(Aku up tripleeee ya—ini part terakhir yang ku up hari ini)
Garing. Garing sekali. Selama perjalanan pulang, tak ada satu patah katapun yang keluar. Keduanya masih sama-sama diam. Mereka seperti dua orang asing yang terjebak. Bahkan, Erin tak jadi makan malam dan langsung ke kamar sementara Ramdan mau tak mau meminta Bibi yang jadi asisten rumah tangga untuk memasakkan sayur seadanya dan memakannya sendirian.
Ini kacau. Ini benar-benar gawat.
Rasanya Ramdan tak bisa berkutik sama sekali. Kenapa semuanya jadi rumit?
Ramdan membiarkan Erin dalam kesendiriannya sementara dirinya juga mempersiapkan diri. Seusai mandi, ia menatap ke arah Erin yang duduk dengan ponsel di pangkuannya. Perempuan itu terlihat diam dan menekuk wajahnya.
"Kitten? Hei..."
Erin mendongak. Menatap ke arah Ramdan yang sudah mengambil tempat di sisinya.
"Kamu masih marah?"
Erin menggeleng. Ia diam lagi.
"Lalu?" tanya Ramdan lembut. Ia berusaha utnuk tetap tenang.
"Aku nggak tahu." Erin berkata serak. Ia melipat lututnya ke atas lalu menyanggah keningnya di atas tempurung lututnya itu. "Aku merasa bingung."
"Kitten..."
Bahu Erin bergetar. Ia terisak pelan.
"Kitten, what's wrong?"
Erin menggeleng. Ia menyeka air matanya. "Aku... wajahmu... sama seperti malam itu."
Ya Tuhan! Apa yang Ramdan takutkan benar-benar terjadi.
"Kitten..."
"Sebenarnya, apa yang terjadi?" potong Erin. "Kamu... kenapa?"
Ramdan memutar tubuh. Ia menghadap ke arah Erin. Menatap matanya yang menampakan rasa takut itu.
"Dia siapa?" Erin masih bertanya. "Dia... cantik."
"Kitten..." Ramdan ingin tertawa. She is cute. Bahkan dalam keadaan seperti ini.
"Jangan ketawa! Aku lagi serius!"
Ramdan mengentikan tawa namun menggantinya dengan senyum terkulum. Ia menangkup pipi Erin. "Kitten, can I embrace you while I tell my story?"
Erin mengangguk untuk sejurus kemudian Ramdan mendekap perempuan yang masih bergetar itu. Tangan Ramdan perlahan memain-mainkan rambut Erin.
"She is my ex."
Ketika kalimat itu keluar, Erin rasanya ingin mendorong Ramdan. Namun, pelukan lelaki itu jauh lebih erat. Mengunci Erin hingga tak bisa bergerak. Sepertinya, Ramdan tahu, Erin akan melepaskannya begitu kalimat pertamanya keluar.
"Aku mengenalnya di Amerika. Namanya Anindita Cahya. Kami pacaran dua atau tiga tahun. Bahkan, sampai pulang ke Indonesia." Ramdan menghitung-hitung. "Ya, sekitar segitu."
Erin mengambil napas. Rasanya nyeri. Walaupun ia berusaha memasang wajah baik-baik saja, rasanya, dada ini begitu sesak.
"Kamu tahu kan, aku suka saat kamu memanggil aku Ramadhana—"
"—Apa dia memanggil kamu Ramadhana juga?" potong Erin. Wajahnya tampak tak senang. "Jadi, aku tuh cuma bayangan mantanmu?"
Ramdan buru-buru menggeleng. "Aku pernah bilang untuk dia memanggil aku Ramadhana, aku bilang, aku suka artinya: Hero. Aku pengin jadi pahlawan super, soalnya. Tapi, dia ngetawain aku. Dia bilang, aneh banget! Too childish!" Ia mengambil napas. "Anin lebih suka manggil aku dengan Ramdan Adhyaksa—full name, with that Adhyaksa as well. Katanya, biar beneran berasa kalau dia punya pacar salah satu keluarga Adhyaksa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Match Unmatch
Roman d'amourMATCH UNMATCH (v.) To bring together two or more elements, individuals, or entities that appear to be incompatible or incongruous, with the goal of creating a surprising or unexpectedly harmonious relationship or combination. ADHYAKSA SERIES NO. 4 ...