51. Blackhole

17.7K 2K 205
                                    

Ramdan melakukan stretching ringan ketika turun dari pesawat. Ada perasaan rindu yang tidak dapat terdefinisikan saat ini. Sudah satu minggu tidak bertemu Erin, rasanya ia nyaris gila.

Ia rindu perempuan itu. Rindu setengah mati.

Rasanya, malam ini, ia ingin mendekap Erin erat. Mungkin, bercinta dengannya. Ya, Tuhan, membayangkannya saja membuat Ramdan tak kuasa.

"Aku punya hadiah." Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Ramdan. Erin sudah nyaris sepuluh kali mengucapkannya sejak kemarin.

Hadiah apa? Ramdan jadi penasaran.

Erin bukan tipe orang yang suka memberikan atau menerima hadiah. Setidaknya, Ramdan tahu betul bahasa kasih istrinya itu. Erin lebih suka menyentuhnya atau melakukan sesuatu untuknya seperti memasak atau menyiapkan hal-hal lain.

Jadi, apapun itu... hadiah apapun yang Erin siapkan, hal itu pasti akan sangat spesial. Erin sudah mendapatkan asetnya, tetapi, Ramdan yakin, Erin tidak akan membelikan barang mewah. Pasti sesuatu yang lain?

Rajutan tangan? Sebuah kartu free kisses dan hal lain yang tren di media sosial? Or a night to remember?

Damn!

Ramdan mencoba mengurut-urut apa yang mungkin Erin berikan. Sialnya, otaknya buntu. Ia sudah tidak tahu lagi. Ia benar-benar ingin bertemu dengan istrinya secepatnya. Kakinya melangkah cepat keluar dari imigrasi lalu menuju ke arah tempat pengambilan bagasi.

Lelaki itu merogoh ponselnya. Ia ingin mengabari Erin bahwa dirinya sudah sampai namun malah mendapatkan notifikasi dari Kafi. Ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Kafi, diikuti Kartika yang menelepon hingga enam kali.

Kafi
Rita datang, ngamuk dan ngehajar Erin sampai kritis.
Sekarang Erin lagi di rumah sakit. Ini lokasinya.

Gayatri
Gue udah minta Pak Agil anterin lo ke rumah sakit. Erin gawat banget kondisinya.
Lo ke rumah sakit sekarang. Barang lo entar diambilin orang aja.

Jantung Ramdan bertalu-talu. Ia buru-buru berjalan cepat ke parkiran tempat supirnya menunggu. Tanpa basa-basi, lelaki itu masuk ke dalam mobil. Tangannya menekan nomor Gayatri dan sedikit lega saat kakaknya mengangkat telepon dengan cepat.

"Gimana, Mbak?" tanya Ramdan cepat. "Lo di mana?"

"Gue lagi jalan." Dari seberang, terdengar suara klakson mobil. "I don't know what happened. Tika yang ditelepon Kafi. Tapi, Tika masih urusin Dylan bentar. Rencananya, dia mau titip Dylan ke tempat Mas Eja dan Mbak Amel, baru nyusul."

Ramdan mengangguk-angguk. Rasanya, ia benar-benar tidak tenang. Perjalanan terasa begitu lama. Ditambah kemacetan membuat semuanya semakin menjadi. Ramdan terus mencoba memastikan keadaan Erin pada Kartika dan Gayatri.

Gayatri mengabari sudah sampai terlebih dahulu. Tak lama, ia mengirimkan pesan yang berkata bahwa Erin masih dalam tindakan. Walau Ramdan tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan, hatinya tidak tenang.

Ia buru-buru melompat turun ketika sopir menghentikan mobilnya di rumah sakit. Kakinya berlarian ke lift yang membawah pada lantai yang dituju menuju ke sebuah ruang tunggu.

Ia melihat Kartika dan Gayatri di sana. Menunggui dengan wajah begitu khawatir.

"Erin gimana?" tanya Ramdan bahkan tanpa menyapa. Basa-basi busuk.

Gayatri menggeleng. "Belum tahu, masih di ruang operasi, Ram."

Ramdan mengambil napas. Ia meneliti ke sekitar.

"Kafi lagi bikin perhitungan sama Rita dan Rosa. I guess it would be ... bad. Like bad bad bad." Kartika memotong. "He seems so enraged."

Ramdan mengepalkan tangan. Bukan cuma Kafi, Ramdan sendiri ingin membunuh Rita, rasanya. "What's going on actually?"

Match UnmatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang