17. Jangan pergi 🔞

1K 31 1
                                    

Alana perlahan keluar dari kamarnya untuk mencari keberadaan Azka sembari memastikan apakah kejadian semalam benar adanya.

Alana terkejut bukan main saat melihat Azka sedang sibuk meminum kopi di ruangan tengah, sedangkan tangannya yang lain fokus membuka lembaran-lembaran buku di atas pahanya.

Azka terlihat santai sekali. Seolah-olah semuanya tidak pernah terjadi.

Detak jantung Alana semakin cepat saat menyadari bahwa Azka sudah mulai menatapnya dengan wajah serius.

“Kenapa?” tanya Azka menoleh sekilas sebelum melanjutkan acara membacanya.

Alana perlahan mendekati Azka lalu duduk di sofa di mana pria itu sedang berada. Mereka duduk berdampingan sekarang.

Meskipun begitu. Alana merasa canggung untuk menanyakan kebenaran tadi malam. Namun, jika dia bungkam lagi, tidak akan ada penyelesaian yang ada hanyalah sebuah kecanggungan dan pertanyaan yang besar.

"Kakak, mengapa Kakak melakukan itu semalam?”

Azka yang mendengar itu langsung menutup mendadak bukunya, lalu menatap Alana dengan wajah yang dibuat heran.  “Melakukan apa?”

“Eugh....” Alana mengigit ujung kukunya karena gugup. “Berarti itu mimpi.”

Azka tersenyum tipis di ujung bibirnya karena tahu apa yang sedang dibicarakan oleh Alana. Hanya saja, dia hanya ingin melihat reaksi dari semua jawaban yang pemuda itu berikan.

“Itu bukan mimpi. Aku melakukannya.”

Alana semakin terkejut karena jawaban Azka langsung to the point. Tidak ada penyangkalan di sana, apalagi ekspresi pria itu tidak ada bukti bahwa ia melakukan sebuah kebohongan. Alana sudah hafal dengan gelagat Azka ketika berbohong.

“K-kenapa?”

Azka mendadak berdiri. Dia mulai beranjak menuju pintu depan rumah sambil membawa long coat biasanya.

Alana masih tidak puas dengan jawaban Azka. Apalagi ia tidak menjawab pertanyaan terakhir. Gadis itu langsung memilih langkah baru untuk mengejar pria itu. “Mau kemana?”

“Pria ini sedang gila. Dia tidak tahu apa yang sedang dia lakukan.” Azka menjawab pertanyaan Alana sesaat setelah memutar gagang pintu depan rumah mereka. “Aku akan tinggal di studio untuk beberapa waktu. Aku ingin mewaraskan pikiran.”

Alana menarik, ujung baju Azka sambil menatapnya dengan tatapan cemas bercampur dengan wajah ketakutan. “Jangan pergi.., Kak!”

Azka menunduk sedikit ke arah Alana lalu berkata, “Memangnya kamu tidak takut? Aku sudah melakukan hal tidak senonoh padamu.”

“Aku ingat perkataanmu semalam, di sela-sela membawaku ke kamar.” Alana menatap Azka dengan wajah dibuat setegar mungkin. “Kamu menciumku karena aku bukan karena membayangkan orang lain, apalagi Jasmine.”

“Itu kamu tahu.” Azka kembali memutar gagang pintu yang tertahan tadi.

“Aku ingin melakukan apapun yang kamu mau! Aku mohon, jangan pergi! Aku benci sendirian di rumah!” Alana berteriak di sana sambil menahan baju Azka sekuat tenaga.

“Alana?” Azka melirik gadis itu dengan ekspresi tidak berubah, masih tanpa ekspresi.

Aku tidak tahu... aku hanya berdoa kepada Tuhan agar kakak tidak akan meninggalkanku dan berada di sisiku selamanya. Namun, bukan ini yang aku maksud....

“Aku akan melakukannya!” Alana mengangguk sambil mengertakan gigi.

“Kamu terpaksa.” Azka tahu bahwa Alana memaksakan diri. Ia menghela napas, lalu mulai menunduk untuk mengambil sepatu miliknya di rak.

Alana kembali terserang cemas yang berlebihan. Entah mengapa rasanya sangat berbeda sekarang. Tidak ada hubungan saudara lagi, semuanya sudah hancur.

Azka masih sibuk memasang sepatunya di sana. “Aku akan pulang jika sudah baik-baik saja. Tenangkan dirimu, jika takut bawa saja teman seberapa banyak terserah.”

Alana merasa tidak karuan. Jantungnya semakin berdetak cepat, seolah-olah Azka benar-benar akan meninggalkannya akhir ini. “Bukan terpaksa! Aku hanya tidak terbiasa."

Alana ikut menjongkok, memegang bahu Azka lagi. “Aku tidak butuh orang lain! Aku butuh Kakak!”

“Kumohon jangan pergi. Kalau tidak aku akan membuka pakaiaku di sini,” ucapnya dengan nada hampir putus asa dan hampir menangis.

Azka meletakkan sepatunya kembali ke arah rak dengan kasar lalu menatap Alana dengan tatapan tajam. Sebelumnya, ia tidak pernah melakukan itu kepada gadis itu, pemuda itu selalu tersenyum cerah setiap kali memandang Alana. “Kalau begitu, lepaskan,” perintahnya dengan serius.

Kakak... kamu terlihat seperti orang lain.

Alana berdiri lagi, ia memintal ujung bajunya sebelum membuka semua pakaiannya di sana. Gadis itu menahan semua rasa malu hanya untuk mengikuti semua perintah Azka.

Dia selalu teringat ketika sedang melakukan pekerjaan sesuai dengan perintah Azka. Alana akan mendapatkan pujian dan usapan lembut di kepala. Maka dari itu Alana langsung melakukannya tanpa banyak alasan.

Alana mulai terisak saat melepaskan semua pakaiannya di sana. Ia memandang Azka untuk menunggu reaksi dari pemuda itu.

Azka mulai berdiri lagi sambil memegang kedua lututnya lalu mendekat ke arah Alana. Ia mendekat dengan perlahan, tetapi seluruh tubuh Alana bergetar, bercampur ketakutan dan sensasi tidak biasa.

Azka melihat tubuh telanjang Alana dengan ekspresi yang sama. Tidak terlihat ketertarikan sama-sekali. Mungkinkah dia hanya berpura-pura atau bertindak waras?

Azka mulai menyentuh pipi Alana dan mengusap kepalanya beberapa kali. “Good girl.” Setelah berkata seperti itu, Azka langsung berjalan ke arah kamarnya tanpa melakukan hal lain kepada Alana. “Aku tidak akan pergi.”

“Kamu tidak mau melakukannya?” tanya Alana dengan gugup. Wajah gadis itu memerah karena Azka memuji dan menyentuh kepalanya dengan lembut.

Azka menghela napas panjang sebelum menjawab, “pikirkan dulu. Aku tidak bisa melakukan dengan orang yang terpaksa dan tidak siap. Setidaknya, longgarkan dirimu. Ini pertama kali, 'kan?”

Alana mengigit ujung kukunya lagi lalu mengangguk disertai dengan jawaban. “Iya.”

Azka menjawab lagi. “Pikirkan matang-matang.”

Setelah merasa cukup. Pria itu langsung menuju ke arah kamarnya lalu menutup pintu di sana, ia bahkan tidak menoleh ke arah Alana.

.
.
.
.
.
.

Vote jika anda menyukai cerita ini!

LUST/LOST CONTROL 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang