14. Terpaksa Berbohong

603 24 0
                                    


"Alina, ayo buka pintunya. Aku tahu kamu pasti di dalam, 'kan? Ayo keluar! Kita obrolin di sini, Al."

Berkali-kali Atlas mengetuk pintu rumah Alina, namun tidak ada sahutan sama sekali. Atlas juga mengintip dari jendela namun di dalam sana seperti tidak ada siapa-siapa.

"Aku tahu kamu itu lagi sembunyi di dalam. Ayo, Al, keluar dan kita bicara baik-baik. Kita baru aja sama-sama lagi, kenapa kamu malah bilang untuk mengakhiri semuanya."

Suara Atlas melamban. Lelaki itu bersandar di depan pintu dengan tubuh yang melemas.

Ia tidak pernah menduga kalau semuanya akan berakhir seperti ini lagi. Alina tiba-tiba meninggalkannya tanpa dia tahu apa kesalahannya.

"Aku mohon, buka pintunya ..." Lirih Atlas lagi, dia menggosoknya punggungnya di permukaan pintu dan terduduk di atas lantai.

Bahkan untuk berdiri saja rasanya Atlas sudah tidak sanggup.

"Ke mana janji kamu yang bilang kalau kamu nggak akan ninggalin aku lagi? Kamu bohong, Al. Kamu bohong!"

Lelaki itu menundukkan kepala dan terus menangis berharap Alina mau membukakan pintu. Dia berjanji jika Alina mau ke luar, dia akan pergi membawa Alina jauh dan memulai kehidupan yang baru.

"Mas, lagi cari mbak Alina, ya?"

Suara seseorang menghentikan tangis Atlas. Dia mendongakkan kepala dan melihat perempuan paruh baya kini berdiri di halaman kontrakan Alina.

"Iya, Bu. Tapi dia nggak mau bukain pintu."

"Lho, memangnya mbak Alina nggak ngasih tau kalau dia udah pindah?"

"Pindah?"

Atlas langsung menegakkan tubuhnya dan menghampiri perempuan itu.

"Pindah ke mana, Bu?"

"Saya juga nggak tahu, Mas. Soalnya mbak Alina tiba-tiba pindah gitu aja. Memangnya Mas nggak dihubungi sama mbak Alina?"

Atlas menggelengkan kepalanya. Perginya Alina semakin membuatnya kebingungan.

Tanpa mengatakan apa pun Atlas pergi begitu saja. Dia akan menyusuri kota Jakarta sampai berhasil menemukan Alina.

Tidak akan dia biarkan Alina pergi lagi. Tidak akan dia biarkan hubungannya dengan Alina hancur lagi.

🌷🌷🌷

Jam sudah menunjukkan pukul 01:00 dini hari. Atlas memasuki rumah dengan langkah gontai. Dia sudah mendatangi tempat yang biasanya Alina datangi, namun dia tidak menemukan keberadaan Alina di mana-mana.

Benak Atlas terus bertanya-tanya dengan kepergian Alina yang seakan menjadi misteri yang tak bisa dia pecahkan.

Saat tiba di ruang tengah dia melihat Anin yang menunggu di atas sofa. Perempuan itu berjalan mendekatinya dengan mimik wajah khawatir.

Atlas baru ingat kalau tadi dia tiba-tiba meninggalkan Anin begitu saja.

"Mas, kamu baik-baik aja, 'kan?"

Pertanyaan itu berhasil membuat tangis Atlas pecah. Dia berlutut di hadapan Anin sambil memegangi tangan wanita itu.

"Mas, kamu kenapa?"

"Alina, Nin. Alina ... Alina pergi untuk kedua kalinya. Dia ninggalin aku. Sekarang aku benar-benar nggak tahu harus ngelakuin apa. Aku nggak mau Alina pergi ninggalin aku, Nin. Aku mau Alina tetap di samping aku. Aku mencintai dia, aku nggak bisa hidup tanpa dia. Aku mohon bantu aku, aku mohon ..." Ucap Atlas penuh permohonan.

"Aku bakal lakuin apa pun untuk balas jasa kamu. Asalkan kamu mau bantu aku, aku nggak bisa hidup tanpa dia, Nin. Tolong, tolong bantu aku untuk nemuin Alina."

Bibir Anin bergetar menahan tangis ketika menyaksikan Atlas rela bersujud di hadapannya hanya untuk meminta Alina kembali.

"Aku nggak tahu apa kesalahan yang udah aku lakuin. Mungkin aku udah lupain perasaan dia, Nin. Aku udah lupain perasaan orang yang aku cintai."

'Tapi aku juga terluka, Mas. Sikap kamu begini bikin aku terluka. Kamu melukai hati orang yang mencintai kamu.' Kata Anin. Namun kalimat itu hanya terucap dalam hatinya.

Perlahan Anin berjongkok. Pelan-pelan dia membawa Atlas ke dalam pelukannya.

"Mas, aku rasa Mas harus kasih Alina waktu. Mungkin ada hal yang dia pertimbangkan. Bisa jadi Alina pergi untuk memenangkan diri. Kalau Mas begini terus, yang ada Mas itu bakal kehilangan Alina. Biarin Alina tenang dulu. Mungkin dia pergi hanya sebentar. Kalau dia benar-benar mencintai Mas, Mas Atlas harus yakin. Dia pasti kembali untuk Mas."

Pelukan Atlas pada Anin semakin mengencangkan. Namun pelukan itu seakan berkonspirasi menghancurkan hati Anin. Sebab doa tahu, pelukan ini tercipta atas dasar sakit hati Atlas yang ditinggalkannya oleh Alina.

"Sekarang Mas harus tenangin diri dulu. Mas istirahat dan jangan pikirin apa pun. Hargai keputusan Alina. Percaya kalau memang dia mencintai Mas, dia pasti kembali. Dulu dia pernah pergi, 'kan? Tapi dia kembali untuk Mas. Hanya saja dia kembali dalam situasi yang salah. Aku yakin dia pergi hanya untuk menenangkan diri. Mas harus melanjutkan hidup supaya bisa bertemu dengan dia di saat kondisi Mas yang jauh lebih baik lagi."

Atlas merenggangkan pelukan hingga terlepas.

"Iya, kamu benar. Aku harus yakin kalau Alina pasti kembali lagi."

"Sekarang Mas istirahat. Ini udah terlalu malam."

Atlas tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

"Makasih, Nin. Makasih atas pengertiannya. Aku bersyukur punya teman kayak kamu."

Tangan Atlas menyentuh sebelah bahu Anin

'Aku terpaksa, Mas. Aku terpaksa lakuin ini semua. Nggak apa-apa aku sakit, asalkan aku punya peluang untuk bisa berhasil bikin kamu terima aku sebagai istri kamu. Aku yakin, kali ini Alina nggak mungkin kembali, Mas. Aku yakin dia pergi memang untuk melupakan semuanya.'

Atlas berdiri dan membawa Anin ikut berdiri bersamanya.

"Aku janji, aku bakal berusaha jadi lebih baik lagi. Kalau suatu saat nanti aku bertemu Alina, aku harus berhasil bikin dia yakin."

"Iya, Mas."

"Kamu mau kan berjanji untuk tetap bantu aku?"

"Iya, Mas."

"Aku istirahat."

"Aku bikinin kamu susu dulu. Tadi nggak sempat minum, kan?"

"Nin aku ..."

"Aku nggak minta lebih, kok. Aku cuma pengen lakuin kewajiban aku. Jangan tolok ini, Mas."

"Oke. Kamu bikin aja nanti bawa ke kamar."

Anin menganggukkan kepalanya. Saat itu juga Anin herus menjalankan aksinya yang tertunda.

Dia tahu kalau keputusan ini adalah keputusan yang paling besar dan berisiko. Namun Anindya tidak punya pilihan lain.

Semoga saja dengan melakukan ini semua, bisa mengubah takdirnya dan dia berhasil membuat Atlas terikat dengannya.

Dengan penuh keberanian. Anin memasukkan obat pemicu gairah ke dalam susu yang dia buatkan untuk Atlas. Dengan begini Atlas tidak mungkin menolak untuk menyentuhnya.

Lagipula dia juga tidak akan berdosa melakukan ini semua. Karena bagaimanapun Atlas telah sah miliknya.

Anin mengembuskan napasnya, jantungnya juga berdetak kencang.

"Maafin aku, Mas. Tapi aku nggak punya pilihan lain. Ini adalah opsi terakhir yang bisa aku lakuin sekarang. Kepergian Alina udah mendukung apa yang aku lakuin. Semoga saja setelah ini aku bisa secepatnya lupain dia Mas."

Setelah selesai membuatkan susu untuk Atlas. Anin cepat-cepat membawanya ke kamar. Takut-takut kalau laki-laki itu malah sudah tertidur duluan.




Dear Atlas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang