Jongho merasakan angin dingin yang menusuk tulang saat dia memandangi langit yang dipenuhi awan kelabu tebal.
Salju turun dengan derasnya, membungkus seluruh kota dalam lapisan putih yang pekat. Dia memeluk perutnya yang besar, merasakan tendangan lembut bayinya yang hampir siap lahir. Yeosang, pasangannya, sedang dalam perjalanan bisnis dan tidak bisa kembali sebelum badai besar ini tiba. Jongho sendirian, dan dia tahu bahwa dia harus bertahan untuk dirinya dan bayinya.
Ketika badai salju semakin parah, listrik di apartemen mereka mati, memadamkan satu-satunya sumber kehangatan dan cahaya. Jongho meraih ponselnya, mencoba menelepon Yeosang, tetapi sinyalnya hilang. Tanpa komunikasi, tanpa listrik, dan dengan persediaan makanan yang menipis, dia harus mencari cara untuk bertahan hidup.
Jongho merapatkan selimut tebal di sekitar tubuhnya dan mulai mencari lilin di dapur. Ketika dia menyalakan lilin pertama, cahaya kecil itu memberinya sedikit rasa nyaman.
Namun, dia tahu itu tidak cukup untuk melawan dinginnya malam yang akan datang.
“Baiklah, Jongho. Kau harus tetap tenang,” katanya pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan detak jantung yang semakin cepat.
Dia mengambil pakaian tebal dari lemari dan memakainya berlapis-lapis. Dia juga mengumpulkan semua selimut yang bisa dia temukan dan menyusunnya di ruang tamu yang kecil. Tempat itu akan menjadi pusat perlindungannya selama badai ini berlangsung.
Saat malam semakin larut, angin di luar bertiup semakin kencang, membuat jendela bergetar. Jongho memeluk perutnya, merasakan ketakutan yang menghantui pikirannya. Tiba-tiba, dia merasakan kontraksi yang kuat. Rasa sakit itu membuatnya terkejut dan panik.
“Tidak sekarang, tolong,” gumamnya dengan suara gemetar.
Kontraksi datang lebih sering, dan Jongho tahu bahwa bayinya mungkin datang lebih awal dari yang dia harapkan. Dia mengingat apa yang telah dia pelajari dalam kelas persiapan kelahiran, mencoba mengatur napasnya untuk mengurangi rasa sakit.
Beberapa jam kemudian, rasa sakit semakin tak tertahankan. Jongho tahu bahwa dia harus segera mendapatkan bantuan medis, tetapi bagaimana caranya di tengah badai salju ini? Dia memutuskan untuk mencoba menembus badai dan mencari bantuan. Dengan susah payah, dia mengenakan mantel tebal dan sepatu bootsnya, kemudian membuka pintu apartemennya.
Angin dingin langsung menyambutnya, membuatnya hampir kehilangan keseimbangan.
Namun, dia terus maju, menembus tumpukan salju yang menutupi jalanan. Setiap langkah terasa seperti perjuangan, tetapi dia tahu bahwa dia harus melakukannya demi bayinya.
Di tengah perjalanan, dia melihat cahaya kecil dari sebuah rumah yang tidak terlalu jauh. Dengan sisa tenaga yang ada, dia berjalan menuju cahaya itu.
Ketika dia tiba di depan rumah tersebut, dia mengetuk pintu dengan sekuat tenaga.
Pintu terbuka, menampilkan seorang wanita tua dengan wajah penuh keprihatinan. “Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu?” tanya wanita itu dengan suara cemas.
“Aku… aku butuh bantuan. Aku akan melahirkan,” jawab Jongho dengan suara tersendat.
Wanita itu segera mengundangnya masuk. “Masuk, sayang. Cepat, kita harus menelpon ambulans.”
Wanita itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Nyonya Park, segera menelepon 112, meskipun sinyal teleponnya tidak stabil. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya panggilan berhasil terhubung dan mereka mendapat janji bahwa bantuan akan segera datang.
Sambil menunggu, Nyonya Park menyiapkan tempat tidur darurat di ruang tamunya yang hangat. Jongho berbaring dengan susah payah, merasakan kontraksi yang semakin sering dan kuat. Nyonya Park duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet William 🏵 bottom!Jongho [⏯]
Fiksi Penggemarbottom!Jongho / Jongho centric Buku terjemahan ©2018, -halahala_