6. Menahan diri 🔞

4.4K 47 2
                                    

Jangan lupa vote dan komentarnya!
Selamat membaca!

Perempuan itu memakai kembali stoking dan pakaiannya. Memandang ke arah Azka yang sedang merokok di atasan ranjang tanpa mengenakan busana dan hanya tertutup oleh selimut sebatas perut.

"Kamu memang suka bermain peran?" ungkap wanita itu hampir selesai memakai pakaiannya kembali dan mulai berjalan ke arah meja dimana tas kecilnya berada.

Azka tidak menjawab pertanyaan wanita yang menjadi one night stand-nya. Dia hanya menatap dinding dengan pikiran yang terus menerus menerawang.

Wanita itu terkeleh sambil memasang lipstiknya kembali di bibirnya secara perlahan menghadap cermin bulat berdiameter 21 cm itu. "Bermain peran kakak-adik? Itu lucu, tapi sedikit aneh. Apakah kamu menyukai adikmu sendiri? Kandung, sepupu, atau angkat?"

"Jika sudah selesai, enyahlah dari sini!" perintah Azka sambil mengisap rokoknya terakhir kali sebelum mematikan benda itu di atas asbak dekat laci meja dengan kasar.

Wanita itu berlengak lengok di depan Azka sebelum mencium pipi pemuda itu sekilas
"Kamu berlagak ketus pagi ini, berbeda saat kamu sedang mabuk. Namun, aku lebih suka sifat aslimu. Kalau mau kita bisa menjadi partner sex?" Lalu ia berucap kembali dengan suara lirih di telinga Azka. "Kamu juga... besar."

"Anda bau alkohol." Azka sedikit menjauhkan wajah agar wanita itu tidak terus mencium pipinya. "Saya tidak melakukan itu dua kali dengan orang yang sama. Partner sex? Anda terlalu membosankan untuk jadi mitraku," lanjutnya lagi sambil menghapus bekas lipstik dengan kasar di wajahnya sendiri.

"Astaga, pria arogan!" Tamparan keras mulai dilayangkan wanita itu ke pipi Azka yang menyebabkan memar di sana.

Azka tidak membalas melainkan bersikap acuh tak acuh saat wanita itu naik pitam dengan dirinya. Pemuda itu hanya turun dari kasur untuk mengambil sesuatu di dalam dompet miliknya. Ia mengeluarkan beberapa lembaran uang berwarna merah.

"Ini uang untuk ongkos pulang," Azka langsung menyodorkan uangnya kepada wanita yang sudah sepenuhnya marah padanya. Bahkan, ia masih tidak peduli dengan tubuhnya yang tidak mengenakan apapun.

Wanita itu semakin murka, wajahnya memerah karena harga dirinya terasa diinjak-injak. Ia bukannya tidak mempunyai uang, dia juga adalah pelanggan tetap di pub ini dan tentunya bukan wanita panggilan. "Sial, aku bukan pelacur! Jika aku tahu kau akan sekurang ajar ini, aku tidak akan mendekatimu. Wajah saja yang tampan, tapi hatimu busuk!"

Wanita itu berjalan cepat keluar dari kamar motel sembari menjinjing sepatu hal tingginya dengan wajah yang sepenuhnya di tekuk. Ia langsung keluar sambil menutup pintu kamar mereka dengan keras.

Tidak lama kemudian, notifikasi dari ponsel Azka muncul. Terlihat banyak pesan chat yang masuk menanyakan keadaan Azka dan tentu saja itu berasal dari adik semata wayangnya, Alana.


Alana:
Kakak sudah pulang?

Azka:
Belum, mungkin
sebentar lagi....

Alana sudah pulang
dari rumah Maya?

Alana:
Belum, Alana lagi ...
di hypermart.

Azka:
Kalau sudah
selesai langsung
pulang, ya?

Alana:
Siap, Bos!
(mengirim emoji
hormat
dan
emoji cinta)

Azka tersenyum lebar saat melihat balasan dari adiknya. Setelah itu, dia mengambil handuk dan berjalan ke arah kamar mandi hotel sebelum check out.

**
Beberapa hari berselang kemudian, Azka sibuk di kamarnya sambil mengambar sketsa baru untuk lukisannya. Ia sangat serius mengerjakan itu di ruangan tertutup dan hanya mengandalkan cahaya terang dari lampu belajar yang ia punya.

Ia membuat sketsa dari bentuk tubuh manusia, tetapi tidak terlalu lengkap, hanya potongan-potongan dan coretan seperti bibir, lengkuk tangan, siluet pinggul dan lain-lain. "Kira-kira berapa lingkaran pinggangnya?"

Saking lamanya Azka berkutat dengan pensil dan kertas membuat Alana yang berada di ruangan tengah merasa bosan sendirian.

Dia memutuskan untuk memotong buah apel dan membagikannya kepada Azka. Alana tidak lupa mengetuk pintu sebelum memasuki kamar kakaknya. "Kakak boleh aku masuk? Aku membawakan apel kelinci untukmu."

*maksud Alana, apel yang dibuat bentuk telinga kelinci.

"Oh... iya, Alana. Masuklah!" Azka langsung membalik kertas itu dan berpura-pura mengambar tumbuhan dan alam secara abstrak di kertas lain.

Alana mulai mendekat dan menaruh piring kecil putih di atas meja kerja kakaknya. Sorot matanya tanpa sadar melihat ke arah sketsa yang Azka baru saja buat. "Baru kali ini Alana melihat sketsa yang akan Kakak lukis. Sangat terlihat cantik, meskipun abstrak aku bisa melihat siluet tumbuhan di sana."

Azka mengubah posisinya ke arah samping di mana Alana berdiri. Dia mulai melingkarkan tangannya di pinggang sang adik sambil menempelkan kepalanya di sana. "Lana selalu memuji Kakak akhir-akhir ini, apa ada yang Lana inginkan?" candanya sesaat setelah mendongakkan kepala menatap gadis itu.

Alana terkekeh karena merasa geli saat kakaknya memeluk perutnya lagi. Ia refleks menunduk menatap wajah Azka dan mulai memainkan tangannya di pipi pria itu sembari mencubitnya dengan keras. "Hei, apa maksud dari perkataan Kakak? Mengapa Kakak bisa berpikir kalau Alana ingin meminta sesuatu?"

Azka meringgis, tetapi tetap bisa terkekeh di sana. "Ya, karena akhir-akhir ini Alana sedikit bertingkah aneh. Kakak tidak berpikir tentang hal lain selain itu."

Alana mengangkat kepalanya sambil melihat ke arah lain sekilas. "Bolehkah Alana mencium Kakak? Jika, Kakak tidak mau melakukannya, Alana yang akan melakukannya."

Azka langsung melepas dekapan di perut sang adik dengan cepat. "Sudah Kakak bilang kalau Alana sudah dewasa dan tidak bisa mendapatkan ciuman lagi."

Alana langsung duduk di atas pangkuan Azka dan menghadapnya dengan wajah kesal. "Bisakah dewasanya diundur setahun lagi saja? Alana belum siap!"

Mata Azka membulat karena merasa pantat Alana menempel di pahanya. Ia tidak bisa berbuat apa selain menahan rasa gugup yang tiba-tiba muncul ke permukaan. "Jika itu bisa, Kakak akan membuat Alana tetap berumur 5 tahun selamanya!" ucapnya sambil tertawa dengan kikuk. "Lalu Kakak akan mencium dan mengigit pipi Alana terus menerus sampai bengkak! Hahaha!"

Alana memonyongkan bibir sambil memeluk erat kepala kakaknya di lehernya. "Apa bedanya melakukan hal itu kepada Alana sekarang? Kita adik kakak kandung, 'kan?"

Azka langsung tersentak dan tanpa sadar menikmati aroma tubuh adiknya di sekitar leher. Matanya terpejam sekilas sambil merasakan betapa segarnya rambut basah adiknya itu. Mungkin saja, ia terhanyut lebih dalam jika tidak berusaha waras sekarang. "Lana, kamu sangat berat itu bedanya sekarang."

"Hah?" Alana langsung menangkup pipi pemuda itu dengan kedua tangannya. Menatap Azka dengan wajah keterkejutan dan penuh tanda tanya. "Jangan bilang kalau Alana gendut?"

Azka tidak bisa berbicara jelas saat Alana meremas mulutnya. "Byuukan ithuu."

Alana langsung turun dari pangkuan Azka secara mendadak dan hendak berjalan lemas keluar kamar. "Okay, Kakak tidak sayang Alana lagi. Alana sudah gendut dan tidak lucu, tidak bisa dimanja dan dicium lagi. Malang sekali nasibku ini...."

Azka panik karena Alana mulai bertinfkah lagi lalu dengan cepat menahan lengan adiknya. "Iya, iya, boleh cium pipi!"

.
.
.
.
.
.
.

Lagi mood aja nulis ini, karena di antara book gua yang lain, gua paling suka sama yang ini. 🐊

LUST/LOST CONTROL 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang