenggaknya biar aku bantu kamu, ya?"
Erin menggeleng. "Mas, kamu harus tahu satu hal. Kamu itu, Adhyaksa. Aku ulang Adhyaksa! Pestamu nggak akan mungkin kecil-kecilan. Butuh enam bulan sampai satu tahun untuk mempersiapkan pesta besar, Mas."
"Kita bisa mengesahkan secara hukum dulu."
"Sah secara hukum harus pakai nikah agama dan bimbingan pra nikah minimal tiga bulan kecuali kamu mau masuk ke server lain!" Erin masih berucap.
"Nggak perlu. Kita bisa nikah di Hongkong atau Singapura lalu dibawa ke sini dokumennya. Easy."
"Mas!"
Ramdan menarik napas. Ia menatap Erin dalam-dalam. "Rin, come on. Aku cuma harapanmu satu-satunya, kan?"
Erin memejamkan mata. Ia tidak punya pilihan lain. Ia tahu.
"Aku akan bilang Mama kalau kita akan menikah." Ramdan diam sejenak. Ia terlihat berpikir. "Kita bisa sahkan secara agama dan hukum dulu, nanti setelahnya, baru kita adain pesta. Aku akan coba diskusi dengan Mbak Salsa, apakah kita harus mengumumkan ini ke publik atau tidak. But I guess, we better not. Yang penting, keluarga kita tahu terutama Rosa."
Ada rasa jijik saat Ramdan mengucapkan nama itu. Ia terlihat tidak senang.
"Kamu harus mendapatkan semua milikmu. Semuanya, Rin. I'll help." Ramdan berkata yakin. "Please, let me atone for my mistakes. I'm begging you."
Erin mengangguk. "Please bear in mind, aku melakukan ini bukan untuk menghapus rasa bersalahmu, bukan juga karena aku mau memanfaatkan kamu, aku ... aku tetap berhutang sama kamu."
Ramdan menggeleng. "Ini bukan hutang, Kitten." Ia berkata lembut. Matanya menyorotkan kesedihan. "Setelah kamu mendapatkan kepunyaanmu, lalu... kita bisa berpisah dan aku nggak akan menagih apapun padamu. Satu peser pun, nggak akan."
Erin memejamkan mata. Berpisah. Ia mengangguk pelan. Ia tak punya pilihan lain. Ramdan satu-satunya opsi yang ia bisa dapatkan. "Let's do this, Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Match Unmatch
RomanceMATCH UNMATCH (v.) To bring together two or more elements, individuals, or entities that appear to be incompatible or incongruous, with the goal of creating a surprising or unexpectedly harmonious relationship or combination. ADHYAKSA SERIES NO. 4 ...