11. Pembohong ⚠️

2K 40 4
                                    

Azka memundurkan wajahnya, mendorong perlahan Jasmine ke samping sofa dengan wajah yang masih tidak berekspresi. "Pulanglah, aku tidak mood."

Jasmine mengangkat alisnya dengan wajah sangat kesal. Ia bahkan, menjual harga diri sepenuhnya Azka. Tetap saja, pria itu dengan tekadnya tidak akan melakukan itu lagi dengan Jasmine. "Apa yang salah denganmu? Kamu impoten?!"

Azka langsung melotot ke arah Jasmine yang terus menerus berbicara tak masuk akal kepadanya. Wanita itu cukup menganggu aktivitasnya sekarang. "Keluar dari sini sekarang! kalau tidak aku akan memanggil polisi!" tunjuk Azka ke arah pintu masuk yang masih setengah terbuka.

"Bajingan gila!"Jasmine naik pitam, sepenuh wajahnya memerah karena baru kali ini Azka membentak dan mengusirnya, dia langsung mengambil long coat-nya di sandaran sofa lalu pergi dari sana dengan langkah cepat.

Seketika Azka memukul sandaran sofa dengan kuat sebelum menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terlihat sangat prustasi, hampir saja terbujuk oleh ular maut itu.

Beberapa hari kemudian, Azka memilih untuk pulang sebentar ke rumah karena ia ingin melihat kondisi Alana dan hendak beristirahat juga. Tidur di studio membuat tubuhnya terasa sakit. Dia bahkan kekurangan nutrisi makanan dan sinar matahari karena terus menerus di dalam tempat tersebut.

"Alana, Kakak pulang!" Azka membuka pintu rumahnya lalu masuk ke dalam sambil menaruh sepatunya di rak seperti biasa. Setelah itu, dia baru masuk ke dalam sana sambil memasang wajah yang ceria.

Alana menoleh ke arah Azka sekilas, lalu kembali memandang ke arah televisi yang menyala, ia sedang menonton variety show sekarang.

"Di sana ternyata," tutur Azka sambil mendekati Alana dengan senyuman lebarnya. Seketika ia duduk di samping gadis itu sambil menghela napas panjang karena sedikit lelah dalam perjalanan. "Alana, Kakak pulang...." Azka menyentuh perlahan bahu mungil gadis itu karena dari tadi tidak ada reaksi dari sang adik.

Biasanya, Alana akan tersenyum lebar ketika kakaknya datang dan berlari cepat ke depan pintu sambil memeluk erat pria itu. Namun, tidak kali ini, dia tidak bereaksi apapun. Bahkan, ketika adegan komedi terputar di televisi dia bergeming dan tetap dengan wajahnya yang datar.

Azka memiringkan kepalanya sambil mengayunkan telapak tangan ke depan wajah gadis itu. "Alana, kamu kenapa?"

Alana menghela napas singkat, lalu mengambil remote kontrol dan mematikan televisi. Setelah itu, dia langsung beranjak berdiri dan berjalan meninggalkan Azka sendiri di sana dengan wajah yang masih kebingungan.

Azka ikut berdiri dan mengikuti Alana dari belakang, dia hendak mencapai tangan Alana, tetapi tidak bisa karena gadis itu berjalan begitu cepat. "Adikku Sayang, kamu kenapa? PMS? Badmood?"

Alana tidak peduli dan tetap bersikap cuek, ia langsung masuk ke dalam kamar sambil menutup pintu kamar dengan keras. Meninggalkan Azka sendirian di depan kamarnya.

Azka mengerutkan kening sambil memegang kepalanya. Dia menatap pintu kamar Alana dengan wajah yang sepenuhnya terlihat bingung. Berpikir keras apa yang terjadi sebenarnya mengapa gadis itu bersikap acuh terhadapnya.

Azka menyentuh gagang pintu kamar Alana dan memutarnya. Sesuai dengan perkiraannya, gadis itu tidak pernah mengunci pintu kamar miliknya. Seketika pemuda itu berjalan perlahan sambil mengalihkan pandangan ke arah Alana yang sudah duduk membelakanginya di atas kasur. "Alana?"

Alana tidak bergerak dan hanya menutup tubuhnya dengan selimut. Menatap hardcore kasur dengan wajah datar dan kesal.

Azka duduk di tepi kasur sambil berkata, "Maafkan Kakak karena lama sekali pulangnya, pameran di London akan berlangsung sebentar lagi dan Kakak harus menyelesaikan mereka secepat mungkin. Alana marah, ya sama Kakak? Apakah Alana sendirian di rumah? Memangnya Maya tidak mau nginap di sini?"

Alana mengambil bantalnya dan melempar keras ke arah Azka. "Pergi sana, main saja sama Jasmine!"

"Maksudny--" Azka terkejut karena bantal itu mengenai bahunya. Seketika, dia mengambil dan memeluk erat bantal tersebut dan menutupi mulutnya dengan benda tersebut. Bahkan, bau tubuhmu sangat wangi di sini...

"Katanya, tidak suka wanita itu. Dia hanya teman, teman ciuman, ya?" Seketika Alana menutup mulutnya dengan kedua tangan karena tidak sengaja mengatakan apa yang dilihatnya.

Azka melotot dan memandang punggung belakang Alana dengan wajah keterkejutan. "K-kamu melihatnya?" Bicarany mulai gelagapan seperti tertangkap basah oleh kekasih sendiri. "Sejak kapan?"

Alana menghela napas berat. "Bahkan, dia tidak menyangkal."

"Itu bukan yang kamu pikirkan, Kakak--" Azka tidak tahu ingin berkata apa. Dia mulai menyatukan kemungkinan bahwa kebisingan kemarin di luar studio sebenarnya berasal dari Alana. "Maafkan, Kakak."

Alana mendengkus seketika, lalu mulai berbaring sambil menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, meringkuk di sana dengan kekesalan yang ada.

Sebenarnya, gadis itu tinggal sendirian di sana. Maya hanya menginap dalam beberapa hari karena orang tua Maya tidak mengizinkan anaknya untuk berlama-lama di rumah orang, meskipun Alana dan anaknya sudah kenal lama.

Azka mendekati gadis itu lagi, lalu merangkak ke atas tubuh Alana dengan wajah serius. Dengan lembut ia menyingkap selimut Alana dari atas lalu menatap gadis itu dengan wajah sendu dan sedih. "Apa yang harus Kakak lakukan agar Alana tidak marah lagi?"

Alana tidak bisa terus menerus mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tanpa sadar, matanya bertemu dengan Azka yang sudah terlihat begitu menyedihkan, mirip anak anjing yang kehujanan. "...."

Azka tersenyum tipis diujung bibirnya. "Apa Alana mau dicium juga?"

Alana mendelik, menatap Azka dengan mata yang berkedip cepat beberapa kali. "Alana sudah besar," timpal gadis itu sambil menutup wajahnya dengan selimut.

"Sebenarnya, Alana tidak suka Jasmine kenapa? Apakah Alana takut punya kakak ipar?" Azka perlahan bergerak mundur lalu duduk di samping kasur Alana lagi.

Alana tidak menjawab apapun karena memang Azka sudah tahu jawabannya.

"Apa Alana tidak ingin punya keponakan? Mereka lucu dan mereka akan menemani Alana ketika Kakak sibuk bekerja. Bukannya itu mengemaskan?"

Alana langsung membuka selimutnya dengan cepat lalu menatap Azka dengan sinis. "Aku tidak membutuhkan kakak ipar dan keponakan. Kakak sudah cukup jadi keluargaku! Yang kubutuhkan hanya Kakak saja bukan orang lain!" amuk gadis itu ke arah Azka.

Azka mengerutkan keningnya sambil menahan senyum akibat Alana yang merajuk seperti itu. "Apa Alana yakin?"

Alana mengangguk cepat dengan wajah seriusnya. "Iya, aku hanya membutuhkan Kakak sebagai keluarga, hmmph!"

Azka menghela napas ringan sambil merentangkan tangan. "Ya sudah, Kakak tidak akan seperti itu lagi. Peluk Kakak, ayo? Tidak rindu, ya?"

Alana langsung bangun dengan cepat dan memeluk Azka secara mendadak sampai pria itu sedikit terjungkal ke arah belakang, tetapi mendadak ditahan. "Jangan bertemu dengan Jasmine lagi. Janji?"

"Iya, Kakak janji." Azka mendekap erat gadis itu di dalam tubuhnya. Seketika ia meletakkan dagunya dan menempelkan bibir secara perlahan di bahu mulus Alana dengan tatapan yang berubah tajam dan sepenuhnya mencurigakan. "Alana satu-satunya kelurga Kakak ...
selama-selamanya."

.
.
.
.
.
.
.

Ayam goreng di dalam panci
I love you, Reader.

Jangan lupa vote dan komen!!

LUST/LOST CONTROL 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang