Naafi sudah tidak punya harapan lagi. Mau sejauh apapun ia mencari, rasanya Naafi sudah tidak tahu lagi untuk apa hidupnya terus berlanjut. Untuk berharap pun rasanya sudah tidak lagi mungkin.
Jadi, setelah sekian kali tidak masuk sekolah, Naafi sudah pasrah saja. Menatap langit-langit kamar rumah sakit yang rutin menjadi pemandangan hidup sejak masih berusia satu hari. Entah apa lagi omongan teman-temannya di sekolah, Naafi sudah tidak peduli.
Rasa takut lama-kelamaan berganti dengan pengharapan agar semua ini segera selesai, meski kesembuhan bukan lah akhirnya. Tidak ada lagi keinginan untuk Naafi terus hidup, meski sejujurnya, Naafi tetap berusaha agar kualitas hidupnya selalu baik. Makanya itu, Naafi mati-matian mengejar prestasi akademik di sekolah, hanya agar dirinya tidak menyesal jika kematian menjemput.
"Sebentar lagi, kamu bisa pulang, kok. Tenang aja." Suara yang sedari tadi hanya sepintas lewat memasuki telinga, kembali terdengar jelas. Menyadarkan Naafi bahwa Karina, bundanya, yang juga berstatus sebagai dokter penanggung jawab pelayanannya, berada di sana. Duduk di kursi kecil tepat di sisi Naafi. Menatap nanar ke kedua netra legam Naafi, yang bahkan tidak tampak sinarnya lagi.
"Kenapa Bunda bisa ngomong gitu? Bunda lihat sendiri. Buat napas aja aku masih dibantu oksigen." Nada suara Naafi ketika berbicara terdengar getir. Ia sendiri bahkan tidak memiliki keyakinan dapat keluar dari rumah sakit dalam keadaan hidup.
"Lagian juga, Bunda nggak ke pasien yang lain? Pasien Bunda bukan cuma aku, 'kan? Jangan mentang-mentang aku anak Bunda, Bunda jadi leha-leha di sini," lanjut Naafi. Tidak sekalipun menatap Karina. Tangan yang awalnya terkepal kemudian melemas. Naafi mungkin masih hidup, tapi ia merasa jiwanya sudah lama mati. Tidak ada lagi senyum terlukis di bibirnya. Naafi tidak lagi seperti dahulu, sejak harapannya masih membantu untuk bertahan.
"Hasil kreatinin aku tinggi, 'kan?" Naafi tertawa pelan. "Ginjal aku ikut rusak sebentar lagi. Udah nggak ada harapan lagi, Bun. Usaha Bunda enam belas tahun ini sia-sia."
Karina tidak langsung bersuara. Ia memilih untuk diam. Membiarkan Naafi mengeluarkan apa yang ia rasakan selama ini. Selebihnya, Karina juga tidak tahu ia harus membalas apa. Karena pada nyatanya, kalimat penyemangat juga tidak berguna bagi Naafi.
"Nggak apa. Aku nggak apa-apa. Aku udah tahu akhirnya bakal kayak gimana." Naafi berusaha tersenyum, meski rasanya tidak sanggup. Wajahnya kaku, entah sudah berapa lama ia tidak menampilkan ekspresi yang penuh arti. "Bunda kalau mau ke pasien lain, nggak apa-apa, kok. Jangan kelamaan di sini, kasian yang lain."
Karina menunduk sesaat. Ia berganti duduk ke sebelah Naafi. Lengannya direntangkan, mendekap tubuh putra satu-satunya tersebut.
"Maaf," gumam Karina lirih. Jemarinya mengusap surai Naafi dengan lembut. "Maaf, Bunda nggak bisa ngasih kesembuhan buat kamu."
Naafi tidak membalas pelukan Karina sedikit pun. Tubuhnya terasa kaku. Kedua tangan yang berada di samping tubuh hendak bergerak, namun seolah ada yang menahan.
"Aku nggak apa-apa," balas Naafi. Dengan lembut, ia mendorong tubuh Karina menjauh. Mengusap lengan perlahan, sebelum meraih buku yang ada di atas nakas. "Aku mau belajar. Bunda bisa pergi."
"Belajar, ya?" Karina bergumam sesaat. Ia tidak juga beranjak. "Sekolah kamu gimana? Ada masalah? Teman-teman kamu ... baik semua, 'kan?"
Naafi lantas terdiam. Tubuhnya tidak lagi bergerak. Teman-teman ... ya?
"Temanku ...." Naafi menggigit bibir bawahnya sejenak.
Apa ia punya seseorang yang bisa disebut teman?
Bukannya hampir seluruh siswa di kelas tidak menyukai Naafi?
Apa setelah ini ... Naafi akan menjadi bahan pembicaraan lagi?
"Temanku baik." Naafi berusaha mengulas senyum. "Bunda tenang aja. Aku punya banyak teman di sekolah. Mereka selalu bantu aku, kok."
"Naafi ...." Karina berucap, tidak serta-merta percaya. Jika memang mereka baik, bukannya seharusnya ada orang yang datang menjenguk? Terhitung, sudah seminggu lebih Naafi tidak masuk sekolah.
"Kalau ada apa-apa, bilang Bunda, ya."
Naafi tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Kesibukan yang Karina jalani membuat keduanya jarang duduk di meja makan bersama. Lagipula, sekalinya bertemu, Naafi tidak juga berbicara apa pun.
"Jangan diam aja, Naafi."
"Iya, Bun," ucap Naafi pada akhirnya. "Maaf. Bunda bisa pergi sekarang. Aku mau belajar. Aku nggak mau ketinggalan sama teman-teman aku."
Karina tersenyum miris. Mengusap puncak kepala Naafi dengan lembut.
"Kamu nggak akan ketinggalan. Kamu selalu peringkat satu, 'kan?" Karina berucap. Pada akhirnya, ia benar-benar bangkit. Merapikan pakaiannya, sebelum meraih stetoskop yang diletakkan di atas meja. "Bunda ke yang lain dulu, ya. Jangan terlalu paksain diri kamu. Kalau capek, istirahat."
"Aku capek istirahat terus."
"Biar cepat pulang."
"Iya, deh."
"Sama satu lagi." Karina berdeham. Rautnya tampak lebih serius dari sebelumnya. "Bunda udah bilang ke perawat jaga biar perhatiin kamu kalau minum obat. Jangan kamu buang lagi. Kalau begitu, gimana kamu bisa sembuh?"
"Emang aku bisa sembuh?" Naafi berdecak pelan. "Obat nggak akan bikin aku sembuh, Bun. Percuma. Tubuh aku udah rusak, nggak bakal bisa diperbaikin lagi."
"Naafi, jangan ngomong aneh-aneh. Kamu pasti bisa sembuh."
"Aku nggak mau ngomong aneh-aneh. Bunda aja yang mancing aku."
"Naaf, Bunda mau ke pasien lain."
"Ya, tinggal ke pasien lain. Aku nggak larang."
Naafi membuang pandangan, dilanjut membaca buku matematika—yang seharusnya ia kerjakan. Kesedihan tampak tergambar jelas di wajah. Namun, tetap, Naafi tidak akan mau menunjukkannya pada Karina.
"Bunda minta ayah buat temenin kamu, ya."
"Nggak perlu. Aku udah biasa sendiri."
Karina tidak bisa lagi bersuara. Tangannya mengusap lengan Naafi yang dingin. Memperhatikan bagaimana jemarinya yang tampak pucat, kuku tampak keunguan, serta penumpukan cairan yang semakin membuat tangan itu terasa dingin.
"Kalau ada apa-apa, langsung panggil Bunda."
"Kalau Bunda selalu stay di nurse station, gampang. Kalau lagi di rumah sakit lain?"
"Bunda ngebut ke sini." Karina menarik napas panjang. Merasa sesak ketika melihat putranya itu tampak semakin melemah. Tidak ada lagi semangat yang terpancar.
"Bunda ke pasien yang lain dulu, ya."
Naafi mengangguk pelan. "Oh, ya, Bun."
"Ada apa?"
Tidak langsung berbicara, Naafi memilih berdeham. Menghela napas. Iris selegam malamnya beralih menatap Karina. Berusaha keras, Naafi menyunggingkan seulas senyum.
"Bunda ... jangan sampai kecapekan, ya," ucap Naafi pada akhirnya. "Aku sayang sama Bunda. Terima kasih buat usaha Bunda selama ini. Maaf ... aku belum bisa sehat kayak yang Bunda mau."
Setitik air mata mengalir begitu sahja dari sudut netra Karina. Ia mengangguk cepat. Tidak berani lagi menatap Naafi. Rasanya, ia ingin diam di sana, memeluk sang putra erat-erat.
Setidaknya, untuk kali ini, hanya itu yang dapat Naafi ucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Senja Terakhir
Teen FictionPokoknya, semua orang di SMA Bintang pasti mengenal sosok laki-laki bernama lengkap Faza Ghaisan Saskara, si social butterfly yang punya teman sampai ke pelosok kelas, anggota band sekolah yang fans-nya sudah tidak bisa dihitung lagi, ditambah salah...