12. Apa ini?

1.1K 33 6
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak.

Semangat membaca!!

Keesokannya harinya, tepat di hari minggu. Terlihat Azka sibuk menelpon seseorang di balkon rumahnya. Ia terlihat sangat serius terdengar marah. "Bukannya itu tidak sulit, hanya memasukan nama adikku di daftar waris keluarga Baskara dan semuanya selesai?!"

Azka mengerutkan kening, urat kepalanya mendadak timbul saat balasan orang yang menghubungi di ponsel tidak sesuai ekspektasi. "Mengurus beginian saja kalian tidak becus?"

Alana yang terus mendengar suara kakaknya yang begitu nyaring tanpa di sadari ikut mengintip di balik dinding. Mendengar semua percakapan kakaknya lewat telepon. "Ada apa dengan namaku?" gumamnya di kesendirian.

"Saya harap nanti akan mendapatkan kabar baik secepatnya. Kalau tidak departemen kalian akan saya tuntut atas ketidakbecusan mengurus dokumen-dokunen klien." Azka langsung menutup ponselnya dengan cepat. Lalu mulai bersandar di pembatas balkon dengan wajah yang masih ditekuk.

Alana yang sedang dibalik dinding merasa kalau kakaknya memiliki masalah, apalagi menyangkut namanya. Seketika, ia berjalan mendekati daerah balkon dan menyentuh bahu Azka dengan lembut. "Kakak?"

Azka melirik ke arah samping lalu menatap wajah Alana dengan senyuman tipis. "Alana?"

"Kenapa? Ada apa?" tanya gadis itu.

Azka mengeleng perlahan sambil melemparkan pandangan lagi ke arah depan balkon. Menatap jalanan perumahan yang sepi. "Susah sekali memasukan namamu di daftar wa--" ucapannya langsung terhenti seketika.

Alana mengangkat satu alisnya karena kebingungan dengan apa yang dimaksud Azka. "Daftar apa?"

"Bukan apa-apa," balas Azka lagi sambil mengusap rambut Alana perlahan, lalu menyentuh telinganya sekilas.

Entah mengapa, aku merasa janggal. Alana membatin sambil tersenyum ramah menatap kakak semata wayangnya itu.

Azka hendak merogoh rokoknya yang berada di dalam saku celana, tetapi ia baru menyadari keberadaan Alana, oleh karena itu dia tidak jadi untuk Mengambilnya. Aku lupa, dia ada di sini.

"Apa yang harus kita lakukan hari in--"

Sebelum Alana menyelesaikan ucapannya Azka langsung menarik gadis itu di dalam dekapannya. Seketika pemuda itu memeluk erat Alana sambil menunjuk ke arah bawah, tepat di jalanan yang kosong. "Apa itu?"

Jantung Alana masih berdetak karuan karena Azka menariknya begitu cepat. Tak khayal, ia terdiam kaku sambil melirik ke arah bawah di mana jari telunjuk Azka terarah.

"Kucing kawin pagi-pagi." Azka sontak tertawa lebar di sana, saat berhasil menjahili adiknya. Bahkan, dia semakin mempererat pelukannya di sana.

"Hah? Iya!" Alana yang tadinya tertegun ikut tertawa bersama Azka. Sungguh pemandangan lucu di pagi hari itu.

Azka perlahan menghentikan tertawaan lebarnya lalu membenamkan wajah di sekitar leher Alana. Sekilas ia menyentuhkan bibirnya berulang kali di kulit mungil itu.

"Geli." Alana tertawa semakin keras karena Azka menyentuhnya, seketika ia langsung berusaha lolos di pelukan kakaknya itu. "Lepaskan, Alana mau masak dulu!"

Azka terus menahannya di sana sambil tetap diposisi awal. Ia berusaha menenangkan Alana sambil mengusap perlahan pucuk kepala gadis itu. "Tetaplah seperti ini sebentar, Lana," pujuknya sambil menempelkan dagu di leher Alana secara lembut.

Alana terkekeh, tidak biasanya pria itu melakukan physical touch dalam jangka waktu lama. Bahkan, gadis itu mengurangi Azka tidak akan melakukannya kecuali di saat-saat tertentu seperti menenangkan Alana ketika sedih dan takut. "Katanya kalau sudah dewasa tidak boleh manja. Kakak malah begitu," cerca gadis itu lagi.

Azka terkekeh karena termakan oleh omongannya sendiri. “Sesekali, rasanya sudah lama Kakak tidak memelukmu.”

“Kakak terlalu sibuk, sih.” Alana membalas sekilas lalu memanyunkan bibirnya.

“Demi kamu, Alana. Demi kamu apapun aku lakukan.” Azka mempererat pelukannya lagi, seolah-olah tidak ada hari yang akan dilewati lagi di esok hari.

Alana menyentuh kedua lengan Azka yang melingkari lehernya. “Terimakasih karena sudah mau menjaga, Alana.”

Namun, hal tidak disangka-sangka terjadi di beberapa hari ke depan. Dimana Alana mengetahui sesuatu yang seharusnya ia tahu sejak lama.

Alana meringkuk di lantai sembari menutup mulutnya dengan kuat. Menatap beberapa kertas formulir yang berada di tangannya dengan kornea mata yang bergetar hebat. Sungguh, ia tidak bisa menahan airmatanya lagi untuk tidak mengucur deras di pelupuk matanya.

Isak tangis Alana semakin keras saat ia melihat bait demi bait dari tulisan formulir yang ia baca. Ia tidak bisa berkata-kata lagi saat melihat sosok Azka yang berdiri di hadapan pintu dengan wajah yang bingung.

“Kamu kenapa, Lana?” Azka yang baru membuka pintu langsung berlari mendekati Alana dan ikut menjongkok di sana dengan wajah panik.

“Bisa Kakak jelaskan ini?” Alana langsung memberikan kertas-kertas penting itu dan menempelkannya keras-keras ke dada Azka.

Azka langsung menelan ludah kasar karena sepertinya ia sudah tahu apa yang terjadi. “Alana, Kakak--” Azka berusaha mencapai bahu sang adik dan ingin memeluknya. “Itulah mengapa Kakak sering melarangmu untuk ke kamar Kakak.”

Namun, Alana langsung menepis tangan Azka dengan kuat dan bergeser dirinya agar duduk lebih jauh dari sang kakak. “A-aku, aku... bukan adik kandungmu, 'kan?”

Azka mendelik dan menatap Alana dengan wajah cemas, bibirnya tiba-tiba terasa kaku karena sepertinya rahasia keluarga mereka akhirnya terbongkar. Seketika, ia terduduk lemas dengan kaki terbujur serta mulai memegang kepalanya dengan kedua tangan. “Kakak bisa jelaskan... Kakak mohon berhentilah menangis,” pujuknya dengan nada frustasi.

“Alana hanya anak adopsi, 'kan?” Alana menarik napas berat sebelum berkata lagi di sela-sela isak tangisnya. “Makanya, Kakak bertingkah aneh baru-baru ini. Karena Alana bukan adik kandung Kakak, 'kan?”

“Alana, Sayang?” Azka langsung mendekati Alana lagi dengan tatapan dalam. “Itu tidak mengubah kasih sayang Kakak ke Alana.”

Alana mengusap airmatanya berulang kali sambil menatap wajah Azka dengan tatapan menyedihkan. “Selepas ini ... apakah Alana akan dibuang?”

“Bagaimana bisa Alana berpikir seperti itu.” Azka secara perlahan meraih tangan Alana yang melemas. “Alana tetap menjadi adik Kakak terlepas dari ada hubungan darah atau tidak. Kakak mohon, percayalah, ya?” pujuknya lagi sambil menempelkan tangan Alana ke pipinya.

“Alana tidak dibuang?” Alana bertanya lagi dengan suara yang terdengar lebih jelas karena ia sudah mulai berhenti menangis.

“Siapa yang tega membuang gadis semanis dan secantik Alana?” Azka mencium telapak tangan Alana dengan lembut lalu menatap gadis itu dengan senyuman yang terlihat tulus. “Sampai kapanpun Alana tetap menjadi bagian dari keluarga Baskara.”

“Janji?” Alana menatap Azka dengan penuh harap di sela-sela isak tangisnya yang mulai mereda.

Azka langsung mendekap tubuh gadis itu di dada bidangnya dengan erat. “Janji.”

Alana akhirnya terkekeh di dalam pelukan Azka. Seketika ia ikut mendekat tubuh hangat pria itu dengan helaan napas panjang.

Azka melirik ke arah formulir yang berserakan dengan wajah yang kembali datar. “Tidak ada yang bisa mengubah fakta apapun kalau Kakak sangat menyayangimu.”

Alana mendongak ke arah Azka dengan perasaan lega dan mata yang sepenuhnya sembab.

“Sudah tenang?” Seketika Azka kembali tersenyum saat melirik ke arah Alana, lalu mengeratkan pelukannya lagi. “Alana milik Kakak selama-lamanya,” ujarnya sembari mengeluarkan tatapan tajam dan senyuman licik di ke arah lain.

.
.
.
.
.

Vote dan komen jika anda menyukai cerita ini!
Gua lanjutin karena bentar doang writer block-nya.

LUST/LOST CONTROL 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang