9. Sesuatu yang disembunyikan

1.9K 30 2
                                    

Jangan lupa tekan vote dan komen 'next'
Selamat membaca!

Alana ingin mengetuk pintu untuk memberitahukan bahwa sarapan sudah siap kepada Azka. Namun, sepertinya pintu itu tidak terkunci dan terbuka sedikit di sana.

Tanpa di sengaja Alana bisa melihat aktivitas Azka di dalam kamarnya. Seperti yang tampak di mata Alana, pria itu sedang serius membaca sebuah surat berukuran hvs; terlihat seperti beberapa formulir penting.

Karena merasa diperhatikan Azka langsung menoleh ke arah pintu dengan cepat sambil menaruh kertas itu di bawah laci secara cepat.

Seketika Alana memundurkan wajahnya dan beralih sedikit menjauh dari dari pintu.

Azka mendongak memastikan seseorang di sana. “Alana kamu, 'kah itu?”

“Iya, Kak. Alana... cuma mau... bilang kalau sarapan sudah siap.” Ia berusaha menjawab dengan suara yang ditahan agar tidak terdengar gugup.

Azka menghela napas sekilas sebelum menjawab lagi. Ia juga merasa panik tadi. “Baiklah, Kakak akan keluar sebentar lagi.”

“Iya, Kak.” Alana langsung menghela napas panjang dan berjalan dengan cepat ke arah dapur untuk kembali mengurus sarapan kakaknya.

Beberapa menit kemudian....

"Lana, Kakak harus berada di studio sebelum melakukan pameran di London nanti. Jadi, bisa jadi Kakak tidak akan pulang, mungkin sekitar dua mingguan. Kalau Lana takut di rumah sendiri. Lana bisa ajak Maya tinggal nginap di rumah kita, ya?" Azka mengambil potongan apel yang sudah tersedia di atas meja makan dan langsung menguyahnya secara perlahan.

Alana yang baru saja menyelesaikan aktivitas memasaknya di pagi itu mulai menoleh ke arah Azka lagi dengan wajah yang terkejut dengan tangan yang masih memegang penutup bento bekal kakaknya.

Alana baru menyadari bahwa baru Azka selalu sibuk akhir-akhir ini dan bahkan tidak bisa pulang ke rumah dalam jangka waktu yang lama. Biasanya, pemuda itu akan pulang sesibuk apapun dirinya. "Apakah pelukis terkenal selalu sibuk seperti ini?" Gadis itu mulai melontarkan pertanyaannya setelah menutup bekal milik kakaknya tempatnya dengan kasar. "Apa mereka tidak berpikir kalau Kakak juga harus punya waktu istirahat?"

Azka yang masih sibuk menguyah apelnya ikut mengalihkan pandangan ke arah Alana dengan senyum manis. Ia berharap gadis itu tidak akan merajuk karena ia tidak sering berasal di rumah. "Ah?" Pemuda itu bahkan tidak bisa membalas pertanyaan Alana. Lidahnya terasa kelu untuk menjelaskan bagaimana sibuknya seorang seniman yang namanya mulai dikenal oleh orang-orang.

Alana mendekati Azka lalu duduk di kursi samping pemuda itu. "Kakak?"

"Kakak tidak bisa melewatkan pameran besar ini. Kamu tahu, Kakak hanya punya bakat melukis dan itu cita-cita Kakak menjadi pelukis yang sukses," ujar Azka dengan nada rendah sambil menatap Alana.

Gadis itu menghela napas sambil memiringkan posisinya menghadap Azka. "Alana bukan menghalangi cita-cita Kakak, Alana hanya khawatir saja. Sepertinya, Kakak selalu kekurangan waktu istirahat."

"Kakak janji, setelah pameran ini. Kita akan pergi liburan, terserah Alana mau pergi kemana," balas sang kakak dengan senyuman.

"Serius?" tanya Alana dengan mata yang berbinar-binar.

Azka mengangguk pelan. “Serius.”

Alana langsung memeluk erat Azka tanpa peringatan. Dia melakukannya secara tiba-tiba sehingga orang yang dipeluknya sedikit terdorong ke belakang. “Jaga kesehatan, ya? Alana hanya cuma punya Kakak di dunia ini.”

“Iya....” Azka ikut memeluk Alana secara perlahan sambil menepuk-nepuk pelan bahu sang adik dengan wajah yang rampal berpikir keras.

Beberapa hari berlalu dengan cepat.

Pagi ini, Azka sedang berbaring santai di sofa studionya seperti biasa dengan kebiasaan menerawang pikiran kemana-mana. Wajahnya terlihat sedikit lesu, dengan pakaian yang terlihat lusuh, terlihat seperti tidak diganti. Tampaknya, pria itu tidak sempat untuk merawat diri, bahkan kumis tipisnya mulai bermunculan karena tidak dicukur.

Sekilas ia mengecek isi chat WA-nya, dimana sudah banyak notifikasi bermunculan dari Alana yang menanyakan kabar. Namun, Azka hanya bisa membalas singkat seperti layaknya orang yang sibuk dan tidak sempat membuka isi ponsel.

Sementara Alana yang sedang sibuk menunggu balasan hanya bisa rebahan santai di ruang tamu dengan sahabatnya, Maya.

Seketika gadis itu meletakannya ponsel di dadanya dan ia berbaring telentang di atas sofa sambil memandang ke arah platform putih rumahnya. “Kamu tahu, May. Setelah kepergian kedua orangtuaku. Aku merasa duniaku benar-benar berubah.”

Maya yang tadinya sibuk mengulir layar ponselnya langsung memberikan atensi kepada Alana dengan serius. Dia hanya menunggu kalimat lanjutkan dari sahabatnya itu.

“Aku merasa pegangan hidupku berkurang. Rasanya, mau berjalan saja sangat sulit. Rasanya benar-benar hampa karena ada sesuatu yang terasa hilang dan itu tidak sedikit, tapi banyak.”

Maya mengangguk perlahan, ia berusaha memberikan empati kepada Alana. “Aku faham perasaanmu. Kalau aku di posisimu, mungkin tidak sekuat ini.”

Alana tersenyum ringan, lalu mengubah posisi berbaring menyamping menghadap Maya. “Aku tidak sekuat itu, hanya saja masih ada kak Azka yang menjagaku.”

Maya mengangguk dan membetulkan posisi duduknya di kursi sekilas.

Alana langsung duduk di atas sofa dengan rapi sambil menaruh ponselnya di atas paha yang sudah dirapatkan.“Namun, sekarang... aku rasa, ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak.”

“Mengapa kamu sampai berpikir seperti itu?” Maya mengangkat satu alisnya.

Alana langsung memajukan wajahnya sedikit ke arah Maya dengan wajah tanpa ekspresi, tetapi tampak antusias bercerita. “Sangat aneh. Sungguh.”

Maya ikut tertarik ketika melihat semangat Alana ketika berbicara. “Contoh anehnya dimana?”

“Kakak sekarang terlihat menghindariku.”

“Kamu bilang dia sibuk, 'kan?”

Alana menghempaskan kedua bahunya sebelum bersandar di sofa dengan perlahan. “Aku tahu, tapi rasanya... bagaimana, ya aku mau menjelaskannya. Apakah pelukis terkenal itu tidak ada istirahatnya bahkan hari minggu?” tanyanya lagi ke arah Maya sambil meluruskan posisi duduknya lagi seperti semula.

Seketika Maya menggaruk kepala yang tidak gatal sambil tertawa kikuk. “Aku tidak terlalu faham dengan pekerjaan seniman. Bukannya, mereka memiliki jam kerja fleksibel. Maksudku, mereka tidak terikat waktu kecuali punya deadline karya yang harus dikirim atau diberikan kepada pembeli?”

Ponsel Alana bergetar karena ada notifikasi dari sosmed yang masuk. Itu tak lain adalah dari Azka sendiri.

Alana meremas ponselnya saat melihat balasan chat Azka yang terlihat singkat lagi, lalu menoleh ke arah Maya sambil melanjutkan perkataannya. “Aku tahu itu, tapi ini benar-benar aneh. Kamu tidak tahu rasanya....”

“Mungkin feeling-mu saja, ayolah... jika kamu butuh teman untuk diajak bicara ada aku.” Maya langsung berusaha membuat Alana berpikir positif.

Alana menatap Maya dengan wajah harus. “Terimakasih, May. Kamu satu-satunya yang mengerti aku,” ucapnya dengan suara dilembutkan. “Tapi, ada satu lagi yang membuatku aneh!” lanjutnya lagi dengan nada normal seperti tadi.

“Apa itu?” Maya ikut memajukan wajahnya menghadap Alana karena pembicaraan mereka terdengar seperti gosip dan itu membuatnya sedikit kepo.

.
.
.
.
.

Jangan lupa vote and komen!

LUST/LOST CONTROL 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang