16. Permohonan Cinta

673 27 4
                                    


🌷🌷🌷

"Mas mau makan apa? Biar aku masakin." Kata Anin ketika melihat Atlas yang baru saja pulang dari kantor. Dia mengambil tas kerja milik Atlas dan mengikuti langkah lelaki itu, sementara Atlas memilih duduk di atas sofa.

"Aku mau makan di luar. Kamu nggak usah masak."

Respon Atlas datar, sejak kejadian malam itu Atlas terus menghindar bahkan seperti enggan bicara dengan Anin.

Anin terus berusaha mengajak Atlas bicara, namun Atlas pun hanya menjawab seadanya.

"Mas masih mempermasalahkan apa yang udah terjadi malam itu?"

Atlas tak bergeming. Sampai saat ini dia pun masih belum bisa menerima apa yang telah terjadi pada malam itu. Meskipun Atlas ingat dan sadar betul akan semuanya, tetap saja dia masih belum menemukan jawaban kenapa ia bisa melakukan hubungan suami istri itu dengan Anin.

Dia tidak akan mungkin tergoda dengan Anin sebab ia tidak pernah merasakan cinta pada istrinya itu, jadi mana mungkin dia mau menyentuh Anin.

"Apa melakukan hal itu adalah penyesalan terbesar dalam hidup kamu? Apa aku semenjijikkan itu untuk kamu sentuh?"

"Aku gak cinta sama aku, Anin. Karena hal itu, bikin aku merasa bersalah sama kamu. Aku nggak tau apa yang akan terjadi kedepannya. Tapi seharusnya kita nggak pernah ada dalam posisi ini."

Anin diam. Padahal kejadian itu telah berlalu semenjak dua bulan yang lalu, tapi Atlas tetap saja tak berubah dan malah semakin terasa jauh.

Apakah benar keputusannya saat itu salah? Anin menelan ludahnya dengan kasar. Padahal di baru saja ingin memberitahu pada Atlas bahwa saat ini dirinya tengah mengandung.

Ya, malam itu perbuatan mereka membuahkan hasil. Anin hamil dan saat ini ada benih Atlas yang tumbuh di rahimnya.

Tapi kalau Atlas terus begini, bagaimana caranya Anin memberitahu perihal anak yang dia kandung? Dengan sikap Atlas yang begini saja sudah membuat Anin berpraduga bahwasanya Atlas tak mungkin menerima anak yang dia kandung

"Mas, tapi aku hamil."

Dua bola mata Atlas melebar. Fokusnya beralih pada Anin untuk memastikan kalau apa yang dikatakan Anin hanyalah omong kosong.

"Jangan becanda!"

"Aku serius, kalau Mas nggak percaya, aku bakal kasih buktinya."

Jantung Atlas berdetak kuat. Berharap Anin tidak punya bukti apa pun. Berharap ucapan Anin barusan hanyalah omong kosong belaka. Atlas tak ingin hal itu terjadi, sebab jika Anin benar-benar mengandung anaknya, hubungannya dan Alina betul-betul berakhir.

Alina pasti akan kecewa karena menganggap Atlas telah melupakannya.

Tak lama kemudian Anin datang membawa benda tipis yang langsung Atlas kenali sebagai testpack.

Anin memberikan benda tipis itu kepada Atlas. Berkali-kali air liur membahasi tenggorokan Atlas. Dia melihat jelas bahwa ada dua garis merah yang tertera di sana. Itu artinya hasil tes itu positif.

"Ini pasti bukan punya kamu, Nin."

"Kalau bukan punya aku, punya siapa lagi?"

"Mungkin alatnya salah, Nin. Barang kali memang rusak. Kamu nggak mungkin hamil. Kita hanya ngelakuin itu satu kali. Mana mungkin langsung kamu hamil."

Mendengar perkataan Atlas hati Anin terasa perih. Lelaki itu terlihat begitu menolak mentah-mentah tentang kehamilannya.

"Lebih baik kita ke rumah sakit sekarang. Biar dokter yang periksa kamu. Aku yakin kamu nggak hamil sama sekali."

Anin tak bicara apa pun lantaran merasakan sedih yang teramat. Dia hanya bisa mengikuti permintaan Atlas untuk membawanya ke rumah sakit.

🌷🌷🌷

"Gimana hasilnya, Dok? Istri saya hamil atau enggak?" tanya Atlas penuh ketakutan. Dia terus menatap layar 3D itu.

"Iya, Pak istri anda hamil. Ini katung janinnya terlihat sangat jelas. Istri anda sudah hamil delapan Minggu."

"Apa? Nggak mungkin dok. Istri saya nggak mungkin hamil. Coba dokter cek sekali lagi."

"Lho, kok Bapak ini aneh. Dimana-mana suami itu bakal senang kalau istrinya hamil. Ini kok malah sebaliknya."

Anin sejak tadi hanya memilih diam. Kecewa, marah dan sakit hati. Semuanya berpadu menjadi satu. Anin tak bisa menjelaskan bagaimana sakit yang dia rasakan sekarang ini.

Setelah pemeriksaan selesai dan dokter menyatakan bahwa kandungan Anin baik-baik saja dan meresepkan beberapa vitamin untuk penguat kandungan mereka pun kembali pulang ke rumah.

Sepanjang perjalanan tak ada yang membuka obrolan sampai akhirnya Anin kembali bersuara.

"Kamu boleh gak cinta sama aku, Mas. Tapi anak ini, anak ini nggak berhak kamu tolak. Dia nggak salah apa-apa."

"Kamu pasti senang kan dengan kehamilan kamu itu. Karena dengan kamu hamil, kamu bisa tetap jadi istri aku."

"Mas, apa yang salah kalau aku tetap berharap jadi istri kamu? Kita pernah sepakat untuk aku berusaha bikin kamu mencintai aku. Barangkali ini adalah cara Tuhan supaya kamu bisa mencintai aku, Mas. Allah hadirkan anak ini."

Atlas mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Mas, dia bisa ngerasain kalau dia ditolak sama ayahnya. Bagaimana pun, dia darah daging kamu, Mas. Bagian dari diri kamu."

"Aku nggak tau, Nin. Aku nggak siap."

"Mas harus lebih banyak lagi belajar. Aku nggak bisa nyerah sekarang. Aku nggak mau kita pisah. Dulu mungkin aku bisa relain kamu, Mas. Tapi sekarang kondisinya udh beda. Ada anak yang harus aku prioritaskan. Aku nggak mau bikin di ada dan tumbuh dalam keluarga yang gak utuh. Aku gak mau anak aku jadi anak yang terlahir dari keluarga yang rusak."

Atlas tak bergeming

"Alina pun udah nggak ada. Jadi udah seharusnya Mas fokus untuk terima aku."

Anin menarik tangan Atlas dan menyimpannya di perut yang datar

"Anak ini butuh kita, Mas. Dia itu hal yang paling berharga. Dia nggak salah, Mas. Kamu jangan tolak dia."

Mata Atlas terpejam. Dia meras semakin sulit.

"Ini terlalu mendadak Anin."

"Mendadak seperti apa lagi, Mas? Sudahlah... Aku mohon sama kamu, Mas. Belajar untuk benar-benar mencintai aku, aku mohon..."

Anin terisak, dua bahunya mulai naik turun karena menangis.

"Lupain Alina, Mas. Aku mohon, lupain masalalu kamu, gimana pun dia udah milih pergi, itu artinya dia minta kamu untuk melanjutkan kehidupan kamu yang sekarang."

Atlas masih diam

"Aku mohon sama kamu, Mas. Aku mohon, tolong belajar mencintai aku, tolong anggap aku sebagai istri kamu. Aku mohon semohon-mohonnya sama kamu, Mas."

"Aku bakal kesulitan, Nin. Ini nggak mudah."

"Mas pasti bisa asal Mas mau. Pelan-pelan aja, pelan-pelan belajar mencintai aku. Setidaknya mencintai aku sebagai ibu dari anak kamu, Mas."

Atlas memejamkan matanya dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Apakah dia harus betul melupakan Alina dan menerima Anin sepenuhnya? Apakah dia sanggup melupakan Alina dan mengganti perempuan pemilik taktha tertinggi di hatinya itu dengan Anin? Perempuan yang terlah dinikahi dan perempuan yang akan menjadi ibu dari anaknya?

Apakah ia mampu melakukannya? Sungguh, ia sendiri bahkan tidak yakin





Dear Atlas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang