33. It Just A Nickname

26.2K 2.7K 152
                                    

Erin mengerjapkan mata ketika sinar matahari pagi menembus gorden. Ia terkesiap. Melihat ke kiri dan ke kanan, menemukan dirinya telanjang dengan bekas percintaan yang mengering di seluruh tubuh. Di sebelahnya, tampak Ramdan yang masih tertidur pulas.

Napas Erin terhela saat melihat ke arah cincin di jari manis kanannya. Ia mengangkat tangan, melihat cincin berlian yang begitu cantik itu masih tersemat. Semua yang ia alami bukan mimpi. Termasuk pernikahannya dan percintaan gilanya dengan Ramdan semalam.

Sekujur tubuhnya terasa akan rontok. Ramdan dengan tanpa ampun menggaulinya semalaman. Bekas-bekas percintaan mereka masih terlihat jelas. Walau Ramdan bilang akan memperlakukannya dengan lembut, kenyataannya, bekas kemerahan karena gesekan cambangnya atau hisapannya terlihat begitu jelas. Erin sudah lupa berapa kali mulut itu menjeritkan nama Ramdan.

Permasalahan dengan keluarganya belum selesai. Erin tahu, pernikahannya dengan Ramdan hanya langkah awal. Ia baru akan memulai semuanya besok, ketika di Jakarta.

Tetapi, bolehkah untuk hari ini saja, Erin menikmati momen bahagianya. Setidaknya, ia baru menikah dan ingin menghabiskan waktu bersama suaminya.

Suaminya. Ramadhana Galandra adalah suaminya. Semua masih terasa tidak nyata.

Benar kata Ramdan, hubungan ini punya masa waktu tertentu. But for the time being, they are husband and wife, so why don't they seize every moment, right?

Erin diam sejenak. Jantungnya berdegup kencang saat melihat Ramdan yang masih tertidur. Ada perasaan hangat yang mengalir di hatinya.

Wajah Ramdan terlihat begitu damai dalam tidur, rahangnya yang tegas tampak lebih lembut dan tenang. Garis-garis wajahnya yang tegas kini terlihat lebih santai.

Matanya tertutup rapat, menyembunyikan tatapan tajam yang selalu berhasil membuat Erin terpesona. Erin baru sadar bulu mata Ramdan cukup panjang. Saat Ramdan bernapas dengan teratur dengan dengkur halus, Erin bisa melihat sedikit gerakan di bawah kelopak matanya, seolah-olah dia sedang bermimpi.

Ah, mimpi apa? Erin jadi penasaran.

Erin selalu merasa, Ramdan diciptakan saat Tuhan sedang bermurah hati. Memang, sih, klan Adhyaksa itu nyaris tidak ada yang gagal. Tetapi, Ramdan berbeda. He is so different. Rasanya, tidak ada satu cacat pun di tubuhnya.

Hidungnya lurus dan proporsional, menambah harmoni pada wajahnya. Dan bibirnya, bibir itu selalu membuat Erin terpesona. Penuh dan sering kali membentuk senyuman yang manis dan menawan, senyuman yang mampu mencairkan hatinya setiap kali melihatnya—atau bernafsu setiap kali membayangkan bibir itu menyentuh bibirnya. Ada lesung pipit di pipi kirinya yang muncul saat dia tersenyum, membuatnya tampak semakin memikat.

Rambut hitam legamnya terurai sedikit berantakan di atas bantal. Tetapi, terlihat begitu lembut dan menawan.

Erin merasa ingin mendekatkan dirinya, merasakan kehangatan tubuh Ramdan yang menenangkan, dan membiarkan dirinya tenggelam dalam momen indah ini. Wajah Ramdan yang tidur menjadi pemandangan yang sempurna, mengingatkan Erin betapa beruntungnya dia memiliki pria sebaik dan setampan Ramdan dalam hidupnya.

Tangannya terulur, hendak menyentuh rambut Ramdan namun...

"Hei, Kitten. Morning..." Suara serak membuat Erin yang berencana mendekat jadi kaget. Ramdan mengucek matanya lalu tersenyum manis.

Oh, Tuhan! Apa yang terjadi? Bagai maling ayam yang tertangkap basah, Erin langsung gugup luar biasa.

Perempuan itu berencana untuk pura-pura membalik badan namun sayangnya, tangan Ramdan lebih cepat. Ia menarik Erin untuk masuk ke dalam dekapan. Tubuh kecil Erin seolah tenggelam begitu saja.

Match UnmatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang