Beberapa hari berlalu, Jennie akhirnya mampu bernafas dengan lega. Kini bayangan dirinya bertemu dengan sosok yang berpenampilan seperti petugas apartemen perlahan menghilang. Ia pun mulai berhati-hati dengan aturan apartemen. Meski masih merasa ragu, Jennie berusaha untuk tidak melanggar aturan apa pun.
Terkait penyidikan pembunuhan berantai saat itu, Jennie belum mengetahui apakah pelakunya sudah tertangkap atau belum. Ia bahkan tidak berani bertanya langsung kepada petugas kepolisian. Lebih tepatnya, ia merasa malas jika harus bertemu lagi dengan dua orang menyebalkan itu.
Satu hal yang Jennie sadari adalah ia merasa sekelilingnya aman setelah munculnya kedai es teh manis tak jauh dari apartemen secara tiba-tiba. Jennie langsung tahu kalau penjualnya bukanlah penjual teh manis biasa.
Karena merasa bosan ditinggal sendirian, Jennie akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar apartemen. Tak lupa, ia pun mendatangi kedai teh manis yang mencurigakan itu.
"Mau beli apa, neng cantik?" tanya penjual itu dengan ramah saat Jennie baru saja tiba.
"Intel ya, bang?" Melihat ekspresi terkejut dari penjual tersebut, lantas Jennie terkekeh pelan. "Ngga usah pura-pura deh, bang. Saya tau kok kalau abang itu intel." lanjutnya sedikit berbisik.
Penjual itu nampak tersenyum kaku, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, "Si neng ngelantur saja. Mana mungkin saya intel, neng."
Jennie tersenyum licik, ia kemudian memperhatikan penampilan penjual teh itu dari atas sampai bawah. "Mana ada penjual es teh pake jam tangan, baju, sepatu branded kayak abang ini? Lagian, saya juga sempet liat abangnya di kantor polisi waktu itu."
"Neng, saya—,"
"Tenang, tenang. Rahasia abang aman sama saya, okay?"
Jennis kembali terkekeh saat melihat penjual itu terdiam untuk kedua kalinya, "Saya cuma mau tanya sesuatu, ada gelagat mencurigakan ga dari suami saya?"
"Selingkuh?"
Jennie hampir saja tersedak ludahnya sendiri saat mendengar pertanyaan itu, "Ih, bukan! Maksudnya, ada kemungkinan suami saya pelakunya ga?"
"Kalau suami si neng cantik, sepertinya tidak. Tapi seseorang yang selalu bersamanya, mungkin bisa jadi pelaku."
°°°°°
Siapa orang yang selalu bersama Wonwoo?
Setahu Jennie, tidak ada. Pria itu selalu sendirian.
Tidak ada siapapun yang selalu pergi bersama Wonwoo dari apartemen, kecuali Jennie sendiri. Tunggu, apa polisi yang menyamar itu baru saja membodohinya?
"Sialan emang."
Jennie mengernyit saat mendengar bel apartemen tiba-tiba berbunyi. Jelas itu bukan Wonwoo. Hari masih siang, sedangkan Wonwoo selalu pulang malam.
Jennie kebingungan, ini pertama kalinya ada yang membunyikan bel apartemen sejak ia pindah ke sana.
Dengan penuh keraguan, Jennie berjalan mendekat ke arah pintu, lalu mengintip melalui lubang kecil di pintu. Tunggu, apa yang dilakukan detektif menyebalkan itu di luar apartemennya?
"Nona Jennie, cepat keluar."
Karena penasaran, Jennie pun segera membuka pintu tersebut. "Ada apa?"
"Ada seseorang mencurigakan berlari kemari. Nona yakin tidak melihatnya?"
Jennie menggelengkan kepala, "Dari tadi saya ada di dalem unit kok."
Jennie menyadari adanya tatapan tak percaya dari detektif Changkyun. Namun, ia sudah mengatakan yang sebenarnya. Bahkan ketika ia berjalan-jalan beberapa saat yang lalu pun ia merasa tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Lalu, apa yang harus Jennie katakan lagi?
"Sumpah, beneran. Saya ga bohong." kata Jennie kembali mencoba meyakinkan detektif Changkyun.
Tanpa disangka, pria itu malah memberikan kartu namanya dsn berkata, "Jika ada yang mencurigakan, segera laporkan, sekali pun itu suami anda sendiri, nona. Laporkan secara diam-diam."
°°°°°
Jennie termenung meskipun televisi di hadapannya sangat menganggu telinga. Pikirannya melayang memikirkan perkataan detektif Changkyun, juga polisi yang menyamar itu. Mengapa mereka tampak yakin kalau Wonwoo adalah pelakunya?
Maksud Jennie, bukankah seharusnya mereka punya minimal satu bukti untuk meyakini Wonwoo-lah pelakunya? Atau, mereka masih sedang mencarinya?
Jennie terlonjak saat Wonwoo itu tiba-tiba saja duduk di sebelahnya. Hampir saja gadis itu melemparkan remot yang ada di tangannya.
"Kenapa?"
"Apanya?" tanya Jennie bingung.
"Kamu kenapa belum tidur?"
Jennie menatap Wonwoo dengan serius, yang ditatap pun mengerutkan kening seolah bertanya ada apa.
"Jujur aja deh." ucap Jennie setelah banyak pertimbangan, "Sebenernya, aku curiga sama kamu. Lebih tepatnya, aku pengen tau isi dari kamar itu."
Kamar yang Jennie maksud adalah kamar yang hampir ditempatinya. Pasalnya sejak pertama kali mereka tinggal di sana hingga saat ini, kamar itu tak pernah Wonwoo buka sekali pun.
Jennie pernah berinisiatif meminta kunci kamar itu kepada nyonya Jeon, namun siapa sangka ibu mertuanya itu justru kebingungan dan mengatakan jika ia tidak tahu apa pun. Itu artinya, tidak lain dan tidak bukan Wonwoo- lah yang memang sengaja mengunci kamar tersebut. Tapi, untuk apa?
"Nanti ya."
"Kapan?"
"Yang pasti ga sekarang. Aku mau ke kamar duluan."
Setelah mengatakan hal tersebut, Wonwoo pun segera bangkit dan meninggalkan Jennie dengan ribuan pertanyaan di kepalanya. Ada apa dengan pria itu?
Lalu, apakah yang dikatakan detektif dan penjual teh manis abal-abal itu mungkin benar?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Hell In Heaven
Mystery / Thriller❝ Kayaknya, ada yang salah dari apartemen ini. ❞ *RE-PUBLISH 「Jenwoo (Jennie, Wonwoo) ft. 96 line」