7

85 12 0
                                    


"Apa apaan kamu Alstar?" Kecewa mami Alstar.

"Kenapa kamu menyetujui pertunangan ini jika kamu hanya akan menyakitinya? Kamu benar benar membuat keluarga kita malu" ucap papi Alstar.

"Alstar gak ada niatan gitu pi, Al cuma mau memperbaiki diri, Al mau minta kesempatan buat al bisa memperbaiki diri dan menjadi kepala keluarga yang baik" jelas Alstar dengan panik, meski sebenarnya ia juga tidak yakin dengan alasannya yang menerima ajuan pertunangan itu.

"Kesempatan? Aku pernah memperjuangkan hubungan ini mati Matian dan kau membalas semuanya dengan tangisan, kau sungguh membuatku muak" Yesica berdiri dari duduknya, kemudian pergi begitu saja.

Semua orang yang berada di ruang tamu terkejut mendengar ucapan Yesica, bahkan mereka seolah kaku bak patung yang hanya bisa menyaksikan kepergian yesica tanpa bisa mencegahnya.

Yesica memasuki kamarnya, kemudian berganti pakaian dan duduk di depan meja rias.

"Al? Denger si Alstar manggil dirinya Al kaya familiar" gumamnya sambil menyisir rambut.

"Astaga Al? Yang kemarin kecelakaan itu, harus gua jenguk gak sih?" Gumamnya.

"Gak usah deh, gak penting juga"

Bruk..

Yesica menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, ia lelah ingin rasanya ia beristirahat, mungkin tidur siang selama 15 menit itu sudah lebih dari cukup baginya.

"Tapi kalo gak ada orang tuanya yang tau gimana?" Paniknya seketika langsung terbangun dari tidurnya.

Dengan segera Yesica mengganti pakaiannya, menggunakan Hoodie dan celana pendek, karena sekarang ini musim panas, jadi ia tidak mau bau badan karena kelebihan keringat, meski memakai Hoodie juga sebenarnya bukan pilihan tepat.

Hanya dengan membawa Sling bag yang mungkin cukup untuk ponsel dan uang saja, Yesica langsung mengenakan sepatu dan pergi.

Ceklek..

Seperti biasa Yesica mengunci kembali kamarnya.

"Mau kemana Lo?" Tanya Casper.

Yesica tidak menjawab ia pergi berlalu begitu saja seolah sosok Casper tadi tidak pernah ada di depan kamarnya.

"Gua ngomong sama Lo" kesal Casper yang langsung menarik kasar tangan Yesica agar menghadap kepadanya.

Yesica menatap datar Casper ketika wajah mereka saling berhadapan, melihat tatapan Yesica entah mengapa rasanya ada hal yang berbeda dari kakaknya ini, tapi Casper sendiri tidak tau apa itu.

"Mau kemana Lo?" Tanyanya lagi.

"Lo gak sepenting itu, buat gua kasih tau kemana gua mau pergi" ucap Yesica masih dengan pembawaannya yang tenang namun sorot matanya datar dan tajam.

"Gua adik kembar Lo" kesal Casper dengan semakin mengeratkan cengkeramannya pada pergelangan tangan yesica yang tanpa ia sadari lengan Yesica merah karena itu.

"Rumah sakit, puas?" Ucap Yesica dengan menghempaskan tangan Casper yang tadi menggenggamnya.

.
.
.

"Lo harus bayar semua ini, karena Lo jam istirahat gua berkurang" ucap Yesica pada Al yang masih tenang di alam mimpinya.

Kini yesica duduk di kursi untuk pendamping pasien yang ia bawa ke dekat jendela, karena Yesica Ingin duduk sambil menatap pemandangan kota.

Matanya menatap ke arah jalan raya namun berbeda dengan hatinya, setiap melihat motor sport jiwa nakalnya selalu berkoar koar, bagaimanapun juga Yesica memiliki cita cita sebagai pembalap atau montir, namun sayang neneknya melarang impiannya itu, dengan alasan warisan.

Jika Yesica mau seluruh harta warisan jatuh kepadanya maka ia harus menjadi dokter, maka dari itu Yesica mau menjadi dokter meski terpaksa demi warisan Yesica mau merelakan impiannya, toh jika semua warisan sudah resmi menjadi miliknya ia akan berhenti menjadi dokter dan melanjutkan impiannya.

Licik memang, tapi itulah Yesica.

Tiba tiba senyuman manis terukir di wajah cantiknya, bukankah selama dirinya ada di dunia ini artinya ia bisa mewujudkan impiannya? Ya meski hanya sebentar setidaknya ia bisa bukan?

Ya sudah di putuskan, mulai hari ini Yesica tidak akan membatasi dirinya lagi, toh Yeseline sendiri membolehkan dirinya untuk melakukan apa saja.

"Eci?" Panggil seseorang, Yesica yang mendengar itu langsung menolehkan kepalanya.

"Apa?" Tanya Yesica, tidak seperti di rumah dan di sekolah tadi kini yesica kembali menjadi ceria ramah dan ya sedikit bersahabat.

Ingat sedikit.

"Kamu kemana aja, aku cari cari" ucapnya.

"Sekolah" jawab Yesica.

"Sekolah? Sekolah dimana?" Tanya Al antusias.

"Di Halsted" jawab Yesica.

"Sama aku juga sekolah disana, gimana kalo besok aku jemput?"

"Hahahaha" tawa Yesica pecah begitu saja ketika mendengar ucapan Al yang menurutnya terlalu memaksa.

"Kenapa? Aku serius loh" kesal Al yang merasa jika dirinya tidak dapat di percaya.

Tok.. tok..

Yesica mengetuk dua kali gips yang membalut tangan Al.

"Cih" kesalnya.

"Aku ambidextrous, lagipula bawa mobil pake satu tangan bukan masalah" ucapnya.

"Oke oke gimana besok"

Mendengar persetujuan dari yesica, Al langsung tersenyum dengan lebarnya.

"Gua ke kantin dulu, bye" pamit Yesica.

Lagi lagi tanpa menunggu persetujuan Yesica langsung pergi begitu saja, karena ia perna mendengar sebuah pepatah "jika lapar maka makan" ya itu lah pepatah yang selalu Yesica anut.

Jadi menurutnya jika sedang lapar persetujuan orang lain tidak lah penting, karena yang paling penting adalah makan, makan nomor satu.

Bruk..

Saat pikirannya sedang terfokus pada makanan, ia tidak menyadari jika dari arah yang berlawanan seseorang berjalan dengan tergesa gesa, dan pada akhirnya mereka tidak dapat mencegah kejadian itu.

"Maaf" ucapnya.

Yesica mengangguk, sambil menatap sosok yang baru saja menabraknya, karena sosok yang baru saja menabraknya terlihat begitu familiar dan menggemaskan secara bersamaan bagi yesica.

Belum lagi seragam rumah sakit yang semakin membuatnya terlihat menggemaskan karena seragamnya bermotif bunga.

"Jangan liatin, ini emang seragam perempuan, tapi gambar bunga ini, bunga kesukaan mommy" cicitnya malu.

"Mommy?" Gumam yesica.

"Iya satu Minggu yang lalu, Vincent, mommy, daddy tertimpa musibah, dan hanya aku yang selamat" cicitnya dengan kedua mata yang memerah.

Vincent sendiri tidak tau kenapa tiba tiba mau menceritakannya kepada Yesica padahal mereka baru bertemu bahkan belum ada 15 menit.

"Sini Eci peluk"

Grep...

Yesica langsung menarik Vincent kedalam pelukannya dengan sesekali mengusap kepala Vincent, seolah memberi semangat.




chaos Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang