20. Harus

476 17 2
                                    

Alana terkejut saat mendengar suara keras dari ruang sebelah, seolah ada sesuatu yang berat terjatuh. Ia mendengarnya, napasnya tertahan, dan telinganya menangkap bunyi kaca yang hancur berkeping-keping. Ada jeda sesaat sebelum suara berderak itu berhenti, meninggalkan keheningan yang terasa lebih menegangkan.

Gadis itu mendadak berlari keluar kamar untuk mengecek dari mana asal bunyi pecahan tersebut. Ia sedikit shock saat melihat figura dan kaca berserakan di lantai tengah dengan kakaknya yang sibuk memungut pecahan kaca itu.

Figura mereka sekeluarga seketika hancur di sana. Bahkan bingkainya sudah terpatah jadi beberapa bagian.

“Kakak, apa yang terjadi?” tanya Alana mendadak mendekati Azka yang sibuk membersihkan pecahan kaca figura itu.

“Jangan ke sini! Nanti kamu terluka!” Azka menahan Alana dengan tangan yang seolah-olah di tahan di udara. Setelah, melihat Alana menghentikan langkahnya, dia kembali mengambil pecahan kaca itu. “Mungkin pengaitnya tidak kuat lagi dan akhirya lepas...,"  jelas Azka tanpa memalingkan wajah ke arah sang adik.

Alana berdiri sedikit menjauh sambil melihat figuranya satu keluarga tersisih di lantai dengan butiran-butiran kaca kecil yang masih tidak dibersihkan. “Foto keluarga kita....”

Azka mengambil lembaran foto itu lalu menyodorkannya ke arah Alana. “Simpan saja di belakang, nanti baru ganti figuranya kalau Kakak sudah membelikan bingkai baru.”

Alana dengan cepat mengambil foto itu dan berdiri menjauh lagi, menatap gambaran mereka berempat di sana.

Jika ditelusuri lagi, itu adalah foto yang diambil beberapa tahun lalu di mana, Alana masih menginjak sekolah menengah pertama.

“ACK!” Azka tiba-tiba meringis karena jari tangannya terkena pecahan kaca dan menyebabkan darah meleleh ke arah jari jemari tangannya.

“Kakak!” Alana refleks menaruh foto itu sembarangan, lalu berlari ke arah Azka tanpa sadar. Tangannya langsung menyentuh dan melirik ke arah darah pria itu.

Azka tersenyum tipis saat Alana begitu khawatir dengan tangannya. “Tidak parah, kok. Kamu ambilkan kotak P3K saja.”

“Iya!” Alana langsung berlari ke belakang dan mencari benda yang disuruh kakaknya itu.

Azka menepikan semua pecahan kaca dan memasukkan ke dalam tong sampah kecil. Sejenak, dia agak menjauh dari daerah yang kasih tidak bersih sepenuhnya dan duduk sambil memandangi tangannya; darah mengalir deras di sana, tetapi ekspresi pria itu tampak puas.

“Mana tangannya?” Alana datang sambil membawa kotak P3K dan segera mengobati jari Azka yang terluka dengan telaten dan fokus. “Kakak menyuruhku menjauh dan hati-hati, tapi Kakak saja tidak hati-hati,” balasnya dengan suara rendah dengan posisi duduk menjongkok.

Azka bersandar pada dinding dengan kaki yang selojoran, sedangkan tatapannya tidak beralih dari wajah Alana yang fokus kepada jari tangannya. “Kakak saja yang sudah hati-hati bisa terluka, apalagi kamu yang suka ceroboh.”

“Kakak selalu saja pandai menjawab perkataanku.”

“Alana, Kakak tidak mau Alana— terluka sedikitpun.”

Alana menghela napas panjang, lalu mengambil perban dan mengolesi jari Azka yang terluka dengan obat merah. “Iya. Terimakasih banyak, Kakak....”

Azka mengangkat satu alis lalu berkata, “Mengapa menghela napas seperti itu? Lelah dengan Kakak?”

“Kakak selalu mengantikan posisi Alana. Seolah-olah Alana tidak bisa menjaga diri sendiri.”

Azka mulai berucap serius. “Kakak tidak bisa hidup tanpa Alana.”

Alana mengalihkan pandangan ke arah pemuda tampan itu dengan tatapan tajam, sorot matanya bergetar. “Kakak pikir Alana bisa? Tidak mungkin bisa.”

Azka terkekeh saat mendengar Alana yang berucap sama seriusnya. “Kalau begitu, cium Kakak....”

Alana merapikan perban tersebut sambil duduk menempel sedikit di paha Azka. “Masih saja. Anda sedang terluka lho, Bapak Azka Rienza Baskara?”

“Mungkin akan sembuh jika diberi kecupan.” Azka tertawa kecil sambil menunjuk pipi dan bibirnya sendiri secara bergantian.

Alana kesal karena pria itu selalu saja bercanda tidak sesuai tempat. Seketika ia menelan jari Azka sambil memanyunkan bibir. Pria ini makin menjadi....

Azka refleks berteriak dan meringgis lagi, “ACK! Pelan-pelan, Alana....”

Alana melepas jari tangan Azka yang sudah di perban. “Rasain!” ucapnya mendadak berdiri dan meninggalkan pria itu sendirian di sana.

“Alana? Kakak ditinggal?”

.
.
.

“AGHHHHHHH!” Semua benda yang berada di atas meja kerja milik Jasmine berhamburan ke lantai. Tampaknya wanita itu sudah melakukannya dalam waktu yang lama; mengamuk di dalam kamar.

“Mengapa susah sekali mendapatkan hati pria itu? Setelah semuanya aku berikan ke kamu. Sekarang kamu membuangku?!”

“AGHHHH! SIALAN!”

“KURANG AJAR!”

Sang ayah tiba-tiba membuka pintu dan menatap ke sekeliling sebelum bertanya serius kepada anak bungsunya itu. “Ada apa denganmu, Jasmine?”

“Ayah?” Jasmine menoleh ke arah ayahnya dan menatap dengan wajah pasrah. Wajahnya sangat kacau sekarang, sama kacaunya dengan rambut dan pakaian yang dia pakai.

Ayahnya bergerak mendekat ke arah Jasmine lalu memeriksa kondisi anaknya. “Apa yang kamu lakukan? Satu kamarmu berantakan semua.”

Jasmine hendak menangis, tetapi berusaha dia tahan. “pakah Ayah bisa mendapatkan Azka untukku? Aku menyukai pria itu, Ayah!” tanyanya sambil memandang mata ayahnya dengan penuh harap.

“Ayah kira hubungan kalian baik-baik saja?” Pria paruh baya itu terkejut dengan pertanyaan anaknya, karena pada dasarnya dia tidak terlalu mengetahui perkembangan hubungan antara Azka dan Jasmine.

Jasmine mengusap wajahnya berulang kali sampai makeup yang dia pakai rusak dan membuat wajahnya terlihat semrawut. “Siapa yang mengatakan hal seperti itu? Tidak ada! Dia sekarang berubah drastis. Bahkan, dia sudah menolak keras untuk bertemu dengan Jasmine!”

Ayahnya hanya mendengar anaknya berkeluh kesal itu dengan tatapan sedih bercampur bingung. Seketika ia menyentuh kedua bahu gadis itu dan memeluknya dengan erat.

“Apakah Jasmine tidak cantik lagi, Ayah?!” ceteluk Jasmine sembari menangis sesegukan ketika dipeluk erat oleh sang ayah.

Pria paruh baya itu mendongak sekilas menahan airmatanya yang hendak keluar karena mendengar ucapan Jasmine. “Siapa yang mengatakannya? Orang yang menolak anak Ayah tentunya orang itu adalah orang terbodoh di dunia,” ucap pria itu lagi sambil mengusap rambut anaknya berulang kali.

Jasmine melepas pelukan ayahnya lalu menatap pria itu dengan serius. “Lalu bagaimana dengan Azka?”

Pria itu mengusap airmata Jasmine lalu berusaha menenangkan. “Ayah bisa mendapatkannya untuk Jasmine. Ayah bisa melakukannya—”

Jasmine tertegun mendengar jawaban ayahnya, sehingga garis senyumannya mulai muncul. “Ayah janji?”

“Ayah janji.”

.
.
.
.
.
.

Vote jika anda menyukai cerita ini!!









LUST/LOST CONTROL 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang