37. Just A Moment, Please?

26.3K 2.5K 144
                                    

Welcome to Jakarta.

Ketika pesawat mendarat Erin menghela napas sekeras-kerasnya. Hari sudah malam saat mereka sampai di Bandara Soekarno Hatta. Ramdan sengaja memilih penerbangan yang agak sore agar lebih santai dan leluasa saat check out.

Senyum kecil terulas seraya Ramdan menggenggam erat tangan Erin saat turun dari pesawat. Tak ada kata yang diucapkan. Genggaman tangan itu seolah mengalirkan kekuatan yang tak kasat mata.

Tak ada yang membuka mulut bahkan sampai tiba di lobi dan sebuah mobil Vellfire hitam datang untuk menjemput mereka. Keduanya masih duduk dalam hening. Tak ada yang bersuara.

Tekanan udara terasa lebih berat. Erin memejamkan mata. Malam ini, ia akan menginap di rumah Ramdan. Besok, ia akan mengambil barang yang tersisa di apartemen Kafi.

Rumah Ramdan.

Erin bahkan belum pernah ke rumah Ramdan. Setahunya, Ramdan tinggal di rumah utama di Menteng dan bukan di apartemen terpisah seperti kakak-kakaknya. Alasan Ramdan sih, karena sayang dengan rumah itu. Ia juga malas pindah karena artinya harus mengatur semua sendiri.

Erin tidak tahu apa yang akan terjadi ketika ia tinggal di sana. Di mana ia akan tidur? Bagaimana selanjutnya? Oh! This is so confusing.

Hubungan ini terlalu mendadak. Terlalu terburu-buru. Terlalu tergesa-gesa.

Walau Ramdan sudah menyatakan perasaannya, walau Ramdan bilang "Let's take it slow." Faktanya, Erin tak bisa sama sekali melihat semuanya dengan tenang.

Dia grogi, dia gugup, dia bingung.

Lebih dari itu, ia merasa tidak ingin menghadapi hari esok. Kafi sudah mengirimkan pesan untuk bertemu di Perusahaan Bima besok jam sembilan. Katanya, per besok, Erin akan menggantikan posisi Rita yang saat ini sedang 'cuti'.

Oh, everyone knows where she goes. Atau setidaknya, Erin diberitahu Kafi bahwa Rosa pasti memasukannya ke rawat inap poli jiwa karena Rita mengamuk besar dan tidak mengendalikan emosi serta impulsnya setelah berita pernikahan Erin dan Ramdan.

Diam-diam, Erin sebenarnya kasihan dengan adik tirinya itu. Apapun yang terjadi padanya pasti sangat berat. Kalau tidak, ia tidak mungkin bisa sampai seperti itu.

Apakah sejak kecil, semua reaksinya harus diatur? Apakah semua yang ia lakukan harus selalu sesuai dengan skenario? Apakah ia tidak boleh bereaksi sesuai dengan emosinya? Apakah setiap yang ia rasakan tak divalidasi?

Walau baru sebentar, berkenalan dengan keluarga Adhyaksa membuat Erin sadar bahwa setiap anggota keluarga itu terkadang bereaksi seperti robot di depan orang lain. Mereka seperti punya tombol yang membuat mereka bisa berakting dengan baik.

Ramdan juga. Bukan sekali dua kali Erin melihat bagaimana Ramdan bersikap ketika bertemu orang lain. Seperti, pertemuan dengan Kafi, Rosa, dan Rita di Seribu Rasa tempo hari. Ramdan terlihat berbeda.

Apakah Rita juga hidup dalam kondisi seperti itu? Hanya bedanya, Rita tidak bisa bertahan dengan kondisi gila tersebut.

"You okay, Kitten?" Ramdan akhirnya bersuara.

Erin menengok. Ia menunjukan senyum sebisanya. "I'm good."

"Kamu seperti ada masalah," tebak Ramdan. "Kenapa? Mau cerita?"

Erin menggeleng. "I'm okay. Really."

Ramdan mengangguk pelan. Ia menghela napas sambil mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Erin kembali. Mengabaikan sopir yang berada di depan.

"Tangan kamu dingin. Kamu yakin kamu baik-baik aja?" tanya Ramdan lagi.

Erin membuang wajah. Ia tahu, ia tidak akan bisa membohongi Ramdan lebih dari ini.

Match UnmatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang