21. Pergi 🔞

478 29 5
                                    

Alana berdiri di kamar mandi yang luas, dikelilingi dinding-dinding marmer putih yang memantulkan kilau lampu redup di atasnya. Uap lembut dari air yang baru saja dimatikan masih menyelimuti ruangan, meninggalkan jejak samar di cermin besar di depannya. Di sudut, wastafel porselen berwarna gading terlihat anggun dengan peralatan mandi tertata rapi di atasnya. Lantai dingin berlapis ubin hitam mengilap terasa menusuk telapak kakinya yang basah, membuatnya sedikit menggigil.

Tirai mandi transparan di sisi kiri berayun perlahan, sisa-sisa gerakan air yang mengalir belum lama ini. Kamar mandi itu begitu sunyi, hanya terdengar tetesan air yang jatuh dari shower ke lantai. Alana menatap cermin, mengusap wajahnya yang masih basah, perasaannya campur aduk.

Tiba-tiba, tanpa suara, pintu kayu berwarna gelap terbuka pelan, dan Azka masuk. Ia tidak mengetuk atau memberi peringatan, tapi kehadirannya langsung terasa. Cahaya dari luar mengintip sesaat sebelum pintu kembali menutup, dan udara di dalam kamar mandi terasa sedikit lebih sempit. Alana menegang, namun tetap diam di tempatnya, merasakan hawa hangat tubuh Azka yang mendekat di belakangnya.

Azka mendekat, bayangannya kini terpampang jelas di cermin di hadapan Alana. Dia mengulurkan tangan, menyentuh pelan pundak Alana, membuat gadis itu tercekat sesaat. “Alana?” panggilnya dengan suara lirih.

“Kenapa?” Alana bertanya sambil berusaha menjaga suaranya agar terdengar tidak gugup.

Napas Azka terdengar tersekat-sekat pada saat ini. “Air keran di kamar Kakak mati,” balasnya setelah beberapa kali bernapas di leher jenjang Alana.

Sebenarnya, itu hanya alasan agar dia bisa bertemu Alana dalam kondisi seperti ini.

“Alana belum selesai, tunggu dulu di luar, ya?” tawar Alana karena masih ada sedikit bekas sabun cuci muka di wajahnya yang belum tersapu bersih  oleh air.

“Tidak.” Azka mencium secara mendadak leher Alana lalu mengerakkan tangan-tangan besarnya ke arah dada gadis itu. “Kakak beberapa hari lagi akan ke London buat pameran. Apakah Alana mau ikut?”

Alana mendongak perlahan dengan tangan yang sedang berusaha menahan tangan Azka. “A-Alana sudah menjawab k-kemarin, kan? Alana ada kesibukan di kampu—ughh, please stop, Kak. Geli....”

“Alana?” Azka mencium-cium leher gadis itu berulang kali dengan cepat seolah-olah ada suatu dorongan kuat yang menyuruhnya seperti itu.

Alana hendak menolak Azka, tetapi tubuhnya berucap lain. “Aaah....” Erangannya tiba-tiba muncul saat Azka berhenti di daerah tubuh bagian atasnya dan memainkan benda kenyal di dalam kaus tipis sejarinya.

Azka terus memainkan tangannya di sekitar perut dan bagian dada Alana secara lembut. “Kapan ia menjadi sebesar ini?”

“Alana sudah besar, tentu saja dia ikut—ACK!” teriak gadis itu karena Azka mulai menekan puting miliknya. “Sakit,” ujarnya lagi sambil meremas lengan sang kakak dengan sekuat tenaga.

Azka terkekeh aku memanggil dengan suara rendah, “Alana?”

“Kenapa manggil terus?” Wajah Alana memerah sepenuhnya karena permainan tangan pria itu cukup membuat tubuhnya kembali panas dingin.

Azka mulai mencium leher Alana lagi berulang kali. “Alana mau?” tanyanya di sela-sela melakukan itu.

Alana bertanya dengan wajah bingung. “Mau apa? Ke London? Sudah Alana bilang kalau Alana ada ujian.”

Azka berhenti bergerak dan menjawab dengan serius. “Maksud Kakak yang itu.”

“Bukannya Kakak sedang melakukannya sekarang?”

“Yang lebih.”

“Maksudnya?” Alana terlihat seperti tidak mengetahui maksud Azka.

“Ah, tidak mood.”

Azka melepas pelukan dan mengeluarkan tangannya dari kaus milik Alana, lalu mulai keluar dari kamar mandi tanpa mengatakan apapun lagi.

Alana dengan cepat menoleh lalu bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. “Kakak belum mencuci muka dan gosok gigi, kan?”

Azka terlanjur keluar dari kamar mandi dan tidak menjawab apapun.

Alana refleks melemaskan tubuh dan menopang kedua tangan di atas wastafel sambil menatap diri sendiri di pantulan cahaya cermin. “Aku kira dia lupa.”

Selama ini Azka tidak pernah melakukan 'itu' dalam artian penetrasi. Dia selalu melakukan sesuatu yang tipis-tipis saja seperti berciuman dan menyentuh bagian sensitif Alana.

Namun, Alana selalu menghentikan Azka di tengah-tengah dan mereka tidak pernah melakukannya sampai akhir. Azka selalu mengerti dan mengalah. Mungkin hari ini dia tidak bisa menahannya lagi makanya bertingkah seperti itu.

Beberapa hari berlalu, suasana di rumah keluarga Baskara terasa lebih hening dari biasanya. Azka, yang biasanya sibuk di studio melukis atau menikmati tarian di malam hari, kini tampak sibuk di kamar, mengemasi barang-barangnya. Ia menarik napas panjang setiap kali tangannya menyentuh satu demi satu pakaian yang telah disusun rapi di lemari.

Di sudut kamar, Alana duduk di atas kursi kecil, memperhatikan dengan tatapan sendu. Kedua tangannya dengan cekatan melipat pakaian yang akan dimasukkan ke dalam koper. Setiap kali ia merapikan sesuatu, sejenak ia menatap wajah Azka yang tampak serius, seperti sedang menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kepergian ini.

Azka secara mendadak menyeletuk saat menutup kopernya. “Seperti biasa. Jika Alana bosan, Alana boleh ajak Maya ke rumah.”

Alana duduk di kasur Azka lalu menahan kedua tangannya ke belakang dengan duduk sedikit condong, sedangkan kakinya yang lurus bergerak berulang kali dengan santai. “Baik.”

Azka mengangkat koper dan membuatnya berdiri lalu melirik Alana sekilas. “Serius Alana tidak mau ikut?”

Alana mengeleng cepat dan menghentikan gerakan kakinya yang sejak tadi bergerak gontai. “Alana akan pergi jika tidak ada kesibukan, tapi Alana sekarang sedang sibuk jadi tidak bisa.”

“Alana mau oleh-oleh?” Azka berjalan menuju kasurnya lalu duduk di samping Alana.

“Tidak usah. Kakak pulang saja dengan selamat dan jangan nyangkut di manapun itu,” ujarnya, suaranya terdengar ringan, tapi ada keambiguan dalam kalimat itu yang membuat Azka terdiam sejenak.

Azka mengernyit bingung, lalu tawa pecah dari bibirnya, renyah dan hangat. "Kakak bukan sampah di sungai, mana bisa nyangkut!" Balasnya sambil tertawa lepas. Dia tidak bisa menahan geli mendengar cara bicara Alana yang sedikit tidak jelas, meski sepertinya mengandung arti yang lebih dari sekadar ucapan biasa.

Alana mendongak, seolah terkejut mendengar reaksi itu. Namun senyum kecil masih menghiasi wajahnya. Ia tahu Azka selalu bisa membuatnya merasa lebih ringan di saat-saat yang sulit. “Kakak faham maksud Alana,” lanjutnya, suaranya kali ini lebih lembut, lebih serius. Ia tahu, di balik candaan dan lelucon ringan itu, ada perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

“Iya, Kakak faham,” Azka mengangguk dengan senyum yang sama. “Kakak hanya mencairkan suasana dengan candaan kecil.”

Keheningan kembali menyelimut mereka sejenak, hanya terdengar suara detak jam dinding yang berdetak pelan, seiring dengan detak jantung mereka yang entah kenapa terasa lebih cepat dari biasanya.

.
.
.
.
.

Vote jika anda menyukai cerita ini.
















Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LUST/LOST CONTROL 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang