Bab 8 Surat Undangan

2 0 0
                                    

"Baiklah, Yu karena Bapak mau rapat dan sudah di tunggu di Balai desa jadi untuk penjelasan rupanya lain kali dilanjutkan yah, dan bapak minta kamu bersiap-siap untuk ikut ke Balai Desa. Bapak ingin masyarakat mengetahui kalau ada mahasiswa yang peduli pada seni ronggeng. Mudah-mudahan dengan kehadiranmu seni ronggeng bisa kembali berjaya di Desa Cikalong," ujarnya. Ayu pun segera bersiap untuk ikut ke Balai Desa dengan hati yang kecewa.

Sementara di tempat Alea. Gadis tinggi semapai itu tinggal di tempat Kepala Desa, kesenian yang Alea teliti juga sama kondisinya dengan seni ronggeng yang ada di Desa Cikalong. Alea sedikit kesulitan mencari nara sumber untuk bahan penelitian.

"Nak, Alea ada satu orang sesepuh yang bisa di mintai keterangan, namanya Pa Eman rumahnya di Cipepetek. Sebaiknya Nak Alea datangi. Katakan saja Pak Kades yang menyuruh," ujar Pak Kades stelah Alea menjelaskan sasaran penelitian yang harus dia lakukan.

"Kamu, bisa pake motor Bapak, nanti di anter sama anak Bapa. Kebetulan hari ini dia libur," ujarnya lagi. Sungguh Alea sangat beruntung mereka sangat baik hingga mempasilitasi kegiatan Alea.

"Iyah, Pak terimakasih, saya jadi merepotkan Bapa," jawab alea.

"Tidak apa-apa justru Bapak merasa senang seorang mahasiswa ada yang peduli pada kesenian yang justru di tempat asalnya sudah dilupakan dan nyaris musnah.

"Sinta, kau antar Kak Alea ke rumahnya pa Eman, mudah-mudahan beliau sedang ada di kampung," titah Pak Kades pada anak bungsunya.

"Teteh bisa bawa motor?" tanya Sinta.

"Bisa Sin, cuma kalau bisa sinta saja yang bawa yah," usul alea.

"Boleh tẻh, ayo mau sekarang apa nanti?" Sinta memberi usul.

"Sebentar, teteh ngambil dulu tas yah!" Alea merasa aneh anak-anak di desa Margacinta baru SMP sudah pada mahir menunggangi motor, sementara dirinya walau bisa jarang memakai motor kalau tidak kepepet. Di kota Bandung jalanan selalu macet jadi sulit sekali kalau kemana-mana pakai motor. Alea lebih suka jadi pelanggan angkutan kota. Lebih aman pikirnya.

Setelah Alea mengalungkan tasnya. Sinta pun segera menghidupkan motor yang sudah ada di depan rumah. Kedua gadis berbeda usia pun segera meluncur menuju ke rumah Pak Eman yang kata pak Kades banyak mengetahui kesenian Badud.

Saat tiba di depan rumah pak Eman tampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian nuansa hitam.

"Maaf ibu apa ada yang meninggal?" tanya Sinta.

"Ini neng Sinta putranya Pak Kades kan? Iyah Neng baru saja Pak eman meninggal mendadak katanya sakit perut tapi baru saja mau di bawa ke puskesmas Pak eman sudah tidak ada." Jawab seorang ibu-ibu yang membawa tas jinjingan yang di isi beras dan serantuy kopi.

"Innalillahi WainaIlaihi Rojiun, semoga Pak Eman khusnul hitimah," ucap kedua gadis.

Alea bingung, kemana lagi mencari data bahan penelitian sementara orang yang di rekomendasikan Pak Lurah malah meninggal dunia.

"Sebentar Sinta, teteh mau taziah dulu yah." Ada rasa kecewa namun tak bisa apa-apa takdir Tuhan siapa yang tahu.

Alea pun segera masuk dan menyalami keluarga almarhum. Semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing tak ada yang menyadari kalau alea orang asing di tempat itu. Setelah mengucap doa dan memberikan amplop kedua gadis pun undur diri.

"Tẻh, teteh tẻh mau nyari informasi kesenian Badud bukan?" tanya Sinta sambil menatap Alea.

"Iyah, Sin Cuma sayangnya Nara Sumbernya malah di ambil oleh Sang Pencipta, entah harus kemana lagi teteh nyari data,"

"Tẻh kesenian Badud, sudah menjadi kesenian yang harus dilestarikan, walau di kampung nyaris musnah, namun di sekolahku kesenian itu dijadikan ekstrakurikuler. Kali saja tẻh, guru eskulnya tahu tentang seluk beluk Badud." Usul Sinta.

"Ah betulkah, artinya di sekolahmu sering ditampilkan bukan?" tanya Alea sukacita.

"Iyah Cuma setahun sekali kalau sedang pawai di hari kemerdekaan," jawabnya. Baru saja Alea turun dari motor terdengar seseorang berkata.

"Tidak malu, apa dibonceng sama anak kecil, mahasiswa, di mana pikirannya," seorang lelaki berbadan tegap yang baru saja tiba dengan mengendarai ninza, tiba-tiba menyindir Alea. Alea memutar badan mencari sumber suara, saat kedua netra bertemu laki-laki itu menatapnya tajam. "Eu,tapi Sinta sangat mahir membawa motornya," jawab Alea.

"Tapi kamu tahu kan aturan lalulintas, Sinta itu masih di bawah umur," ujarnya, kemudian berlalu tanpa melihat ke Alea.

"Dia kakak Sinta, jangan diambil hati, yah tẻh," Alea mengangguk merenungi apa yang barusan laki-laki itu ucapkan, memang ada benarnya.

***********************************************************

Sementara Rafael segera ke campus untuk mengumpulkan data persiapan membuat disertasi dan makalah yang harus diterbitkan di jurnal nasional sebagai syarat mencapai gelar doktor.

"Pak, Rafael maaf tadi ada surat undangan untuk seminar seni dari Balai Bahasa," ujar Wiwin bagian tata laksana di Fakultas seni.

"Oh, taruh saja di mejaku,"jawab Rafael sambil berlalu. Wiwin yang sudah hapal sifat Rafael tak banyak bicara segera masuk ke ruangan, menyimpan surat undangan di mejanya. Gadis berbody bohay itu sudah lama menyimpan rasa suka pada lelaki itu namun tak pernah sekalipun mendapat respon. Alih-alih mendapat respon yang ada seringkali merasa sakit hati karena dipandang sebelah mata.

"Kertas apa ini ko ada di bawah," ujar Wiwin sambil berjongkok meraih sesuatu yang dikira kertas tergeletak tak jauh dari Meja.

"Ngapain kamu ada di sini? Berani-beraninya kamu ngambil barang dari mejaku, keluar!" usir Rafael yang tak ingin ada orang tahu aktifitasnya.

"Maaf, Pak saya kan disuruh bapak untuk menyimpan surat undangan," jawab Wiwin.

"Sudah disimpan kan? Tunggu apa lagi!" hardik Rafael semakin kesal.

"Iyah, Pak ma'af," jawab gadis dengan fostur tubuh tambun sambil berlalu.

"Awas saja suatu hari aku akan menaklukanmu, dasar si kulkas dua pintu, aku kira sebentar lagi mencair tetap saja sedingin eskimo." Rutuknya.

"Kalau saja aku tidak menaruh hati, sudah gak betah aku kerja di sini, bosan aku dengan sikafnya yang kaku dan pelit senyum itu."

Sepeninggal Wiwin Rafael menatap foto yang tadi direbut dari tangan Wiwin, untungnya Wiwin tak sempat melihatnya. Ia tatap dengan seksama, ujung telunjuknya menyusuri foto gadis yang akhir-akhir ini mengusik hatinya.

"Kamu harus bisa!" cicitnya. Rafael teringat surat undangan seminar yang barusan Wiwin simpan. Tanpa melepas foto segera meraih surat undangan dan membukanya.

"Apa ini nyata? What? Seminar seni tradisional di hotel Biru Laut di Pangandaran." Dosen yang terkenal pelit senyum itu membolak-balik surat undangan dan berkali-kali membacanya.

"Bagus, aku bisa mengunjungi gadis itu, dan aku bisa sedikit membantu mengarahkannya agar sesuai dengan keinginanku, hhm," gumamnya, senyum mahalnya terukir sempurna di bibirnya yang seksi. Rafael meneliti surat undangan tertera nama seseorang yang sangat dia kenal. Segera mengambil ponsel dan mengirim pesan. Senyum puas menghiasi bibir tebalnya saat sebuat notif terdengar.

"Yes," ujarnya sambil mengepalkan tangannya tanda puas.

"Tidak usah mencarinya dia yang akan datang ke tempat seminar," gumamnya. Senyum smirk menghiasi bibir tebalnya.

#ParadeMumtazBatch1

#TantanganMenulisNovel

#Jumkat995

#Day8

Titisan Nyai RonggengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang