bab 7

875 86 1
                                    

Happy Reading . . .

Ternyata memilih kesiangan berangkat sekolah bukanlah pilihan tepat. Karena Apesnya Amora harus kembali menyaksikan kedua orang tuanya bersitegang. Saling menyalahkan atas yang terjadi pada keluarga kecil mereka. 

Amora tidak ingin peduli jikapun nantinya mereka saling membunuh satu sama lain. Amora hanya akan menjadi penonton tanpa suara.

Sosok Hellea yang menumpang ditubuh Amora sudah merasa lelah apalagi Amora yang asli. Pantas saja Amora memilih pergi diakhir ceritanya demi mempertahankan kewarasannya, ternyata inilah alasannya.

"Aku sudah memintamu untuk menceraikan ku, Bram. Lalu apa sekarang, kamu selalu mengungkit apa yang sudah berlalu!" Suara Sarah semakin meninggi.

Sedangkan Bram tidak memberikan reaksi apapun selain menatap lurus ke depan. Tatapan yang kosong penuh kehampaan, Bram seperti terjebak pada suatu tempat dimana hanya ada dirinya disana.

"Tidak ada untungnya juga tetap bertahan ketika kita tahu semua sudah hancur. Tidak ada lagi cinta meski cinta itu barangkali memang tidak pernah ada. Bram jangan mempersulit semuanya, kita berpisah dan cari kebahagiaan masing-masing!"

Kini atensi Bram sepenuhnya pada Sarah. Pria baru baya itu seakan sulit sekedar mengeluarkan suara miliknya.

"Kenapa mudah sekali kamu mengatakannya, Sarah! Kenapa mudah sekali? Aku bahkan berkali-kali harus berpikir mengambil langkah kedepannya, t-tapi kamu?"

Bram memalingkan wajahnya kearah lain. Bram sangat mencintai Sarah sejak pertemuan mereka, ia pikir Sarah merasakan hal yang sama karena wanita itu menerima perjodohan diantara mereka. Dan Bram pikir, selama ini Sarah bahagia hidup dengannya apalagi setelah kehadiran putri kecil mereka.

Dan ternyata Bram salah besar. Selama ini Sarah hanya berusaha menjadi istri yang baik. Sedangkan hatinya jelas berada pada pria lain. 

"Kumohon Bram, kita bisa berpisah secara baik-baik. Kita bisa bicarakan ini tanpa adanya emosi satu sama lain."

"Sebaik apapun perpisahan selalu ada luka didalamnya Sarah. Kenapa kamu tidak memikirkan itu."

Bram meninggalkan sarah dan Amora yang masih di tempat yang sama. Sarah ingin marah tetapi berpisah dengan Bram tidak semudah itu.

Tanpa berpamitan Amora langsung meninggalkan rumah menuju sekolah dimana pasti akan ada masalah baru lagi. Amora kadang berpikir kalau sang penulis memiliki dendam pribadi padanya.

Bisa jadi, kan?

.....

Mode Amora sekarang senggol dikit bacok. Moodnya pagi sedang tidak baik, jadi ada baiknya orang-orang menjauhinya dan tidak mencari masalah dengannya.

Hingga sosok jangkung itu tiba-tiba muncul dan mengacaukan semaunya. Brivan dengan wajah datarnya menghalangi jalan Amora menuju kelas 11 Ips 2.

"Minggir."

"Kalau gue gak mau lo mau apa, hmm?"

"Minggir sebelum gue benar-benar gak bisa mastiin setelah ini lo baik-baik aja."

Brivan mengangkat bahunya tak peduli, melihat wajah datar tetapi penuh emosi semakin membuat Brivan tertarik. Entah sejak kapan mengganggu seorang Amora adalah hal paling menarik bagi Brivan.

"Sekali lagi, gue bilang minggir. Telinga lo masih berfungsi kan?" tanya Amora dengan suara rendah.

"Mungkin."

Cukup!

Amora tidak lagi bisa menahan amarahnya, Brivan selalu berhasil kalau soal memancing emosinya. Dan jangan salahkan Amora kalau kejadian dikantin tidak ada apa-apanya.

Bugh.

Bugh.

"KURANG AJAR LO!"

Bugh.

"Gue udah bilang minggir, tapi sepertinya lo emang mau cari gara-gara sama gue!"

Amora seperti kesetanan menghajar Brivan tanpa memberi sedikitpun cela pada pria itu. Beberapa siswa mulai merasa takut, ingin memisahkan tetapi melihat Amora nyali mereka seakan menciut.

Orion dan juga Matteo hanya bisa mematung saat Brivan berusaha melindungi diri dari tendangan maut Amora.

"Lo selalu ngusik ketenangan gue, lo selalu mancing emosi gue, Brivan Julio! Dan gue udah kasih lo peringatan. Sayangnya lo lebih milih nantang gue daripada dengerin ucapan gue."

"Lo bisa bunuh anak orang Woy!" Lucas yang baru datang segera menjauhkan Brivan dari Amora. Seketika para siswa ikut prihatin melihat keadaan Brivan yang jauh dari kata baik-baik saja.

"Lo mau jadi preman, hah? Lo gak bisa seenaknya hajar anak orang. Jadi cewek kok gak ada kalem-kalemnya." Lucas mengomeli Amora tetapi ia masih fokus menjauhkan Brivan.

Orion juga melakukan hal yang sama. Tak lama kemudian keduanya segera membawa Brivan ke uks untuk mendapatkan pengobatan.

Sedangkan Matteo segera menarik tangan Amora tanpa persetujuan sang empu. Disinilah mereka sekarang, taman belakang. Tempat pertama kali yang Amora lihat saat ia membuka matanya.

"Gue gak tau apa masalah lo sebenarnya. Tapi kalau boleh, lo gak bisa lampiasin itu ke orang lain."

Matteo berusaha lembut agar Amora tidak tersinggung dengan ucapannya.

"Lo bisa cerita sama siapapun, gak harus kayak tadi. Kecuali lo emang mau anak orang mati, Amora."

Matteo tidak memihak siapapun apalagi membela Brivan. Namun, Amora tetaplah salah, dilihat dari sudut manapun Amora telah menghajar Brivan dan itu bisa membuatnya masuk ruang bk. Paling-paling yah dapat surat peringatan atau diskors.

"Lo bisa pergi sekarang? Gue pengen sendiri."

Matteo mengangguk pelan lalu meninggalkan Amora seorang diri di taman belakang sekolah. Tepatnya Matteo tidak benar-benar pergi, pria itu lebih memilih bersandar pada tembok yang tak jauh dari Amora.

Dirinya takut kalau tiba-tiba saja Amora berubah pikiran dan kembali mengamuk. Bisa saja ia menyakiti dirinya sendiri, tanpa sepengetahuan orang lain untuk itu Matteo memilih tetap disana.

"Aish, padahal bentar lagi gue bisa bunuh Brivan," kata Amora enteng.

Matteo membulatkan matanya sempurna cukup tak menyangka mendengar penuturan Amora barusan. Seharusnya gadis itu menyesali perbuatannya, bukan malah mengatakan hal diluar nalar.

"Cewek gila."

B E R S A M B U N G . . .

Jangan lupa tinggalkan jejak, guys.
Terimakasih.
.

.

.

.
Bye!



The Antagonit's GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang