Bab 26 Kembali ke Kampung halaman

1 0 0
                                    

Kembali ke Kampung Halaman

Ponis pengadilan tidak membuat gadis tambun itu sakit hati, ia dengan tulus hati menerimanya karena dia menyedari kalau memang kelakuannya sudah berlebohan namun ponis dari suaminyalah yang membuat hati Wiwin meradang dan perlahan bernanah. Seusai bebas dari tahanan, Wiwin harus rela menerima kenyataan karena lagi-lagi gugatan datang kembali, kali ini gugatan datang dari pengadilan agama. Rafael menggugat cerai Wiwin yang baru beberapa bulan menjadi istrinya. Walau terasa sangat menyakitkan gadis yang masih teramat mencintai suaminya itu akhirnya menerima kenyataan dan kini sudah resmi bergelar j4nd4.

Sementara Ayu sekeluarga yang semula akan segera pindah ke Pangandaran, akhirnya menunggu selesai persidangan baru sebulan kemudian menyusul ayahnya yang sudah lebih dahulu ke Pangandaran.

Pagi ini setelah beres-beres di rumah baru, Ayu berniat pergi ke Desa Cikalong menemui Sartono, Ayu merasa kangen dengan mereka. Ia meninggalkan ibu dan Neneknya di rumah dinas milik kantor Ayahnya.

Semilir angin menerpa pucuk-puncuk ilalang di sepanjang jalan menuju perkampungan, melambai bagai mengajak untuk kembali. Sementara kicau burung bersahutan di pohon-pohon yang rindang yang menaungi jalan, menyambut kehadiran sang penerus penari ronggeng yang kini kembali ke kampung halaman.

Kehadiran Ayu menjadi penyambung nyawa kehidupan sebuah grup tayuban. Gadis itu disambut bahagia oleh segenap kru rombongan, secara kebetulan Sartono sedang merasa bingung menghadapi satu persoalan. Grup tayubannya mendapat tawaran untuk mengikuti lomba namun hatinya merasa belum percaya diri kalau musti terjun ke arena lomba.

"Tẻh ayu, betulkah ini Tẻh ayu, Ya Allah alhamdulilah. Tẻh Ayu mau lama kan di sininya?" tanya Sartono merasa takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. Saat melihat ayu turun dari grab.

"Insyaalloh lama, kenapa memangnya?" tanya Ayu penasaran. "Lagi latihan Yah, Mang Tono?" tanya Ayu. Entah kenapa gadis yang di tubuhnya ada khodam sosok Nyai Ronggeng itu merasa seperti menemukan harta karun yang hilang ratusan tahun yang lalu. Jiwanya membuncah penuh kebahagiaan saat kembali mendengar suara gamelan pengiring tarian ronggeng. Jiwanya seakan kembali hidup dan bercahaya.

"Bu, ini Tẻh Ayunya diberi dulu minum, kasian mangka jauh dari Bandung," Sartono mengingatkan istrinya. Tidak lama kemudian Kuswati datang dengan segelas minuman dingin berwarna coklat lalu menaruhnya di atas meja satu-satunya yang ada di ruangan bale-bale tempat latihan menari.

"Terimakasih, Bi engkus, apa kabar? Saya kangen sama bibi, kangen sama liwet dan sambalnya hehehe," ujar Ayu terkekeh kemudian menyalami Kuswati.

"Tẻh Ayu semakin cantik saja, setahun tidak bertemu rasanya lama sekali, bibi senang akhirnya tẻh Ayu kembali ke sini. Bibi kira Tẻh Ayu bakal melupakan kita," ucap Kuswati tatapannya menyapu wajah Ayu yang menurut pandangannya Ayu kini semakin terlihat cantik.

"Bibi, apa kabar Ines juga Wa Kokom? nanti saya mau mengunjungi beliau," ujar Ayu.

Teringat kembali pada kejadian setahun yang lalu saat pertemuan yang mengaharu biru. Pertemuan keluarga yang terasa tidak mungkin, namun nyata. Setahun ini baik Ayu maupun keluarganya belum sempat kembali menyambangi sodara barunya yaitu anak angkat kakek buyutnya.

"Mereka baik-baik saja, Ines sekarang bekerja di Tanggerang, sementara Ibu Kokom berencana ikut dengan Ines."

"Begitukah, baiklah bagaimana kalau saya ke rumah Wa Kokom dulu sebentar," usul Ayu.

"Boleh, Tẻh nanti kesini lagi yah kita latihan bersama lagi," harap Sartono pada Ayu. Gadis itu menganggukan kepala, senyum manisnya terkulum di bibir mungil Ayu.

Setelah minum tẻh dingin, Ayu pun segera pamit untuk menemui Kokom yang rumahnya tidak jauh dari rumah Sartono.

Setibanya di depan rumah yang tampak lengang Ayu segera mengetuk pintu.

Tok tok tok

"Assalamualaikum," beberapa kali ayu mengucap sala baru terdengar sahutan dari dalam. Saat melihat siapa yang datang wajahnya langsung sumringah senang.

"Walaikumsalam, Alhamdulilah ada keponakan uwa Kokom, kapan datang Nak Ayu? Wa Kokom kangen pisan sama kamu, kenapa kamu jarang berkirim pesan ke Uwa? Apa kabar ibu dan ayah juga Nenekmu?" tanya Kokom seakan takut Ayu keburu pergi.

"Ayo, masuk dulu, duduk dulu, kenapa Uwa jadi lupa malah bertanya dulu," ujarnya. Ayu tersenyum penuh arti, lalu menyalami uwaknya, mencium punggung tangannya takzim.

"Wa, alhamdulilah kabar Ayu baik, ayah baik, ibu juga nenek baik." Ujar Ayu setelah duduk di kursi tamu.

"Wa, Ines kemana?" tanya Ayu, walau dia sudah tahu tapi ingin mendengar langsung dari Uwaknya. Tampak riak kesedihan di mata Wa Kokom.

"Ines bekerja, alhamdulillah dia diterima di perusahaan ternama di Tanggerang. Uwa disuruh nyusul kesana. Semenatara bagaimana disini, rupanya Tuhan mendengar doa Uwa, sekarang kamu datang jadi ada yang ngurus peninggalan kakek buyutmu.

"Terus apa kamu datang sendiri ke Cikalong? Kenapa ibumu tidak diajak, ada yang ingin Wa Kokom diskusikan berkaitan dengan warisan dari kakek buyut, Wa Kokom tidak mau kalau warisan bagian Nenekmu dipegang terus sama Uwa, karena sekarang mah kan sudah jelas kakek buyut mempunyai anak selain ibunya Uwa. Jadi Wa Kokom sudah berembug kalau rumah dan beberapa sawah juga kebun akan di serahkan kepada Nenekmu. Sebaiknya Nenekmu kamu ajak kesini Yu,"

ujar Wa Kokom. Terlihat sekali kejujuran di setiap ucapannya. Ayu hanya manggut-manggut. Gadis itu hanya tidak menyangka kalau Kakek buyutnya bukan orang biasa Ia meninggalkan banyak sekali harta dari mulai rumah, sawah kebun dan penginapan. Pantas saja rumah Uwaknya beda dari rumah yang lainya. Rumah Kokom sangat besar dan terkesan mewah dibanding rumah warga yang lainya.

"Nih dengerin kamu juga harus tahu, kalau kakek buyutmu itu meninggalkan kekayaan yang tidak sedikit, selain dua rumah yang ada di kampung sini ada dua hotel juga di pangandaran. Dalam wasiatnya satu untuk nenekmu satu lagi untuk uwa. Nah, sebaiknya Nenekmu dibawa yah, kalau misal nanti warisannya mau diberikan padamu juga kan tinggal kamunya yang harus ngurus," tutur Wa Kokom panjang lebar membuat Ayu melongo. Ibarat ketiban durian runtuh itu menurut peribasa salah.

Pembaca pasti tahu kan kalau durian berbuah kemudian runtuh niban kena pembaca bukan untung tapi buntung dan cedera berat tertusuk duri-duri durianlah.

"Begitu yah, Wa?" jawab ayu.

"Iyah, berkaitan dengan wasiat dari kakek buyut kalau nenekmu berhak juga.

Eh tapi ngomong-ngomong tumben kamu datang ke Cikalong? Sama siapa ke sininyah?"

"Wa, Ayah Ayu dipindah tugas kerja kebetulan ke Pangandaran, nah aku sama ibu juga Nenek ikut Ayah. Untuk sementara Ibu meninggali rumah dinas sebelum mengontrak rumah. "

"Yah, sudah nanti kalau kamu kembali Wa, ikut sekalian membicarakan isi wasiat kakek buyut." Ujarnya.

"Iyah, Wak. Sekarang Ayu mau ikut latihan dulu sama Mang Tono yah," jawab Ayu.

"Rupanya darah kental Nenekmu mengalir dalam darahmu, Ayu. Kamu persis seperti cerita yang selama ini beredar. Sosok Nyai Ronngeng yang jadi primadona di masa lalu kini menjelma kembali dalam dirimu," Ayu hanya tersenyum tak menyanggah, kenyataan memang Ayu rasakan kalau dirinya sangat senang dan bahagia menjadi seorang penari.

Ayu pun segera beranjak meninggalkan kediaman Kokom untuk kembali bergabung mengikuti latihan ronggeng. Betapa jiwa Ayu menjadi berbunga-bunga kala suara gamelan mulai diperdengarkan, lantunan suara Meiwani mampu menghidupkan rasa yang kian membuncah memenuhi dadanya.

Saat Sartono mengajaknya menari soder, Ayu dengan sigap turun ke kalang untuk menemaninya. Gerakannya masih lincah dan terkesan semakin anggun dan berwibawa.

Sementara para ronggeng yang lain hanya menatap Ayu iri, Ia yang lebih dulu menjadi ronggeng kenapa tidak mengalami keajaiban seperti yang gadis ini alami, pikirnya.

#ParadeMumtazBatch1

#TantanganMenulisNovel

#Jumkat912

#Day26

Titisan Nyai RonggengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang