36. Eight Letters

24.7K 2.5K 264
                                    

Keduanya terengah. Terbaring di bawah selimut setelah segala aktivitas membara nan penuh dengan hasrat masih terasa. Kepala Erin bersandar di dada Ramdan, mendengarkan degup jantung lelaki itu yang terdengar bergemuruh. Tak ada yang berbicara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.

Tangan Ramdan perlahan membelai lembut rambut Erin. Setiap belaiannya membuat Erin terbuai. Ramdan selalu bisa memanjakan wanita.

"This feels nice," gumam Ramdan memecah hening.

"Yah," balas Erin setuju. Ia membalik sedikit tubuhnya. Ujung jarinya bergerak menyusuri kulit Ramdan, membuat pola-pola tak jelas di sana. "I could stay like this forever."

Ramdan melirik sebelum tertawa kecil. Dadanya naik turun seirama dengan tawanya. "Aku juga."

Hening lagi-lagi menyapa, tetapi kali ini terasa berbeda. Rasanya lebih berat, penuh dengan pikiran-pikiran yang tidak bisa terucap. Erin bisa merasakan sesuatu yang salah, seperti ada yang ingin Ramdan ucapkan namun tertahan.

"Ada yang kamu pikirin?" tanya Erin sambil mendongakan kepala.

Ramdan tampak sedikit ragu. Ia menerawang sejenak ke langit-langit. "Cuma lagi mikirin..." Ia diam sejenak. "Tentang hal yang terjadi akhir-akhir ini. Kita dan pernikahan kita dan... sekarang."

Senyum Erin terlihat lembut. Ia mengambil napas, mendekat Ramdan perlahan. "It was amazing," bisiknya. "Aku berharap 'bulan madu' ini nggak berakhir. Aku nggak pengin pulang dan ngehadapin apapun di depan mata. Termasuk... Tante Rosa dan Rita."

Lagi, Ramdan tak bersuara. Diam melanda sementara keduanya masih berpikir.

Seks pertama mereka dilakukan saat Erin mabuk. Jadi, setelah semuanya terpuaskan, mereka hanya berhenti dan tidur.

Seks kedua mereka yang katanya untuk riset itu berakhir begitu saja. Ramdan langsung pergi meninggalkan Erin sesaat setelah keduanya mencapai pelepasan. Bukannya apa, kondom Ramdan habis dan ia takut akan semakin menggila jika terus menerus berada di dekat Erin.

Seks ketiga, terjadi semalam. Erin digauli sampai tewas.

Dan sekarang, mereka akhirnya baru bisa bicara sedekat ini.

After sex talk alias pillow talk begini bukan sesuatu yang sebenarnya lazim Ramdan lakukan. Jadi rasanya, ia sama-sama canggung.

Ramdan kembali bermain-main dengan anak rambut Erin sebelum menarik napas perlahan. "Sayang," panggilnya.

Untuk pertama kalinya, Erin mendongak. Ia mengerutkan dahi. Matanya menatap ke arah Ramdan dengan wajah keheranan. "Kamu manggil aku, 'Sayang'?"

Ramdan mengangguk, "Iya. Sayang." Ia mengulang kalimatnya. "My dearest kitten."

Erin mengambil napas, membiarkan oksigen memenuhi dadanya. Ia menunduk, mengarahkan pandangan ke dada Ramdan.

"Kamu nggak suka?" tanya Ramdan. Suara begitu lembut tetapi juga khawatir.

Erin menggeleng. "Kenapa?" Erin bertanya tiba-tiba. "Kenapa panggil sayang?"

"Memangnya nggak boleh?" Ramdan mengerutkan dahi tidak mengerti.

Erin menggeleng pelan. Tiba-tiba, ia ingin menangis. Tangannya menyapu matanya sembari senyum getir terulas di bibirnya. "Jangan bilang 'sayang' kalau kamu nggak benar-benar sayang, Mas." Ia berkata serak.

"Apa?"

"Don't say it if you don't mean it." Tangannya mendorong Ramdan pelan sebelum kemudian bangun dan terduduk. Lututnya terlipat ke atas, sementara tangannya menutup wajahnya. Pundaknya bergetar. "Selama tadi pun, kamu manggil aku sayang. Dari kemarin pun juga..."

Match UnmatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang