Erin mengangguk pelan saat ia membuka pintu. Ia tidak tahu sedang berada di mana. Sepertinya, sebuah outdoor function hall yang biasanya dipakai untuk pernikahan dalam skala kecil. Lampu kelap-kelip tampak begitu cantik dengan dekorasi rustic yang elegan.
Ramdan mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Erin. Jari jemari mereka bertaut. Ia menuntun Erin menuju ke arah area utama.
Erin memandangi sekelilingnya. Ia hampir menganga namun mengatupkan rahangnya rapat-rapat. This area is full of beautiful people. Erin tidak tahu berapa harga outfit tamu-tamu di sana. Tetapi, Erin yakin, harganya... fantastis. Seperti pakaian yang ia pakai sekarang ini.
"Bengong aja, Rin?" tegur Ramdan. "Mau minum?" Ia menunjuk meja minuman dengan dagunya. "Aku ambilin apa aja asal jangan alkohol. Bahaya."
Kalimat itu terdengar biasa saja, tetapi sungguhan, pipi Erin memanas luar biasa. Erin meringis kecil. "Boleh."
"Oke, sebentar, ya. Kamu tunggu di sini."
Ramdan beranjak dari tempatnya. Meninggalkan Erin seorang diri.
Lagi, Erin memerhatikan sekeliling. Menatap ke arah setiap tamu yang hadir. Ke arah semua orang yang berdandan begitu heboh untuk acara seperti ini.
Kini, Erin jadi bertanya-tanya: kenapa Ramdan tidak kepincut barang sedikitpun dengan siapapun tamu yang seusia dengannya di sini? They look so stunning! Seperti perempuan di ujung sana yang mengenakan gaun kuning yang begitu manis. Atau perempuan di ujung lain yang mengenakan gaun hijau toska.
Dan... damn! Erin menahan napas. Ia menatap sosok yang terlihat begitu familiar. Matanya membulat. Orang itu... ibu tirinya.
Perempuan itu membalik tubuh. Berharap ia tak terlihat. Tubuhnya bergetar. Ia lupa! Adhyaksa dan Bimarya punya koneksi kerja sama untuk produk minuman di restoran mereka. Untuk acara seperti ini, wanita sialan itu pasit akan ada, bukan?
Sekarang, Erin ingin pulang saja. Tetapi, bagaimana ia izin untuk pulang dalam kondisi begini?
"Rin! Hai!" Suara riang tiba-tiba menyapanya. "Oh my God! Bener, kan!? Lo pakai baju ini cantik banget!"
Erin mendongak. Ia menatap perempuan lain yang lebih tinggi darinya yang tak lain dan tak bukan adalah Gayatri. Mengenakan gaun warna perak, dia tampak benar-benar membuat siapa saja menganga. Pantas semua perempuan muda menjadikan Gayatri sebagai panutan dan cita-cita. Sudah beranak dua, badannya masih bagus saja.
"Ramdan mana?" tanya Gayatri.
"Lagi ambil minuman."
"Oh, oke!" Tangan Gayatri tanpa basa-basi mengamit tangan Erin. Menarik perempuan yang bertubuh lebih kecil darinya itu.
"Mbak Atri, kita mau ke mana?"
"Kenalan sama nyokap gue!"
"H-hah?"
Gayatri menuntun Erin menuju ke arah tempat paling ramai. Semakin dekat ke sana, semakin teganglah dirinya. Ia mengambil napas, berusaha menjaaga sikap. Sesekali, matanya melirik ke arah sosok ibu tirinya yang sudah menghilang.
"Ma, Pa... Lihat aku bawa siapa!" Gayatri berucap seperti memamerkan sebuah karya pada Ayah dan Ibunya.
Erin merinding. Ia melihat Juwita yang menatapinya dengan sorot kebingungan.
"Ini Erin, pacarnya Ramdan!" Gayatri berkata lagi dengan begitu bangga. Erin tidak salah tangkap. Gayatri seolah sedang memamerkan pencapaiannya sendiri.
Sejenak, suasana jadi canggung. Erin menelan ludah. Ia mencoba memutar otaknya sebelum membuka mulut, "Ma-malam, Tante, Om..." Ia mengambil napas. Erin tak punya pengalaman bicara dengan orang yang pangkat dan kedudukannya setinggi ini. Apakah sapaan itu sudah jadi sapaan yang tepat?
"Oh, malam, Erin." Aditya berucap pada akhirnya.
"Erin sudah berapa lama pacaran sama Ramdan? Ramdan nggak pernah cerita, loh!" ucap Juwita lagi.
"Anu... itu... " Rasanya, Erin ingin bumi terbelah dan menelannya hidup-hidup saja. "Satu bulan, Tan-te." Ia berkata gugup. "Baru... kok..."
Gayatri tersenyum lebar. Ia merangkul Erin. "Tuh! Ini kan langka banget, Ma! Kapan lagi Ramdan bawa pacar. Kemarin Erin juga udah dateng ke ulang tahun Emi. Nggak mungkin deh kalau Ramdan nggak serius. Soalnya selama ini, dia nggak pernah bawa pacar-pacarnya itu."
Erin mengambil napas. Kalau saja Gayatri tahu bahwa dia dan Ramdan tak punya hubungan apa-apa dan hanya sebatas transaksional, apa jadinya?
"Jadi, Mama mending stop deh jodoh-jodohin Ramdan sama cewek aneh itu." Gayatri lanjut berkata dengan nada sebal. "Siapa nama dia? Itu loh, anaknya Perusahaan Bima."
Apa?
"Atri..." desis Aditya buru-buru.
Gayatri tetap tak peduli. Ia malah mengibaskan tangannya. Sementara, Erin nyaris pingsan. Ia mulai sesak napas. Rasanya, langit runtuh menimpanya.
"Mama kan cuma ngenalin ke Ramdan. Rita itu baik kelihatannya." Juwita membela diri. "Tapi, kalau Ramdan sudah punya pacar, ya, bagus."
Rita. Erin makin menegang. Bulu kuduknya meremang. Matanya melirik ke arah seorang perempuan yang begitu familiar baik itu nama dan sosoknya berdiri di dekat stall minuman dan mengobrol bersama ibunya dan temannya.
Itu Rita. Itu Rosa. Itu adik dan ibu tirinya. Kenapa ia bisa lupa bahwa perusahaan Adhyaksa—spesifiknya yang dikelola Ramdan—punya kerjasama dengan perusahaan Bima yang memproduksi minuman teh dan beberapa produk minuman kemasan lainnya itu? Astaga!
"Loh, kok di sini sih, Rin? Aku cariin loh." Sebuah suara membuat Erin semakin meremang. Telapak tangan besar yang menyentuh pinggangnya membuat Erin semakin kesulitan bernapas.
Ramdan menyerahkan segelas minuman pada Erin. Senyumnya masih secerah mentari karena tak tahu apa yang terjadi. Sementara, wajah Erin pucat pasi seperti mayat.
Ramdan terlihat menghela napas. Ia melirik ke arah Erin, berpikir bahwa gugupnya Erin terjadi karena bertemu kedua orangtuanya. Ia mendekatkan bibir ke telinga Erin.
"You okay?" bisiknya.
Erin mengangguk. Matanya mengisyaratkan Ramdan untuk pergi dari tempat itu secepatnya.
"Gue mau ngenalin Erin sama Papa Mama," tukas Gayatri.
Ramdan terlihat menyatukan alis sebentar. "Mbak..."
"Biar kenal, ya, kan? Dan biar Mama ini nggak usah jodohin lo sama si Rita Rita itu lagi!" Gayatri memutar bola mata, ia tiba-tiba melirik ke arah dua orang yang tiba-tiba menghampiri mereka. "Speaking of the devil..."
Erin menegang. Ia benar-benar ingin kabur. Tetapi, bagaimana caranya?
Erin mengambil napas. Ia merasa lututnya lemas. Perempuan itu membalik tubuh, menghadap ke arah Ramdan yang kini melihat ke arahnya bingung sementara dua orang yang paling ia hindari berjalan mendekat. Rasanya, mual. Ia gugup dan takut.
"Kamu kenapa?" bisik Ramdan.
"Bisa kita pergi sekarang?"
Terlambat. Langkah itu semakin mendekat.
"Hai, Mbak Juwita. Selamat ulang tahun, loh!" Suara Rosa terdengar begitu palsu sebelum mencium pipi kiri dan kanan Juwita.
Erin semakin gemetar hebat dan Ramdan terlihat semakin kebingungan.
"Tante... happy birthday. Cantik banget, deh!" Kini, gantian suara centil perempuan yang lebih muda—yang tak lain dan tak bukan adalah Rita—dan itu membuat Erin secara tiba-tiba memegang lengan Ramdan dengan erat.
"Kamu kenapa, Rin?"
Erin menggelengkan kepala dengan kebingungan. Semuanya terasa menghisapnya. Gawat. Ini benar-benar gawat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Match Unmatch
RomanceMATCH UNMATCH (v.) To bring together two or more elements, individuals, or entities that appear to be incompatible or incongruous, with the goal of creating a surprising or unexpectedly harmonious relationship or combination. ADHYAKSA SERIES NO. 4 ...